Bab 8 . Ingat Alasan Kita Menikah!
Duduk di kursi taman, Jenna menatap nanar. Mengapa pernikahan ini tidak seperti yang dibayangkan? Ia tidak berharap kehidupan mewah, Jenna hanya berpikir akan berbeda saat memiliki seorang suami di sisinya. Namun, itu tidak terjadi. Kedua tangan yang diletakkan di atas pangkuan, meremas kain celana yang dikenakannya.
Entah berapa lama, ia duduk termenung. Sampai pada seorang pelayang datang menghampiri dan membuat lamunan Jenna terhenti.
"Nyonya, sudah saatnya sarapan," ujar sang pelayan sopan.
"Ah, terima kasih."
Setelah mengucapkan terima kasih, Jenna mengikuti pelayan itu masuk ke dalam kediaman.
Di ruang makan, Tuan dan Nyonya Besar Kim, beserta adik iparnya, sudah duduk di kursi masing-masing, mengitari meja makan.
Jenna menyapa sopan dan hanya ayah mertua yang membalas. Menarik kursi dan duduk.
"Di mana Leo?" tanya Nyonya Besar sambil mengaduk kopi miliknya. Dulu, ia sama sekali tidak peduli dengan anak tirinya itu. Namun, saat ini ia akan dengan senang hati membuat menantu kampungan itu tidak betah dan segera pindah.
"M-Masih tidur," jawab Jenna pelan.
"Ah ya, pesta bujangan yang tertunda, pasti amat membuat Leo kelelahan," ujar Nyonya Besar sambil tertawa penuh arti. Apa yang dilakukan dalam pesta seperti itu, semua orang pasti sudah tahu.
"Makan saja makananmu!" tegur Tuan Besar Kim datar kepada istrinya itu.
Dengan wajah cemberut, Nyonya Besar mulai menyantap sarapannya.
"Jenna, hari ini Yura sudah mendaftar untuk pemeriksaan kandungan. Minta Leo pergi bersamamu!" ujar Tuan Besar Kim, lembut.
Humphhh!
Ya, Nyonya Besar Kim menahan tawa. Seakan perkataan sang suami, terdengar begitu menggelikan.
BRAKKK!
Tuan Besar Kim memukul meja begitu kuat. Sampai-sampai semua peralatan makan bergetar.
"Kamu cukup diam, jika tidak dapat membantu apa-apa!" tegur Tuan Besar Kim kepada sang istri.
Wanita itu tidak lagi bisa tertawa, setelah dibentak begitu keras oleh suaminya. Namun, tatapan penuh kebencian ditujukan kepada Jenna, seakan berkata semua ini karena dirinya. Jenna langsung menunduk dalam dan menyantap sarapannya, yang terasa begitu hambar.
Mereka sarapan tanpa berbicara lagi, sebab suasana sudah begitu buruk.
"Terima kasih."
Selesai sarapan, Jenna berterima kasih sebelum meninggalkan ruang makan.
Di ruang depan, Yura sudah berada di sana.
"Selamat pagi, Nyonya." Yura menyapa dengan sopan, seperti biasanya.
"Ehm, selamat pagi."
"Hari ini, pukul 10, ada janji temu dengan dokter kandungan."
"Baik, terima kasih."
Jenna kembali naik ke lantai atas, menuju kamar pengantinnya. Saat melangkah masuk, Leo sudah tidak terbaring di kasur. Pria itu sedang mandi, Jenna tahu karena mendengar suara pancuran air.
Sebagai seorang istri, Jenna bermaksud melayani sang suami dengan memilih pakaian kerja pria itu. Cukup gugup, tetapi Jenna memberanikan diri melangkah ke ruang pakaian suaminya itu. Memilih satu setelan formal dan sebuah dasi, yang menurut Jenna paling indah.
Dengan semua itu, Jenna melangkah keluar dari ruang pakaian dan berpapasan dengan Leo, yang hendak melangkah masuk.
Jenna tercekat saat melihat Leo yang berdiri di hadapannya. Rambut basah dan masih meneteskan air, tubuh telanjang dengan handuk putih melilit pinggul pria itu. Tubuh berotot dengan perut sixpack, membuat Jenna kesulitan mengalihkan tatapannya. Namun suara dingin pria itu, langsung membuatnya tersadar.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Leo dingin.
"A-Aku hanya memilih pakaian–"
Ucapan Jenna terhenti, saat Leo merampas setelan yang ada di tangannya. Pria itu langsung melempar setelan itu, ke keranjang pakaian kotor.
Apa yang terjadi membuat Jenna menunduk dan mundur satu langkah. Ia tahu, pria itu marah.
