Bab 9 . Mengunjungi Nenek
Tiba di rumah sakit, Jenna langsung duduk di ruang tunggu. Ia tidak perlu melakukan pendaftaran apapun, sebab semua telah diatur oleh Yura.
"Nyonya, tunggulah di sini. Nanti, saat tiba giliran Nyonya, perawat akan memanggil," ujar Yura, yang berdiri di sampingnya.
Jenna mengangguk.
Yura pun meninggalkan ruang tunggu rumah sakit. Tinggallah, Jenna sendirian di ruang tunggu yang begitu ramai dengan pasangan suami istri. Mereka semua terlihat begitu bahagia. Tentu saja, pasangan yang datang ke rumah sakit ini, pasti akan sangat bahagia. Sebab, mereka menunggu kehadiran buah hati.
Tanpa sadar, Jenna menyentuh perutnya dan menatap penuh rasa iri, kepada pasangan lain yang ada di sana. Ia satu-satunya yang menunggu di ruang tunggu ini sendirian, tanpa ditemani oleh pasangannya.
Sambil menunggu, Jenna lebih banyak menundukkan kepala. Sebab, ia dapat merasakan tatapan orang-orang yang tertuju padanya.
Tidak perlu menunggu lama, namanya dipanggil oleh seorang perawat.
"Jenna Kim!"
Jenna langsung berdiri. Terasa amat aneh, saat namanya dipanggil dengan marga yang berbeda.
"Silakan, Nyonya Kim."
Sang perawat tersenyum lebar, tentu semua orang tahu siapa wanita hamil itu. Wanita itu adalah menantu Keluarga Kim dan harus diperlakukan dengan baik.
"Terima kasih."
Jenna berterima kasih dan masuk ke dalam ruangan.
Seorang dokter wanita berusia sekitar 50 tahun, tersenyum padanya.
"Di mana suamimu?" tanya sang dokter.
Itu adalah pertanyaan yang wajar, tetapi bagi Jenna itu adalah pernyataan yang paling tidak ingin didengar olehnya.
"Ehm, dia sibuk," jawab Jenna pada akhirnya.
Sang dokter hanya mengangguk. Jawaban itu, menunjukkan bagaimana hubungan suami istri. Ya, setelah puluhan tahun menjadi dokter kandungan dan bertemu dengan banyak pasangan, ia dapat menyimpulkan seperti apa hubungan suami istri dari jawaban atas pertanyaan sederhana itu.
Tidak lagi bertanya, pemeriksaan pun dilakukan.
Jenna berbaring di ranjang yang ada di ruangan itu dan dokter mulai melakukan pemeriksaan USG.
"Ini bayimu, usia kandungan 6 minggu."
Jenna menatap ke layar datar yang tergantung di hadapannya. Gambar hitam putih dan dokter itu menunjuk sesuatu yang sebesar kacang polong, menyebut itu adalah bayinya. Kemudian, sang dokter memeriksa detak jantung sang bayi, yang terdengar begitu jelas. Detak jantung yang cepat, menandakan bahwa ada jiwa lain di dalam rahimnya.
"Tidak ada masalah dan kembalilah bulan depan. Aku akan meresepkan vitamin untukmu," ujar sang dokter dan berjalan kembali ke arah meja kerjanya.
Perawat membantu Jenna merapikan pakaiannya dan turun dari ranjang itu.
Jenna mengambil resep dan foto hasil USG tadi. Tidak banyak bertanya, sebab Jenna tidak tahu apa yang harus ditanyakan. Perawat menemani Jenna, untuk pengambilan obat.
Semua selesai dan Jenna keluar dari rumah sakit. Yura sudah menunggu di sana.
Masuk ke dalam mobil dan mereka tidak berbicara apa pun. Jenna kembali menatap keluar jendela, selama perjalanan menuju panti jompo.
Mobil berbelok ke jalan yang menuju panti.
"Berhenti di sini saja," ujar Jenna, sebelum mobil berbelok ke halaman parkir panti.
Supir patuh dan menghentikan mobil.
Jenna turun dari mobil dan berjalan ke arah penjual buah yang ada di samping gerbang. Membeli satu kilogram apel merah, kesukaan sang nenek, barulah Jenna melangkah masuk ke halaman panti.
"Bagaimana kabar, nenek?" tanya Jenna kepada salah satu perawat panti.
"Dia sering tersenyum dan makan dengan lahap," jelas sang perawat.
Tiba di depan pintu kamar sang nenek, perawat itu pun pergi.
Sebelum membuka pintu, Jenna berusaha tersenyum lebar.
"Nenek!" panggil Jenna, walau tahu sang nenek tidak dapat mendengar.
Nenek duduk di atas kursi roda, membelakangi Jenna yang baru melangkah masuk. Perlahan, Jenna menyentuh pundak sang nenek dan wanita tua itu langsung berbalik, kemudian tersenyum lebar.
