

BAB 4
Andre sudah menunggu satu jam berdiam diri dalam mobil, dengan kaca mobil yang sengaja terbuka sepenuhnya, buka hanya ingin udara masuk. Juga sambil memperhatikan bagian depan sekolahan, ternyata banyak sekali beragam jajanan yang Andre sendiri belum pernah sekalipun makanan-makanan kaki lima.
Mungkin lain waktu Andre harus mencobanya bersama Dinda, itupun jika gadis itu mau jalan bersama. Andre sendiri tidak pernah memaksa dan masih bisa menepati sesuai permintaan janji dari Istrinya untuk tidak bersentuhan, sangat di maklumi jika menikah dengan gadis yang masih berumur belasan.
Labil dan gampang berubah-rubah tidak jelas.
Tadi berniat ingin menjemput Istrinya itu pulang sekolah, paham pukul berapa Andre harus menjemput. Malah, sepertinya Andre terlalu awal menjemputnya dan sudah malas harus pulang lagi ke rumah. Dinda sendiri juga tidak mengatakan ada halangan atau kegiataan di sekolah, saat mengirim pesan tidak ada jawaban dan Andre mencoba menghubungi ternyata nomernya tidak aktif.
Terdengar sudah bunyi bell terakhir waktu pulang dari sekolahan sangat nyaring. Andre keluar memperhatikan saksama dengan mata menajam mencari keberadaan Dinda saat bersamaan semua murid juga keluar sangat ramai, sehingga susah menemukannya.
Bahkan berulang kali celingukan masih berusaha mencari sampai sekolahan sunyipun tidak menemukan keberadaan Dinda. Andre mulai khawatir berpikir kalau Istrinya itu mendapatkan panggilan di ruangan BK, tidak masalah kalau Andre harus menunggu sebentar lagi.
Ponsel Andre terdengar bersering dari dalam mobil, saat hendak membuka pintu mau mengambil ponsel, secara tidak sengaja sudut matanya menemukan Dinda sedang berlari tidak tentu arah dan kelihatan sekali hendak menuju ke arah jalanan lalu-lalang kendaraan.
Dan saat itu juga, Andre langsung berlari tidak kalah bergegas. Panik bukan main ingin menghentikan niat nekat apa yang ingin dilakukan gadis tersebut. Apa yang ada di dalam pikirannya berhasil membuat Andre ikut membahayakan nyawa sendiri jika tidak berhasil menolong. Berhasil mendekat mencengkeram dua lengannya, Dinda malah jatuh pingsan kalau tidak Andre memeluk tubuhnya langsung membawa masuk dalam mobil.
Mereka berdua sudah berada dalam mobil. Andre segera menghubungi nomer Dokter sudah tersimpan dalam kontak ponsel. Meminta untuk segera datang ke rumah mengatakan panggilan darurat membutuhkan segera pertolongan.
“Allahu Akbar. Apa yang kamu pikirkan, Dinda.”
Andre beristigfar berulang kali dalam keadaan berpeluh mencoba tenang. Mengelus pipi tembam Dinda yang terasa lembap, membatin pasti gadis itu habis menangis. Dan apa masalahnya, Andre berharap Istrinya mau menjelaskan semuanya saat sudah siuman nanti.
Sesampainya di rumah. Andre kembali membopong tubuh lemah Dinda membawa sampai menuju masuk dalam kamar miliknya sendiri, membaringkan tubuhnya secara perlahan dan nyaman. Andre mencoba membangunkan dengan cara mengelus kepalanya secara lembut, belum juga tersadar hal itu membuat Andre semakin gusar tidak tenang sebelum Dinda tersadar dari pingsan.
Tidak lama Dokter Amir datang dengan menjinjing tas perlatan periksa. Andre segera meminta Amir untuk segera memeriksa keadaan Dinda. Dengan sangat tidak sabaran menunggu hasil pemeriksaan apa yang sebenarnya Dinda alami sehingga sampai pingsan.
“Apa yang terjadi kepada Istri saya? Bagaimana?”
Andre terus bertanya tidak sabaran, terlihat sekali kecemasan dari wajahnya yang kaku. Mendengar itu Amir tidak percaya bahwa gadis yang mengenakan seragam sekolah ini sudah menikah bersama pria yang kelihatan lebih tua darinya.
“Bisa kita bicarakan di luar?” pinta Dokter Amir kepada Andre mengganguk persilahkan. Mereka berdua berhenti di ruang tamu saling berhadapan.
“Bagimana, dok?”
