Bab 10 . Arti Dari Kata Sopan Santun
"Apa katamu?" tanya Nyonya Besar Kim dan melangkah mendekati Jenna. Apakah telinganya salah dengar, atau menantunya itu yang sudah tidak waras.
"Aku ingin meminta, agar nenek diizinkan tinggal di sini, bersama diriku," ulang Jenna dengan penuh keberanian.
Ha ha ha!
Tawa mengejek, membahana dan membuat bulu kuduk Jenna, meremang.
"Kamu! Kamu makan dan tinggal gratis di sini. Sekarang, kamu bahkan ingin membawa nenekmu yang cacat masuk ke kediaman ini! Apakah kamu mengira, tempat ini adalah panti sosial?" raung Nyonya Besar Kim, yang begitu marah terhadap menantu tidak tahu malu itu.
Jenna menelan ludah, ia tidak menyangka akan mendapatkan tanggapan pedas, seperti itu.
"Kami hanya berdua dan tidak memiliki sanak saudara yang lain. Jika nenek tinggal di sini, maka aku akan mengurus dan membiayainya–"
"Membiayainya? Dengan apa? Dengan uang suamimu?" cecar Nyonya Besar Kim, memotong ucapan Jenna.
Nyonya Besar Kim, maju satu langkah dan menutup jarak di antara mereka. Lalu, jari telunjuk dengan kuku dicat berwarna merah terang, mulai menekan dada Jenna. Kemudian mulai berkata dengan tatapan penuh kebencian, "Tolong, tahu diri! Kamu bukan siapa-siapa dan alasan mengapa kamu bisa menjadi menantu keluarga ini adalah untuk menutup aib. Berhentilah berpura-pura menjadi wanita lugu. Aku yakin, kamu juga tergiur dengan kekayaan Keluarga Kim, maka bersedia hamil, bukan?"
Kuku runcing itu mulai menusuk-nusuk dada Jenna dengan cukup kuat, membuat tubuh Jenna mundur beberapa langkah.
"Jika kamu bersikeras membawa nenek cacatmu tinggal di sini, maka aku pastikan kalian berdua akan hidup menderita. Apakah kamu ingin nenekmu tahu, seperti apa kehidupanmu di rumah ini? Jika itu maumu, maka aku tidak keberatan menunjukkan padanya!" lanjut Nyonya Besar Kim dan mendorong dada Jenna dengan cukup kuat.
Tubuh Jenna terhuyung ke belakang dan beruntung ada pegangan tangga, yang menahan tubuhnya. Jika tidak, maka Jenna pasti sudah terduduk di lantai.
"Aku tidak menyukai dirimu! Aku yakin, kamu jelas akan hal tersebut. Jadi, jaga sikapmu, jika tidak aku akan membuat hidupmu sama seperti di neraka!" ancam Nyonya Besar Kim, sebelum melangkah keluar dari pintu utama kediaman ini.
Jenna, berusaha tenang. Namun, itu begitu sulit, apalagi air mata seakan hendak tumpah. Namun, beruntung saat itu Yura masuk dan menghampirinya.
"Nyonya, baik-baik saja?" tanya Yura sambil memegang lengan Jenna.
"Ehm, ya."
"Tuan Besar Kim, berada di rumah sakit untuk menjalani bedah jantung. Mungkin, butuh beberapa minggu sampai Tuan Besar kembali ke kediaman ini. Nyonya Besar Kim, baru hendak berangkat ke rumah sakit." Yura menjelaskan, walaupun tidak ditanya. Tidak dipungkiri, ia merasa iba terhadap Jenna dan tidak tahu, berapa lama wanita itu dapat bertahan diperlakukan seperti ini.
"Apakah Tuan Besar Kim, baik-baik saja?" tanya Jenna yang benar-benar merasa cemas.
Yura mengangguk dan berkata, "Ini adalah operasi lanjutan, dari tindakan sebelumnya."
"Apakah aku bisa pergi menjenguk Tuan Besar Kim?" tanya Jenna.
"Jangan pergi sendirian. Pergilah bersama Tuan Leonel," anjur Yura.
Apakah itu mungkin? Jenna saja tidak tahu, kapan suaminya itu akan pulang ke rumah. Namun, Jenna hanya mengangguk dan tidak ingin mempersulit Yura dengan pertanyaannya.
Yura mengantar Jenna kembali ke kamar pengantinnya.
Jenna mandi dan keramas, lalu mengenakan pakaian kasual. Ia berharap Leonel pulang lebih awal dan mengajaknya ke rumah sakit. Namun sampai waktu makan malam tiba, suaminya itu belum kembali.
Jenna turun dan pergi ke ruang makan, untuk makan malam.
Di ruang makan hanya ada Lulu Kim, yang langsung membuang muka saat melihat kehadiran Jenna.