'Apakah kamu datang untuk menjemput, Nenek?' tanya sang nenek, dengan bahasa isyarat.
Jenna hendak menangis, tetapi ia berusaha untuk tetap tersenyum.
'Aku datang karena merindukan Nenek dan mengantar apel ini.'
Balas Jenna, sambil mengangkat kantung plastik berisi apel, yang baru saja dibelinya.
Jenna menarik kursi dan duduk di samping sang nenek.
Nenek menerima kantongan plastik itu dan melihat isinya, ia tersenyum. Ini adalah apel merah kesukaannya.
'Nanti, Nenek akan meminta perawat untuk membuat jus dari apel-apel ini. Jadi, kapan Nenek dapat tinggal bersamamu?'
'Sebentar lagi, Nek.'
Nenek mengangguk dan tersenyum lebar, kemudian bertanya, 'Bagaimana kabarmu? Apakah kamu bahagia?'
Bahagia? Tidak, itu tidak dirasakan oleh Jenna. Malahan, ia merasa begitu kesepian dan tidak berguna. Namun, tentu ia tidak akan mengatakan hal tersebut dan membuat sang nenek, khawatir.
'Aku bahagia dan sehat.'
Lalu, Jenna mengeluarkan foto hasil USG dan menunjukkan kepada sang nenek. Seperti dugaannya, nenek begitu gembira, sampai berlinang air mata. Di saat itulah, Jenna ikut menangis.
Nenek langsung memeluk Jenna dan menepuk punggungnya perlahan. Wanita tua itu mengira, cucunya juga sangat bahagia sampai menangis haru. Namun kenyatannya, apa yang dirasakan Jenna adalah kesedihan yang mendalam.
Jenna memeluk erat, sang nenek. Menangis sesenggukan, hanya itu yang dapat dilakukannya. Hanya menangis, itu pun dengan catatan, sang nenek mengira ia menangis karena bahagia.
Setelah menangis bersama selama beberapa saat, akhirnya Jenna mulai tenang dan melepaskan pelukannya.
Tangan keriput menghapus jejak air mata di wajah, Jenna.
'Kamu tidak lagi boleh begitu cengeng, apalagi saat akan menjadi seorang ibu.'
Jenna mengangguk, menanggapi ucapan sang nenek.
Lalu, mereka duduk berdampingan dalam diam. Tangan Jenna berada di dalam genggaman sang nenek. Tepukan lembut di punggung tangannya, seakan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Setidaknya, bertemu dengan sang nenek, membuat suasana hati Jenna sedikit lebih baik.
Tok tok tok!
Pintu kamar dibuka dan Yura melangkah masuk.
"Nyonya, sudah waktunya kembali." Yura menyampaikan dengan sopan.
Jenna melihat ke arah jam dinding dan ternyata, ia sudah hampir tiga jam berada di kamar ini. Hari pun sudah mulai sore.
'Pulanglah.'
Jenna hanya mengangguk dan masih menggenggam tangan sang nenek. Walaupun mengangguk, tetapi Jenna masih ingin bersama dengan neneknya itu.
'Pulanglah dan segera jemput Nenek.'
Kembali Jenna mengangguk. Bagaimana pun, malam ini ia harus berbicara dengan Tuan Besar Kim, terkait keinginannya untuk mengajak sang nenek tinggal bersama.
'Baik.'
Balas Jenna dan mengecup pipi sang nenek, sebelum melangkah pergi.
Tiba di kediaman Kim, Jenna tidak langsung pergi ke kamar, melainkan berusaha menemukan Tuan Besar Kim di ruang kerja. Namun, mencari ke seluruh rumah, Jenna tidak dapat menemukan ayah mertuanya itu. Maka, ia kembali menemui Yura yang berada di ruang depan.
"Apakah Tuan Besar Kim belum kembali?" tanya Jenna sopan.
Namun, bukan Yura yang menjawab, melainkan Nyonya Besar Kim.
"Ada apa kamu mencari suamiku?" tanya Nyonya Besar Kim dingin dan memberi instruksi dengan tangannya, agar Yura pergi.
Jenna berbalik dan menatap ibu mertuanya, yang melangkah keluar dari ruang tamu.
"Aku, Aku...."
"Apa yang ingin kamu sampaikan pada suamiku, tetapi begitu sulit diutarakan padaku?" tanya Nyonya Besar Kim, penuh curiga.
Jenna menelan ludah, ia jelas tahu ibu mertuanya tidak menyukai keberadaannya. Namun, jika tidak dikatakan maka hanya akan menimbulkan rasa curiga. Memberanikan diri, akhirnya Jenna berkata, "Aku ingin meminta izin Tuan Besar Kim, agar nenekku dapat tinggal di sini, bersamaku."