Bab 24 . Tidak Bahagia
Akhirnya Anastasya, melepaskan pelukannya. Jenna mengecup pipi Anastasya. Setelah ayah dan anak itu pergi, Jenna kembali melangkah masuk ke dalam kediaman. Raut wajahnya kembali suram.
Seperti perkiraannya, sang ibu mertua berada di balik pintu belakang. Tatapan mereka bertemu dan Jenna sama sekali tidak merasa gentar, dengan tatapan penuh kebencian dari wanita itu.
Jenna berdiri diam untuk beberapa saat, menunggu apa yang akan dilakukan Rosa terhadap dirinya. Beruntung bagi Jenna, sebab ibu mertuanya itu langsung berbalik pergi dan tidak mencari masalah dengannya.
Keesokan harinya, Logan dan putrinya kembali datang untuk makan siang bersama. Hanya itu dan Jenna kembali ke kamar setelah ayah serta anak itu pergi.
Kembali ke kamar, Jenna termenung. Ia mengingat kembali pesan Logan tadi. Pria itu kembali mengingatkan untuk menghubunginya, jika Jenna dalam masalah. Seulas senyum tipis menghiasi wajah suramnya, ternyata seperti ini rasanya saat ada seseorang yang peduli, batin Jenna. Berbaring di ranjang, Jenna memejamkan mata, tetapi tidak tertidur.
Kemarin, Leo tidak pulang. Jenna yakin pria itu kesal karena kejadian di ruang makan waktu itu. Namun, Jenna tidak dapat melakukan apa-apa, selain berusaha menghindari hal-hal yang akan membuatnya terjerat dalam masalah. Rasa bersalah kepada sang nenek, masih mencengkeram jiwanya begitu erat. Hal itu membuat Jenna lebih banyak merenung dan mengurung diri, di dalam kamar.
***
Hari demi hari kembali berlalu, usia kandungan Jenna sudah memasuki 7 bulan.
"Nyonya, hari ini ada jadwal pemeriksaan ke dokter kandungan," Yura mengingatkan.
Jenna yang berada di dalam kamar menatap Yura. Bulan lalu Jenna melewatkan waktu pemeriksaan, sebab ia masih begitu berduka. Jadi bagaimanapun, bulan ini pemeriksaan harus dilakukan.
"Bisakah besok kita pergi?" tanya Jenna. Sebab, hari ini ayah mertuanya akan pulang ke kediaman. Jenna ingin menyambut pria tua itu, yang sudah tidak ditemui hampir dua bulan.
"Baik," jawab Yura, tetapi ia masih berdiri di tempatnya menatap Nyonya nya itu.
"Ada apa?" tanya Jenna, yakin ada sesuatu yang hendak disampaikan oleh Yura.
"Maaf, tetapi aku harus mengatakan hal ini. Nyonya begitu pucat dan kurus, alangkah baiknya jika hari ini kita pergi ke rumah sakit. Agar dokter bisa memutuskan apakah Nyonya perlu rawat inap atau tidak," ujar Yura, benar-benar cemas. Jenna tidak terlihat seperti wanita hamil. Wajahnya begitu tirus dan pucat. Hanya bagian perut yang membuncit, sedangkan bagian tubuh lainnya begitu kurus.
"Besok, besok temani aku ke rumah sakit. Hari ini, aku ingin menyambut Tuan Besar Kim," tolak Jenna dengan seulas senyum tipis. Ia tahu Yura amat mencemaskan dirinya, tetapi Jenna merasa tubuhnya baik-baik saja.
Yura hanya dapat mengangguk dengan berat hati dan meninggalkan kamar itu.
Leonel keluar dari kamar mandi dan langsung pergi ke ruang pakaian. Jenna kembali duduk di sisi ranjang, termenung.
Belakangan, Leo lebih sering tidur di rumah. Bukan karena merindukan Jenna, tetapi ia sedang bertengkar dengan Anya dan membuatnya tidak bisa menginap di apartemen kekasihnya itu. Jadi, Leo lebih memilih kembali ke kediaman ini, sebab apartemennya sendiri sudah dikosongkan, sewaktu ia memutuskan untuk menikah.
Seperti biasa, mereka berada dalam satu kamar, tidur di ranjang yang sama, tetapi mereka tidak pernah saling memandang, apalagi berbicara. Leo sampai detik ini tidak pernah menanyakan tentang perkembangan bayi di dalam kandungannya, tidak pernah. Bahkan Jenna ragu, pria itu tahu berapa usia kandungannya saat ini.
Sebenarnya diusia kandungan sekarang ini, Jenna sudah harus mempersiapkan perlengkapan bayi. Namun, ia tidak memiliki hak untuk meminta semua itu.
