Bab 20 . Penyesalan
Mobil kembali melaju, tetapi putar balik dan menuju ke panti.
Jenna hanya bisa menangis. Hatinya begitu hancur, jika saja ia sering menjenguk sang nenek maka tidak ada penyesalan seperti ini. Tiga bulan, ya Jenna memiliki waktu tiga bulan untuk bertemu dengan sang nenek, tetapi ia memilih menghindar, hanya karena masalah tinggal bersama. Ia yakin jika dijelaskan kepada sang nenek, maka beliau akan mengerti. Andai saja. Andai saja.
Tiba di panti, Jenna langsung berlari ke dalam. Yura sibuk menelepon, ia tidak dapat menghubungi Tuan Besar Kim, karena beliau sedang dalam perawatan intensif. Jadi, Yura menghubungi Leonel Kim, suami dari Nyonya nya itu.
"Halo, Tuan."
[Ada apa?]
"Nenek dari Nyonya Jenna, meninggal dunia. Saat ini, kami berada di panti."
Leonel diam sesaat.
[Urus, apa yang perlu diurus!]
Lalu, panggilan diputus.
Di dalam kamar.
Jenna berlutut di samping ranjang, tempat di mana jasad sang nenek terbaring.
"M-Maafkan aku.... Nenek, maafkan aku."
"M-Maaf...."
Hanya permintaan maaf yang terlontar dari bibir Jenna, di sela isak tangisnya. Perasaannya begitu terpuruk dan dililit penyesalan.
"Beliau pergi dengan tenang. Sebelum pergi, Beliau berkata bahwa sudah dapat pergi dengan tenang, karena cucunya telah memiliki keluarga baru," jelas kepala panti yang berada di ruangan itu.
Tangisan Jenna semakin pecah. Ia tidak memiliki keluarga. Keluarganya hanyalah sang nenek. Keluarga suaminya, sama sekali tidak menganggapnya. Kali ini, Jenna benar-benar sebatang kara dan ia begitu ketakutan.
Ambulans tiba dan jasad sang nenek dipindahkan ke rumah duka. Semua hal diatur oleh Yura. Jenna sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa, selain menangis. Ia mengikuti kemana tubuh sang nenek dibawa.
Saat langit mulai gelap, semua sudah selesai diatur. Jenna sudah berganti pakaian dengan pakaian berkabung dan saat ini berlutut di depan altar. Di sana, hanya ada Yura yang menemani. Tamu yang datang melayat, hanyalah beberapa orang perawat dan kepala panti. Setelah itu, tidak ada lagi yang datang. Tidak ada satu pun anggota Keluarga Kim yang hadir, termasuk sang suami.
Hari semakin malam, akhirnya ada satu tamu yang hadir. Namun itu adalah Paman Bong, sang tukang kebun.
Jenna tidak peduli siapa yang datang dan siapa yang tidak. Ia begitu diliputi rasa bersalah dan penyesalan.
"Nyonya, minum dan makanlah sedikit," ujar Yura yang datang menghampiri Jenna.
Jenna hanya mengangguk, tanpa menatap ke arah Yura. Ia tahu Yura berbicara dengannya, tetapi Jenna tidak mampu mengerti apa yang diucapkan.
Yura meletakkan sebotol air mineral dan beberapa potong roti di samping Nyonya nya itu.
***
Keesokan harinya adalah hari pemakaman. Jenna mengikuti semua prosesi itu, seperti mayat hidup. Ia tidak merasakan apa pun lagi, bahkan air mata sudah tidak dapat mengalir. Jenna hanya mengikuti semua perintah Yura.
Saat hari mulai sore, mereka kembali ke kediaman Kim. Yura mengantarkan Jenna ke kamar.
"Mandilah Nyonya. Nanti, aku akan meminta pelayanan mengantar makanan," ujar Yura yang merasa cukup lelah.
Jenna mengangguk dan masuk ke kamar mandi. Membuka pancuran dan berdiri di bawah siraman air dingin, masih mengenakan pakaian berkabung. Saat itulah, tangisan Jenna kembali pecah dan ia terduduk di lantai, menekuk kedua kaki dan memeluk lututnya.
Yura tidak langsung keluar dari kamar, ia merasa tidak tenang, meninggalkan Nyonya nya sendirian. Dugaannya benar, suara isak tangis terdengar di sela suara pancuran air.
Memutar kenop pintu, Yura langsung melangkah masuk dan melihat Jenna yang terduduk di bawah pancuran. Mematikan keran pancuran, Yura langsung mengambil handuk dan disampirkan pada bahu Jenna yang gemetaran.
