Bab 11 Sakit yang Bergairah
Bab 11 Sakit yang Bergairah
Ini adalah mimpi buruk, tolong siapa pun bawa aku keluar dari mimpi buruk ini.
Belum sempat aku terbangun, Aaron telah meraih rambut panjangku dan menjambaknya, membawaku untuk sekali lagi berhadapan dengannya secara paksa, namun kini lebih dekat. Rasanya sangat sakit, tapi aku tidak bisa berbuat apa pun.
Aaron mengangkat kepalaku, membuatku kini harus berhadapan dengan wajah tampannya yang nyaris tak bercela. Kini kami kembali saling bertatapan dengan jarak yang begitu dekat. Lebih dekat dari jarakku dan dirinya selama ini, tapi rasanya sangat jauh.
“Aaron, kumohon… lepaskan aku,” pintaku memelas. Air mataku mengucur dengan begitu derasnya, membasahi kotoran yang menempel di wajahku dan membuatnya tampak begitu jelas—dan lebih buruk.
“Lepaskan?” Seketika Aaron tersenyum. Meski bukan senyum tipisnya yang khas dan penuh ketulusan—senyumannya kini terlihat lebih lebar hingga membuat pipinya naik dan mempersempit bingkai matanya—namun senyuman itu masih terlihat begitu menawan dan membuatku terjerat kembali dalam keterpakuan. “Bukankah kau sendiri yang ingin tinggal di sini lebih lama lagi?”
Aku memang berkata seperti itu, tapi bukan begini caranya.
“A… aku memang—”
Aaron terhuyung ke arahku. Sempat kukira ia melakukannya secara tak sadar, namun dorongan bibirnya yang menekan bibirku terasa begitu nyata. Ia melakukannya bukan tanpa sengaja, apalagi tak sadar. Dengan posisi tangannya yang masih menjambak rambutku.
Ia mendorong bibirnya dengan halus, namun begitu bertenaga. Ia melumat bibirku dengan bibir manisnya yang dingin, sedikit memainkan lidahnya hingga membawaku pada sebuah kenyamanan yang belum pernah kurasakan, sekalipun saat aku melakukannya bersama Edmund.
Perlahan ia pun melonggarkan cengkeramannya, hingga akhirnya ia benar-benar melepaskannya. Ia merengkuh tubuhku, mengelus punggungku yang kedinginan hingga membuatnya terasa lebih hangat, sambil terus memainkan bibirnya yang liar dengan kejam, namun terasa nikmat.
Sekali lagi, Aaron membuatku tenggelam ke dalam dunianya yang penuh gairah. Dunia yang tercipta saat pertama kali ia merengkuhku, meski rasanya kali ini sangatlah berbeda. Kini aku sudah terjerat sepenuhnya.
“Aku sudah menyuruhmu untuk pulang, tapi kau bilang kau tidak mau pulang sebelum kau mendapat kepastian kabar pacarmu itu, hmmm?” bisik Aaron. Kini suaranya yang memanjakanku. Suara yang mengalun lembut itu telah kembali, meski embusan napasnya yang hangat itu justru membuatku sedikit merinding.
Belum sempat aku menimpali perkataannya, ia sudah membungkamku kembali dengan bibirnya. Ia kembali melumat bibirku tanpa membiarkanku mengambil napas sebelumnya. Dorongannya lebih kasar dibanding permainan bibir yang sebelumnya ia lakukan.
Ia kembali melepaskan jeratan bibirnya. “Bagaimana jika pacarmu itu tidak kembali? Apa kau akan berada di sini selamanya?”
Saat Aaron menyelesaikan kalimatnya, aku pun sadar bahwa Aaron yang baik hati dan lembut itu juga tidak akan pernah kembali. Atau mungkin memang sejak awal dirinya tidak pernah ada. Itu hanyalah sebuah akting yang dilakukan oleh lelaki gila ini untuk menjeratku, menggunakan pesona alami yang ia miliki sebagai Aaron sang lelaki sempurna yang baik hati.
Aku telah tertipu. Ironis sekali. Seorang pembohong sepertiku tertelan oleh sebuah kebohongan yang tercipta dari hasil kebohonganku sendiri.
Aaron tiba-tiba mendorongku dengan tangan berototnya yang kuat hingga membuatku tersungkur ke belakang. ia kemudian menamparku, memukulku, menendangku, menjambak dan memukulku. Terus seperti itu hingga jeritan yang tersisa di tenggorokanku habis. Bahkan saat aku menjerit tanpa suara ia masih terus menyiksaku. Ia melakukan itu dengan wajah tak berekspresi.