“Baik. Istri Anda mengalami depresi ringan, kemungkinan mempunyai masalah sendiri dan sehingga memendam sendirian, tidak ingin mengungkapkan kepada orang lain. Begini, saya sarankan Anda sebagai suami harus pandai mengajaknya berbicara supaya nyaman, sehingga rasa kenyamanan dan kepercayaan itu muncul. Istri Anda bisa mengatakan apapun itu. Masih bisa membantu mengubah semuanya.”
Dokter menjelaskan panjang secara detail kepada Andre. Andre terdiam sejenak bahwa ternyata Dinda sedang mengalami sesuatu yang membuatnya ada beban dalam pikirannya. Itu pasti sangat berat untuknya harus bisa terjadi masalah seperti ini. Atau mungkinkah karena Dinda sedang memikirkan Ayah yang masih koma. Andre sendiri hanya bisa menduga serta ikut berpikir keras mencari penyebab lainnya.
“Terima kasih.” Andre berjabatan tangan Dokter Amir. Berterima kasih kepada Dokter Amir telah mau datang kemari memeriksa keadaan Dinda, sehingga membuat kekhawatirannya sedikit tenang mengetahui penjelasan dari Dokter.
Menjelang malam. Andre mencoba mengetuk pintu kamar Dinda sambil membawa nampan bersisi makanan. Gadis itu tidak ada keluar sedari tadi sore memilih murung diam di dalam kamar sendirian.
“Dinda, saya masuk ke dalam membawa makan malam untukmu.” meminta izin masuk ke dalam sembari membawa nampan berisi makanan hangat untuk gadis masih bertubuh lemas itu masih rebahan memunggung.
Andre meletakkan nampan di atas nakas lalu duduk di tepian ranjang memperhatikan diam Dinda tidak ada pergerakan sama sekali.
“Apa kamu tidur?,” tanya Andre, tanpa menduga gadis itu membalikkan badan sehingga terlihat sehabis menangis lagi, “kamu belum makan malam, makanlah dulu.”
Dinda perlahan bergerak duduk sandaran. “Bagaimana dengan om? Makan malam sudah?” tanyanya bersuara serak.
“Ya, sudah. Makanlah.” Andre ingin menyuap Dinda makan, tetapi Dinda menolak memilih makan sendiri.
Dinda meragu, diam sejenak mulai makan dengan lahap menghabiskan makanan pemberian Andre tanpa ada sisa sedikitpun, setelah itu meneguk air putih sedikit.
“Minum ini” Andre menyodorkan satu tablet kepada Dinda yang hanya melihat belum mau ambil.
“Itu obat apa?”
“Ini bukan obat. Melainkan, vitamin supaya tubuhmu sehat.” Andre sengaja berdalih.
Melainkan, ini tablet penenang sementara dalam dosis rendah pemberian Dokter Amir. Andre sendiri akan berikan obat ini hanya untuk sekali saja sesuai anjuran, tidak ingin membuat Dinda kencanduan. Andre berharap bisa membuat Dinda tenang dengan caranya sendiri nanti jika keadaanya sudah membaik, dan untuk sekarang biarlah dengan obat yang bekerja.
Dinda percaya mengambil tablet tersebut tidak berbau sama sekali, langsung saja meneguk bersama minum air supaya nyaman.
“Istrirahatlah lagi, kamu membutuhkan sesuatu sebelum saya keluar?”
“Jangan. Jangan keluar dulu, di sini sebentar menemani aku.” mohon Dinda memelas dengan air mata berlinang menangis lantas segera menoleh arah lain tidak ingin ketahuan Andre.
Andre mengetahui perasaan sedih Dinda, pindah duduk bersebelahan dengan Dinda. Penuh kelembutan merangkul pundaknya menarik lembut membawa dalam pelukannya. Dinda mau dan saat seperti ini sangat membutuhkan pelukan hangat, sekarang hanya ada Andre yang menemani dengan elusan di kepalanya membuat Dinda menangis tersedu-sedu.
“Apapun itu kamu bisa mengatakan kepada saya. Biarkan saya sebagai suamimu juga temanmu di rumah, saya bisa menemanimu kapanpun.” bisik pelan Andre merasakan pelukan Dinda semakin kencang pada tubuhnya, kemejapun basah saat Dinda menutup wajahnya.
Andre diam-diam mengajarkan Istrinya itu berzikir setiap ada masalah apapun. Dinda masih diam dengan menangis sampai akhirnya tenang dari suara melantun Andre bisa membuat tenang. Dan, saat seperti posisi mereka sekarang berpelukan. Andre terlihat tulus menemani tanpa ada sentuh-sentuh lain. Dinda mendongak memperhatikan Andre dengan kelembutan mata pria itu dan malah menyuruh tidur saja dalam pelukannya kalau itu bisa membuat nyaman, biarkan Andre menemani sampai tertidur mampu dalam diam Dinda tersenyum.
