Bab 25 . Mereka Tidak Akan Peduli
Jenna menyeka air mata dengan punggung tangannya. Berusaha berhenti menangis dan tersenyum, saat tatapannya bertemu dengan Tuan Besar Kim.
"Apakah Tuan baik-baik saja?" tanya Jenna. Ia tidak terbiasa memanggil ayah atau ibu, kepada mertuanya itu.
Tuan Besar Kim mengangguk perlahan.
"K-Kamu?" tanya Tuan Besar Kim dengan suara begitu lemah. Hanya mengucapkan satu kata itu saja, sudah membuatnya begitu kelelahan.
Jenna buru-buru mengangguk dan berkata, "Kami baik-baik saja."
Kami yang dimaksud Jenna adalah dirinya dan bayi yang berada dalam kandungannya.
Jenna hanya menjenguk sebentar, ia takut Tuan Besar Kim terlalu lelah. Lalu, Jenna keluar, meninggalkan Tuan Besar Kim bersama seorang perawat yang akan berjaga selama 24 jam.
Kembali ke kamarnya di lantai atas, Jenna langsung berdoa, memohon kepada Yang Kuasa untuk kesehatan serta kesembuhan ayah mertuanya itu. Satu hari itu, Jenna menghabiskan waktu di dalam kamar, makan siang diantar oleh Yura ke kamar. Suasana hatinya buruk dan Jenna tidak memiliki kekuatan untuk menghadapi ibu mertuanya. Jadi, lebih baik ia tetap berada di dalam kamar.
Langit mulai gelap dan perasaan Jenna mulai gelisah. Ia tidak tahu mengapa. Apakah ini terkait dengan kesehatan Tuan Besar Kim? Khawatir akan hal tersebut, Jenna turun ke lantai bawah hanya untuk mengintip dari balik pintu kamar utama. Tidak ada masalah, keadaan di dalam kamar utama, tenang-tenang saja. Lalu, mengapa ia begitu gelisah? batinnya, risau.
Kembali ke kamar, Jenna berusaha menenangkan suasana hatinya. Makan malam kembali di antar oleh Yura.
"Apakah Nyonya baik-baik saja?" tanya Yura saat mengantarkan makan malam. Ia bertanya, karena melihat wajah Nyonya nya itu lebih pucat.
Jenna menggeleng.
"Apakah Nyonya sudah meminum multivitamin yang diresepkan oleh dokter?" tanya Yura kembali.
"Aku selalu meminumnya tepat waktu," jawab Jenna. Ya, ia tidak pernah lupa untuk meminum semua pil itu. Itu yang dapat dilakukan untuk menjaga bayi dalam kandungannya.
"Baiklah. Jika Nyonya merasa tidak sehat, maka segera panggil aku," Yura berpesan, sebelum meninggalkan kamar.
Selesai makan malam, Jenna langsung berbaring dan menatap keluar jendela. Hujan rintik-rintik mulai turun, perlahan semakin deras dan diiringi dengan sambaran petir. Entah berapa lama memandang, akhirnya Jenna mendengar pintu kamar dibuka.
Leonel melangkah masuk ke dalam kamar, sedikit mabuk. Hari ini, ia menghadiri perjamuan makan dengan klien, setelah itu bertemu dengan Anya. Setelah pertengkaran singkat, percintaan mereka tadi terasa lebih panas dan Leo merasa puas. Ya, ia sudah berbaikan dengan Anya. Pertengkaran kecil seperti ini, menjadi pemanis di dalam hubungan mereka.
Seperti biasa, Leo langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang tanpa mandi atau bertukar pakaian. Kepalanya pusing dan tubuhnya lelah, akibat percintaan tadi. Masalah Jenna, akan dipikirkan besok. Ia mungkin akan meminta Yura untuk menemani Jenna, pergi berbelanja.
Jenna yang langsung membalikkan badan begitu pintu kamar dibuka, mulai mendengar dengkuran halus suaminya itu. Aroma parfum dan alkohol menguar dari tubuh suaminya. Jenna tidak peduli, apalagi cemburu. Ia sudah terbiasa.
Semakin malam, hujan semakin lebat dan sambaran petir semakin kencang.
Jenna yang sudah terlelap, tiba-tiba saja terbangun. Ia terbangun bukan karena suara sambaran petir yang memekakkan telinga, tetapi karena rasa sakit melilit pada perutnya.
Mulai merasa ketakutan, Jenna berusaha duduk. Butiran keringat mulai memenuhi pelipis, gaun tidurnya basah pada bagian punggung, yang juga dibanjiri keringat. Bahkan telapak tangannya basah, Jenna benar-benar kesakitan. Hanya untuk duduk, Jenna harus berusaha sekuat tenaga.