Jenna tidak peduli dan menarik kursi, yang berada tepat di hadapan Lulu.
"Haruskah duduk di sana, dari sekian banyak kursi yang kosong?" gerutu Lulu kesal.
Jenna tidak menjawab. Ia sama sekali tidak lapar, tetapi harus tetap makan untuk bayi yang ada di dalam rahimnya.
"Kata Ibu memang benar. Kamu bukan dari kelas sosial yang sama dengan kita, jadi wajar jika tidak memiliki sopan santun!" ejek Lulu dengan senyum menghina.
Jenna memejamkan mata, biasanya ia dapat mengabaikan hinaan seperti ini. Namun, hari ini suasana hatinya sudah begitu buruk dan gadis muda di hadapannya lah yang begitu tidak memiliki sopan santun. Setelah merasa lebih tenang, Jenna membuka mata, mengangkat wajah dan menatap Lulu yang ada di hadapannya.
"Apakah kamu sendiri mengerti, akan arti dari kata sopan santun itu?" tanya Jenna perlahan. Yang tidak diketahui Jenna, Lulu adalah anak yang amat dimanjakan dan tidak pernah menerima balasan seperti ini, sebelumnya.
Tidak diduga, gelas berisi jus tomat melayang ke wajah Jenna.
TAKKK!
Gelas menghantam kening Jenna dengan jus yang tumpah di seluruh wajah, sebelum pecah saat terjatuh di lantai. Kaki Jenna juga tidak luput dari goresan, pecahan gelas itu.
Tidak ada pelayan yang berani bersuara, apalagi menolong Jenna. Semua menunduk dalam dan mundur teratur.
"Coba bersuara lagi! Maka, piring ini yang akan melayang ke wajahmu! Kamu kira siapa dirimu? Apakah karena menikah dengan kakakku, membuatmu lupa akan asalmu? Kamu tidak berhak berbicara di kediaman ini! Tidak berhak! DASAR PARASIT!" raung Lulu dan membanting sendok yang ada dalam genggamannya.
"Bawa makananku ke kamar! Aku muak berada satu meja dengan orang kampung seperti itu!" perintah Lulu, sebelum melangkah pergi dari ruang makan.
Para pelayan sibuk mengambil makanan Nona mereka dan mengekor, pergi. Meninggalkan, Jenna dengan wajah basah kuyup.
Menghela napas, Jenna mengambil serbet dan membersihkan wajahnya. Jenna meringis, saat tangannya tidak sengaja menyentuh bagian kening. Hantaman gelas itu cukup kuat dan membuat keningnya, bengkak.
Menahan tangis, Jenna berdiri dari duduknya dan kembali naik ke lantai atas, ke kamarnya. Ia baru makan tiga sendok dan semua menjadi seperti ini.
Kembali mandi dan keramas, lalu berganti pakaian. Jenna duduk di sisi ranjang, termenung. Akhir-akhir ini, Jenna lebih sering termenung seperti itu dan sambil menunggu, suaminya kembali.
Saat waktu menunjukkan pukul 9 malam, perut Jenna berbunyi nyaring. Ingin rasanya langsung tidur, tetapi Jenna tidak boleh egois dan harus memikirkan bayi yang ada dalam kandungannya.
Keluar dari kamar dan masih mengenakan pakaian santai. Ya, Jenna masih berharap Leonel pulang lebih awal dan mengajaknya bersama ke rumah sakit, untuk menjenguk ayah mertuanya.
Lantai bawah kediaman sudah sepi dan sebagian lampu sudah dipadamkan.
Jenna melangkah ke dapur dan terkejut saat melihat seseorang ada di sana.
"Jenna," sapa orang tersebut.
"Tuan Logan," balas Jenna dan melangkahkan ke dalam dapur. Jenna berusaha menemukan Anastasya, putri dari pria itu.
"Anastasya tidak ikut datang. Aku hanya datang untuk satu hari, jadi Anastasya akan lelah jika ikut dalam perjalanan singkat ini," jelas Logan Kim, sambil mengeluarkan satu kaleng minuman dari kulkas.
"Apakah Tuan Logan datang untuk menjenguk Tuan Besar Kim?" tanya Jenna.
"Benar. Ada beberapa kesepakatan bisnis yang harus segera dibahas, begitu Tuan Besar Kim sadar."
Lalu, mereka berdua terdiam sejenak. Saat itulah, perut Jenna kembali berbunyi nyaring.
Logan tersenyum dan mengeluarkan kotak salad dari kulkas. Lalu, meletakkannya di atas meja dapur.
"Makanlah. Ibu hamil, memang akan sering merasa lapar."
Wajah Jenna merona dan melangkah maju. Di atas meja dapur terdapat beberapa lampu gantung yang cukup terang dan membuat lebam di kening Jenna terlihat jelas.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Logan yang langsung melangkah maju dan menyentuh kening Jenna.