

BAB 3
“Pelajaran selesai sampai di sini. Ingat, jangan lupa tugas kelompok kalian atur sendiri, dan lusa harus segara dikumpulkan.”
Ibu Farida. Guru pelajaran sejarah memberitahukan tugas kepada semua murid sebelum kelas bubar pulang dengan tujuan masing-masing, juga mengingatkan kepada seluruh murid untuk selalu berhati-hati dalam berkendara dan pandai menjaga diri setelah di luar sana nanti.
“Baik, Ibu!.” serentak bersahutan semua murid.
Dinda diam kebingungan pusing sendiri mencari teman satu kelompok nyatanya tidak ada yang menawarkan untuk kerja sama, bahkan di hari pertama masuk sekolah tidak ada sama sekali yang menegur mengajaknya berbicara. Melainkan, itupun Dinda duluan mengajak teman sebangkunya berbicara malah menyahut sinis.
“Din?”
Dinda yang tadi sedang melamun menjadi sirna karena suara panggilan, membuatnya tersadar bangun dari duduk pada bangkunya.
“Amel? Aku bersyukur sekali ada kamu mau berbicara dengan aku. Ingat seperti dulu juga kita satu kelompok, bisa bukan?”
Penuh berharap bahkan sudah bahagia sendiri ada Amel sahabat sejati dari kelas 1 SMA sampai sekarang ini. Bersyukur sekali kalau Amel mau mengajaknya satu kelompok bersama seperti dahulu, mereka belajar bersama, bahkan jajan di luar bersama ke Mall.
“Bukan begitu, Din. Aku senang kamu sudah bisa masuk sekolah kembali," Amel meringis tidak nyaman, “melainkan, aku tidak bisa lagi berteman denganmu dalam hal apapun bahkan satu kelompok.”
Perkataan dari Amel berhasil membuat Dinda menahan air mata tidak percaya akan ucapan dari sahabatnya barusan. “Memangnya aku salah apa dengan kamu sampai tidak bisa berteman begini?”
“Astaga, Din!. Jangan berlagak pikun hanya 2 minggu tidak masuk sekolah, dan tidak tahu bagaimana juga kamu bisa masuk tanpa DO. Ayah kamu punya skandal, semua guru dan satu sekolah di sini mengetahui perilaku memalukan dari Ayahmu. Dan, kamu tentu ikut memakai uang haram itu dari Ayahmu. Inti dari ini semua, jangan lagi kita berkomunikasi.”
Amel berbicara secara lantang kepada Dinda masih terperangah tidak percaya, dadanya mulai terasa sesak. Memejamkan matanya sejenak kemudian berusaha tersenyum walau bibir bergetar harus kuat akan cobaan ini.
“Ah, kamu benar, Mel. Makasih sudah mau menjadi sahabat aku selama 3 tahun, asyik banget kenalan denganmu. Aku pamit pulang duluan.”
Semua ini terlalu cepat mengagetkan kehidupannya dan harus menerima kenyataan dari dimulainya Ayah koma, menikah dengan pria berumur, dan ditambah kehilangan sahabat hanya karena Ayahnya terlibat dalam skandal yang bahkan Dinda merasa belum tentu sungguhan.
Itu sangat membuktikan secara jelas bahwa orang yang dianggapnya sebagai sahabat selama ini bukanlah sahabat yang sebenarnya. Jika sahabat sejati, dalam kesusahan seperti sekarang kenapa semuanya harus menjauh pergi? Tidak ada yang perduli satupun.
Mungkin saja ini teguran dari maha kuasa membalas kelalaian keluarganya, karena kesalahan Dinda yang suka hidup serba mewah, membangkang dan harus bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Ayah harus menerima suap tersebut untuk kebahagian putrinya, mungkinkah seperti itu dugaannya selama ini dalam melangkah berpikir keras.
“Kenapa? Masalah ini ada membuat aku terpuruk sendirian. Aku tidak kuat, sangat tidak kuat dengan penderitaan ini yang membebani. Tuhan, bukan seperti ini kalau ingin memberikan cobaan langsung kepada mental ingin selesai sampai sini.”
Dinda mengeluarkan segala keluh kesah dan berlari kencang menguras seluruh tenaganya, tidak memperdulikan menabrak beberapa murid lain secara bersamaan keluar halaman sekolahan. Ada terdengar lontaran hinaan kepada Dinda yang berlari sembarangan, tetapi itu semua tidak membuat Dinda berhenti meminta maaf. Melainkan, mengabaikan dengan pemandangan kosong membiarkan arah kakinya melangkah kemana tujuannya.
Berlari tanpa henti tidak menyadari matanya dibanjiri air mata, napas mulai tercekat terasa begitu sesak di dada. Pandangan mulai buram serta pusing, saat berusaha hendak berlari lagi tubuhnya sempoyongan ingin tumbang terjungkal belakang.
Merasakan sekujur tubuh ringan dari beban apapun, menyadari mengerjap kalau tubuhnya tidak terjatuh ke tanah merasakan ada seseorang yang dengan cekatan menangkap membopong tubuhnya yang dalam keadaan rapuh. Dan, setelah itu Dinda tidak sadarkan diri lagi belum sempat melihat saksama wajah seseorang yang menolongnya.
•••