"Ganti pakaianmu," ujar Leo.
Ucapan Leo membuat Jenna terkejut dan langsung berpaling menatap suaminya itu.
"M-Mengapa?" tanya Jenna, terkejut.
Leo melangkah mendekati Jenna dan berkata, "Kita harus membeli beberapa perlengkapan untuk bayi itu."
Jenna mengerjapkan matanya beberapa kali. Apakah ia sedang bermimpi? batinnya.
Leo menatap Jenna dan melihat bagaimana terkejutnya wanita itu. Itu wajar, karena selama ini ia tidak peduli. Namun, belakang karena lebih sering menghabiskan malam di kamar ini, Leo sering menatap Jenna yang terlelap dan tahu wanita itu tidak bahagia. Ya, Leo juga tidak bahagia dengan pernikahan ini. Memang ia terlepas dari segala perjodohan, tetapi ia juga tidak dapat bersanding dengan Jenna kemana-mana. Wanita ini tidak memiliki kelas yang sama dengannya, artinya mereka tidak cocok.
Kemarin malam saat Jenna terlelap, Leo tidak sengaja menemukan foto hasil USG kandungan dan menatapnya cukup lama. Dilihat dari tanggal foto itu, Leo tahu kandungan Jenna sudah memasuki usia 7 bulan.
"Mengapa?" tanya Jenna, kali ini tidak lagi terkejut, melainkan merasa curiga.
Melihat raut wajah Jenna yang penuh antisipasi, membuat Leo kesal dan berkata, "Jika tidak mau, ya sudah!"
Tidak menunggu jawaban, Leo langsung melangkah keluar dari kamar, meninggalkan Jenna yang masih tidak mengerti. Ya, mengapa pria itu tiba-tiba berubah sikap? Jadi, Jenna yakin pria itu hanya mengejeknya, seperti biasa.
Jenna tidak berharap perhatian palsu seperti itu. Tidak berharap sama sekali.
Siang hari, mobil ambulans masuk ke halaman kediaman Kim. Jenna mengintip dari jendela kamarnya. Hatinya begitu sakit, melihat Tuan Besar Kim diantar menggunakan mobil ambulans. Itu tandanya, kesehatan ayah mertuanya, buruk.
Jenna tidak berani turun ke lantai bawah. Ia akan turun, setelah keadaan tenang. Keluar dari kamar, Jenna duduk di anak tangga teratas, memasang telinga akan apa yang terjadi di lantai bawah.
Satu jam menunggu, barulah Jenna melangkah turun ke lantai bawah. Mengendap-endap.
Kembali berdiri di depan pintu kamar tidur utama, Jenna mengintip ke dalam. Air matanya langsung merebak, kali ini bahkan lebih banyak selang dan peralatan medis yang terhubung di tubuh Tuan Besar Kim.
Kedua tangan Jenna, menutup wajahnya. Tangisannya pecah.
Rosamond yang berada di dalam kamar, mendengar tangisan itu dan langsung melangkah keluar. Sesuai dengan perkiraannya, yang menangis adalah menantu bodohnya itu.
Suara hentakan sepatu hak tinggi dengan tumit runcing, terdengar jelas saat Rosa melangkah mendekati Jenna.
"Ck ck ck, apa yang kamu lakukan?" tanya Rosa sinis. Saat ini, ia berdiri di hadapan menantu bodoh itu dengan kedua tangan, terlipat di depan dada.
"M-Maaf, b-bisakah aku menemui Tuan Besar Kim?" tanya Jenna, sambil berusaha menghentikan tangisannya.
"Apa yang kamu tangisi? Suamiku belum mati. Apakah kamu berharap ayah mertuamu segera meninggal?" tanya Rosa penuh ejekan dan mengabaikan permintaan Jenna.
"T-Tidak! Tidak!" Buru-buru Jenna menjawab, sambil menghapus air matanya.
"Masuklah! Tapi, jangan lama-lama. Keberadaanmu hanya akan membuat udara di kamar menjadi kotor!" ujar Rosa dan melenggang keluar dari kamar, tidak lupa pundaknya mendorong pundak Jenna, cukup kuat.
Dengan kaki gemetar, Jenna melangkah masuk ke dalam kamar. Kembali air matanya berderai, melihat wajah Tuan Besar Kim yang begitu tirus dan pucat.
Wajah Tuan Besar Kim terlihat jauh lebih tua, dengan kerutan wajah yang semakin jelas. Tatapan sayu menatap ke arah Jenna, bahkan ayah mertuanya itu tidak mampu mengusahakan seulas senyum.