"Nyonya harus kuat. Ingat, saat ini di tubuh Nyonya ada nyawa yang lain," ujar Yura lembut.
Tangisan Jenna semakin kencang dengan tubuh yang terguncang kuat. Yura memeluk wanita malang itu, berusaha sedikit menghibur. Hampir satu jam, akhirnya Jenna mulai tenang dan dibantu Yura, ia mandi lalu berganti pakaian.
Jenna duduk di sisi ranjang dan telah mengenakan pakaian tidur, berwarna putih.
"Nyonya tunggu sebentar, aku akan meminta pelayan menyiapkan bubur."
Kemudian, Yura turun ke lantai bawah, tepatnya ke dapur.
"Siapkan bubur untuk Nyonya Jenna," perintah Yura kepada sekelompok pelayan yang berada di dapur.
Namun, anehnya tidak ada satu pun pelayan yang bergerak dari tempat mereka. Semua hanya menatap Yura dengan tatapan cemas.
"Tidaklah kalian dengar perkataanku tadi?" tanya Yura dengan nada tinggi.
Akhirnya kepala pelayan melangkah maju dan berkata, "Kami tidak diizinkan memasak untuk Nyonya Jenna dan itu adalah perintah, Nyonya Besar."
Yura terdiam sejenak dan bertanya, "Sudah berapa lama? Lalu, Nyonya Jenna makan apa?"
"Sudah hampir tiga bulan, semenjak Nyonya Jenna tidak makan di ruang makan bersama Nyonya Besar dan Nona. Nyonya Besar kesal dan menyuruh kami membuang semua sisa lauk, serta melarang kami memasak untuknya. Selama ini, Nyonya Jenna memasak makanannya sendiri," jelas sang kepala pelayan.
Yura berang dan marah. Bagaimanapun, Jenna adalah menantu Keluarga Kim dan sedang hamil, mengapa mereka begitu tega terhadap wanita malang itu? batinnya.
Tidak mengatakan apa pun lagi, Yura menggulung lengan kemeja panjangnya dan berjalan ke dapur. Mulai saat ini, ia yang akan bertanggung jawab untuk makanan Nyonya Jenna. Yura berada di bawah kepemimpinan Tuan Besar Kim dan tidak perlu mengikuti ucapan Nyonya Besar Kim.
Butuh setengah jam untuk menyiapkan bubur ikan yang lezat. Tidak lupa Yura menuangkan segelas susu hangat. Pantas saja, tubuh Nyonya Jenna begitu kurus. Seharusnya bagi wanita hamil, berat badan harus bertambah.
Tok tok tok!
Mengetuk pintu kamar perlahan, sebelum membukanya. Yura pun melangkah masuk. Jenna masih duduk di tempat yang sama, tetapi sudah tidak menangis lagi.
"Nyonya harus makan," ujar Yura, sambil menata mangkuk dan gelas di meja sudut.
Melihat sang Nyonya masih duduk diam, Yura kembali berkata, "Walaupun tidak lapar, Nyonya harus makan demi bayi yang ada dalam kandungan."
Barulah, Jenna turun dari sisi ranjang dan berjalan ke arah meja sudut. Menarik kursi dan duduk, lalu mulai makan.
Hanya 5 sendok bubur dan dua teguk susu, Jenna tidak lagi mampu menelan. Jika dipaksakan, maka ia akan memuntahkan semua itu.
"Istirahatlah, Nyonya," ujar Yura dan menata kembali mangkuk serta gelas, ke atas nampan.
Jenna berjalan ke arah ranjang dan naik ke atas, merebahkan tubuh, mencoba untuk beristirahat. Mencoba untuk tidur.
Yura keluar dari kamar, meninggalkan sang Nyonya sendirian.
Walaupun memejamkan mata, Jenna tidak dapat tertidur. Penyesalan membuatnya terus berandai-andai dan itu membuatnya semakin merasa bersalah. Malam itu, Jenna sama sekali tidak dapat terlelap.
Tengah malam, pintu kamar dibuka, Jenna tahu itu adalah suaminya. Ia segera membalikkan tubuh, agar membelakangi pintu kamar, membelakangi Leo.
Bau alkohol memenuhi kamar tidur. Ya, bau itu menguar dari tubuh sang suami. Jenna mengambil kesimpulan, suaminya baru saja berpesta sampai mabuk dan itu sudah biasa.