"Jangan pernah! Jangan pernah lakukan itu lagi! Ingat alasan kita menikah!" tegas Leo dengan suara yang rendah dan begitu dingin.
Jenna hanya mengangguk seperti orang bodoh dan merasa takut. Ya, ia merasa ketakutan.
Lalu, Leo berjalan melewati Jenna dan masuk ke ruang pakaian. Tidak lupa, membanting pintu ruangan itu.
Barulah, Jenna dapat bernapas, saat Leonel sudah tidak berada di hadapannya. Terduduk di sisi ranjang, Jenna menatap ke arah pintu ruang pakaian yang sudah tertutup.
Mengapa pria itu menikahinya? Jika, Leo tidak mau bertanggung jawab, Jenna tidak akan keberatan dan akan mengasuh bayi ini sendirian. Jenna kembali menunduk dan mengelus perut bagian bawah yang masih belum membesar.
Mengerjapkan mata beberapa kali, menahan agar air mata tidak mengalir keluar.
Tidak lama, Leo keluar dari ruang pakaian dan sudah berpakaian rapi. Lalu, dengan santai melangkah melewati Jenna, seakan ia tidak berada di sana.
"L-Leo...." Panggil Jenna, memberanikan diri.
Langkah kaki Leonel terhenti dan berbalik menatap Jenna.
"Ada apa?" tanya Leo dingin.
"Ehem, ehem, nanti ad–"
"Bisakah kamu bicara dengan benar? Aku, terburu-buru!" tegur Leo yang hampir kehilangan kesabaran. Ternyata Jenna tidak seperti yang diharapkan. Wanita itu terlalu berlebihan dan bodoh, bicara saja begitu kesulitan.
"Pukul 10 ada janji temu dengan dokter kandungan!" ujar Jenna langsung.
Leo menatapnya dan terdiam untuk sesaat. Ya, tidak dipungkiri, setiap wanita hamil pasti ingin melakukan pemeriksaan, dengan didampingi suami, begitu juga yang dirasakan oleh Jenna.
"Aku sibuk! Pergilah dengan Yura," jawab Leo dan berbalik, lalu berjalan keluar dari kamar.
Kedua tangan Jenna terkepal erat, berusaha mengatur perasaannya. Bukan pertama kali, pria itu bertindak kasar seperti itu pada dirinya. Saat masih menjadi sekretaris, tingkah pria itu bahkan lebih buruk. Apakah Jenna berharap perlakuan Leo akan berubah, setelah pernikahan ini? Ya, itu adalah harapannya. Namun, rasanya itu tidak mungkin, karena mereka menikah bukan karena cinta, tetapi akibat kesalahan satu malam.
Menunduk dalam dan duduk di sisi ranjang, tidak bergerak sampai pintu kamar diketuk.
Tok tok tok!
"Masuklah," seru Jenna dan buru- buru menghapus air mata.
"Selamat siang, Nyonya. Kita harus berangkat sekarang," ujar Yura yang melangkah masuk ke dalam kamar.
Jenna melihat ke arah jam dinding dan waktu sudah hampir pukul 10 siang. Itu artinya, ia duduk di sini hampir selama dua jam.
Jenna mengangguk, kemudian berdiri dan mengambil tas tangannya.
Lalu, mereka meninggalkan kediaman besar Kim, menuju ke rumah sakit swasta ternama di kota.
Yura duduk kursi penumpang bagian depan, samping supir. Jenna duduk di kursi belakang, menatap keluar jendela. Di saat seperti ini, ia begitu merindukan sang nenek. Pelukan sang nenek, yang mampu menenangkan dirinya.
"Yura, nanti setelah dari rumah sakit, bisakah aku pergi menjenguk nenek?" tanya Jenna sopan.
"Akan saya tanyakan dulu, Nyonya."
Balas Yura sopan dan melakukan panggilan melalui ponsel.
Jenna akhirnya sadar, posisinya di kediaman besar Kim, seperti menumpang. Semua fasilitas yang digunakan bukanlah miliknya dan semua itu, harus mendapatkan persetujuan sang pemilik. Maka dari itu, mengapa ada istilah yang mengatakan pernikahan harus dilakukan oleh keluarga yang sejajar. Akhirnya, Jenna mengerti mengapa ada istilah tersebut.
"Tuan Besar Kim, mengizinkan. Hanya saja, Tuan Besar berpesan, agar Nyonya tidak kelelahan."
"Terima kasih."
Parahnya izin itu bukan dari sang suami, melainkan ayah mertua. Bukankah itu menunjukkan dengan jelas, bahwa sang suami tidak peduli.