Begitu dingin hingga kehangatan semu yang sempat kurasakan menguap, dan pada akhirnya tubuhku pun membeku oleh tangan dingin Aaron yang menorehkan luka lebam dan darah di sekujur tubuhku. Nyeri yang sebelumnya masih kurasakan semakin terasa sakit dan menyiksa, hingga rasanya lebih baik mati dari pada terus tersiksa seperti ini. Tapi aku tak mau. Tidak sebelum mendapatkan semua jawaban yang aku butuhkan—yang aku inginkan.
“A… Aaron… kumohon….”
“Sasha, kau sudah memohon sebelumnya. Tidak ada permohonan apapun yang bisa kukabulkan lagi sekarang.” Aaron menimpalinya dengan begitu dingin.
Aaron terus menyiksaku hingga semua air mataku terkuras habis, hingga aku pun tak bisa merasakan rasa sakit lagi. Dan pada akhirnya, semuanya menjadi gelap. Lagi-lagi seperti ini. Padahal aku tidak ingin ini terjadi lagi. Tidak di tangan lelaki berdarah dingin yang telah menjerat hatiku seutuhnya.
**
Warna biru yang membias di atmosfir terlihat begitu menyilaukan. Gedung-gedung tinggi dan bangunan pencakar langit yang menyebalkan itu tidak ada yang berdiri dengan angkuhnya di sini, menghalangi ruang tak berbatas yang menaungiku dan semua manusia yang ada di muka bumi ini. Surya yang bersinar pun tak begitu terik menyengat tubuh. Rasanya hangat. dan dengan terpaan angin sepoi yang berhembus malu, semuanya terasa begitu nyaman.
Apakah ini mimpi? Kuharap tidak. karena aku tidak mau lagi kehilangan Edmund yang kini berbaring di sampingku, menutup matanya dengan tenang sembari menyunggingkan sebuah senyum tipis.
“Ada apa, Sas?” tanyanya santai saat aku melirik wajah dengan matanya yang masih terpejam.
“Ah, tidak. Tidak apa-apa.” Aku kembali menatap langit.
Aroma rumput matang yang menguar menggelitik hidungku. Wangi daun yang bercampur aroma tanah itu, entah kenapa, membuatku merasa tak ingin beranjak dari hamparan permadani hijau yang membentang tak berbatas ini. Aku ingin terus seperti ini saja. Hidup nyaman bersama Ed, tanpa harus berbohong lebih banyak lagi, yang membuatku berada di antara surga dan neraka—jika memang ada. Tapi kalaupun ada, kurasa aku akan dijerumuskan ke dalam neraka.
“Ed?” Aku kembali menengok pada Edmund. Kusentuh pipinya yang kasar—dia terasa begitu hangat—lalu turun ke dagu dengan janggut tipis ala Shaggy dari serial Scooby Doo. Aku selalu merasa geli oleh janggut yang hanya dipotong sedikit saat mulai memanjang itu. Ia selalu beralasan kalau janggutnya membuatnya terlihat lebih dandy dan menjadi daya tariknya—yang kupikir itu bodoh. Tapi, aku selalu menyukainya.
“Hmmm?”
Aku mengembalikan sentuhanku pada pipi Edmund. “Kau itu, selain bodoh, juga brengsek ya!?”
Edmund menjawab ucapanku yang spontan dengan gelakannya yang nyaring dan menyebalkan. Tetapi, berbeda dari sebelumnya, suara tawanya terdengar lebih dalam, tidak cempreng dan membuat telingaku sakit seperti biasanya. “Aku tidak akan membantah.”
“Dasar bodoh.” Mulutku tersungging tipis. Anehnya, senyuman yang kulepaskan itu juga membawa tangis pada diriku. Tak sadar, kristal bening itu menetes dari pelupuk mataku, jatuh ke atas permukan tanah berumput. “Setidaknya kabari aku. Kalaupun kau benar-benar pergi meninggalkanku, setidaknya aku bisa memberikan satu tamparan di pipimu ini.”
“Ahaha. Maaf.”
Lagi-lagi, ia menunjukkan kebodohannya.
“Hei, Sas,” gumam Ed.
“Apa?”
“Jika aku tak kembali, jangan cari laki-laki lain, ya!” ujar Edmund sambil nyengir kuda.
TO BE CONTINUED