"L-Leo."
"Leo!"
"LEO!"
Jenna memanggil suaminya dan sambil mendorong bahu bidang itu. Perasaannya begitu ketakutan, Jenna memiliki firasat buruk akan apa yang dialaminya saat ini.
"LEO!" panggil Jenna semakin keras.
"Argh! Apa?" teriak Leo gusar dan membalikkan tubuhnya, membelakangi Jenna.
"Perutku sakit! B-Bisakah tolong antar aku ke rumah sakit?" tanya Jenna, sambil berusaha menahan rasa sakit yang begitu menakutkan.
"Besok!" balas Leo dan mengambil bantal, menutup wajahnya.
Jenna meringis menahan rasa sakit dan berusaha mengatur napas.
"T-Tidak! Harus sekarang," seru Jenna dan menarik bantal yang menutupi wajah Leo.
Leo kesal dan menarik kuat bantal itu kembali, seraya berteriak, "BESOK! DAN JANGAN GANGGU AKU LAGI!"
Kembali Leo menutup wajahnya dengan bantal dan langsung mendengkur.
Jenna tidak lagi berusaha membangunkan suaminya itu dan perlahan, berusaha turun dari ranjang. Satu demi satu, langkah kecil diambil. Jenna bahkan tidak dapat menegakkan tubuhnya, sebab perutnya begitu sakit. Keringat dingin kembali mengucur deras, membasahi kepala dan tubuhnya. Tangan yang basah karena keringat, sibuk menggapai sudut perabotan, menopang tubuhnya.
"A-aku mohon, bertahanlah, anakku," ujar Jenna kepada bayi dalam kandungannya.
Akhirnya Jenna berhasil mencapai pintu kamar tidur dan memutar kenop. Namun, ia masih harus menuruni anak tangga yang begitu banyak.
Jenna memilih untuk duduk di anak tangga dan menuruni satu per satu. Ia tidak mau mengambil resiko, terguling di tangga curam itu.
Menggigit bibir bagian bawah yang mulai gemetaran. Jenna bahkan tidak sadar air matanya sudah mengalir deras dan setiap anak tangga yang didudukinya, meninggalkan jejak darah. Gaun tidur katun berwarna putih, selain basah karena keringat, tetapi pada bagian belakang rok, juga basah karena darah segar.
Butuh usaha keras untuk mencapai anak tangga terakhir. Menggunakan kekuatan tangannya, Jenna akhirnya berhasil berdiri dan melangkah dengan susah payah, menuju pintu utama kediaman Kim.
Mendorong pintu utama hingga terbuka lebar, Jenna disambut oleh angin kencang dan hujan lebat.
Jenna harus berjalan ke arah pos keamanan di dekat gerbang kediaman ini. Ia tidak peduli, walau harus basah kuyup.
Di bagian garasi mobil, yang terpisah dari kediaman, Paman Bong melihat ada seseorang yang keluar dari pintu kediaman. Paman Bong, tinggal di kediaman ini, tepatnya ia menempati satu ruangan sempit di dalam garasi. Namun, malam ini ia tidak dapat tidur karena petir yang terus menyambar. Jadi, ia memutuskan untuk minum kopi dan duduk di depan garasi, menikmati angin malam yang dingin. Hanya saja, ia tidak menyangka akan menemukan Nyonya Jenna melangkah keluar dibawah guyuran hujan lebat ini.
Langsung saja, Paman Bong menaikkan topi jaket lusuhnya dan berlari menghampiri Nyonya nya itu.
"NYONYA, ANDA MAU KEMANA MALAM-MALAM SEPERTI INI?" teriak Paman Bong. Hujan begitu deras dan ia harus berteriak, agar ucapannya dapat terdengar.
"P-Paman..., a-aku aku harus ke rumah sakit. P-perutku begitu sakit!" jelas Jenna dengan suara yang sedikit lebih kencang.
Paman Bong melihat ke bawah, gaun tidur Nyonya nya itu sudah berubah warna.
"NYONYA, TUNGGU SEBENTAR! AKU AKAN MEMANGGIL NYONYA BESAR!" seru Paman Bong yang jelas-jelas mulai cemas dan hendak berlari ke dalam kediaman. Namun, langkahnya terhenti karena lengannya digenggam oleh tangan sang Nyonya yang gemetaran.
"M-Mereka tidak akan peduli. B-Bisakah Paman mengantarku? A-Aku mohon," ujar Jenna dengan mata merah karena terus menerus menangis. Air matanya tersamarkan oleh air hujan yang membasahi wajahnya.