Bab 19 . Belajar Untuk Tidak Peduli
"Aku akan memastikan kamu diceraikan Leonel dan didepak keluar dari rumah ini! Aku muak melihat wajahmu!" maki Rosa, tepat di depan wajah Jenna.
Kemudian, ibu mertuanya berbalik dan meninggalkan Jenna sendirian, di koridor.
Jenna bersandar di dinding dan menyentuh wajahnya. Memejamkan mata dan berusaha mengendalikan diri. Saat itulah, ada rasa sakit pada bagian bawah perutnya. Perutnya kram. Mengabaikan perasaannya yang begitu buruk, Jenna berjalan dan masuk ke dalam kamar. Kemudian, merebahkan tubuhnya di atas ranjang, memejamkan mata dan mengatur napasnya. Jenna yakin keram perut yang dirasakan karena suasana hatinya begitu buruk.
Tidak tahu merebahkan diri berapa lama, akhirnya rasa sakit itu menghilang dan Jenna pun, turun dari ranjang.
Hari-hari kembali berlalu dengan lambat. Jenna sudah tidak berbicara apa pun dengan Leonel. Pria itu juga tidak bertanya apa pun mengenai kehamilannya. Tidak ada yang bertanya, kecuali Tuan Besar Kim. Dengan ayah mertuanya itu, Jenna dapat menunjukkan foto hasil USG kandungannya. Jenna bersyukur, masih memiliki seseorang di dalam kediaman ini yang peduli padanya.
***
Satu bulan kembali berlalu dan kandungan Jenna, hampir memasuki usia 4 bulan.
Di rumah sakit, Jenna kembali melakukan pemeriksaan kandungan, sebulan sekali.
"Bulan depan, Nyonya sudah dapat mengikuti kelas senam hamil. Itu akan membantu proses kelahiran lebih mudah," jelas sang dokter sambil menuliskan resep vitamin untuk Jenna.
"Apakah suami harus turut serta?" tanya Jenna. Sejauh yang diketahui, senam hamil harus dilakukan berpasangan. Jadi, lebih baik bertanya untuk memastikan terlebih dahulu.
"Tentu, suami harus terlibat. Jadi, pastikan suamimu ikut," jawab sang dokter, sambil menyerahkan kertas resep yang telah ditulis.
"Terima kasih."
Setelah berterima kasih, Jenna pun keluar dari ruang praktek dan meninggalkan rumah sakit.
Di dalam mobil.
"Bisakah kita singgah ke panti sebentar? Hanya sebentar, aku ingin membeli beberapa buah untuk nenek," ujar Jenna.
"Baik, Nyonya," jawab Yura dan kemudian memerintahkan supir untuk pergi ke panti.
"Dapatkah berikan aku selembar kertas dan bolpoin?" tanya Jenna kembali.
Yura mengoyak selembar kertas dari buku agendanya dan menyerahkan kepada Jenna, beserta dengan sebuah bolpoin.
Jenna menulis pesan singkat untuk sang nenek dan melipatnya.
Tiba di depan gerbang panti, mobil berhenti.
Jenna turun dan membeli beberapa macam buah-buahan, menggunakan uang miliknya. Selama menjadi seorang istri, Jenna belum pernah diberi uang oleh suaminya dan ia juga tidak sudi untuk meminta. Jenna berencana setelah melahirkan nanti, ia akan kembali bekerja, tentu tidak akan bekerja menjadi sekretaris suaminya lagi.
Setelah membeli buah, Jenna kembali ke mobil dan mengetuk kaca jendela mobil, di mana Yura duduk.
Yura turun dari mobil.
"Tolong antarkan
buah ini kepada nenekku dan serahkan surat ini. Katakan pada beliau, akhir-akhir ini aku sibuk," ujar Jenna.
Yura tidak banyak bertanya dan langsung menerima bungkusan buah beserta surat, lalu melangkah masuk ke dalam panti.
Tidak sampai 5 menit, Yura sudah keluar dan menyerahkan selembar kertas yang dilipat kepada Jenna.
"Ini surat dari nenek Anda."
Jenna menerima surat itu, tetapi tidak langsung membacanya. Melainkan menyimpan surat itu ke dalam saku pakaiannya.
Mobil pun membawa mereka kembali ke kediaman Kim.
Begitu sampai, Jenna langsung naik ke lantai atas, menuju kamarnya.
Duduk di sisi ranjang dan mengeluarkan surat dari sang nenek.
'Utamakan suami dan keluarga suamimu. Nenek di sini, baik-baik saja.'
Kalimat pendek yang ditulis dengan tulisan yang acak-acakan. Ya, Jenna mengenali tulisan tangan sang nenek dan air matanya kembali berderai. Memeluk kertas itu dan Jenna menangis sesenggukan. Ia begitu merindukan sang nenek dan begitu ingin pergi meninggalkan kediaman ini. Namun, Jenna tidak boleh egois, ia harus memikirkan bayi dalam kandungannya.
Menangis, sampai tertidur.
Jenna terbangun, saat kamar sudah gelap gulita. Tadi, ia belum menyalakan lampu. Dengan tubuh yang terasa sakit, Jenna perlahan bangkit dan turun dari ranjang. Menyalakan lampu dan membutakan matanya, sulit menyesuaikan dengan ruangan yang begitu terang. Menatap ke arah jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Saat itulah, perut Jenna berbunyi, lapar.
Di rumah ini, tidak ada yang peduli padanya. Mungkin jika ia mati di kamar ini, mereka akan menyadarinya setelah tubuhnya membusuk. Dengan langkah gontai, Jenna keluar dari kamar dan turun ke lantai bawah, ke dapur tepatnya.
Membuka kulkas dan memasak makanan sederhana, untuk makan malam. Tidak perlu waktu lama, Jenna duduk di kursi tinggi meja dapur dan mulai menyantap makanannya. Perutnya kembali terasa melilit dan itu membuat Jenna meringis, menahan sakit. Untuk beberapa saat, Jenna tidak mampu makan dan hanya duduk diam. Setelah rasa sakit itu hilang, barulah Jenna kembali makan.
Seperti itulah rutinitas Jenna di kediaman ini.
***
Usia kandungan memasuki bulan kelima dan perut Jenna mulai sedikit membuncit.
Di rumah sakit.
"Berat badanmu tidak naik, malahan turun. Apakah kamu mengalami mual dan muntah?" tanya sang dokter.
Jenna hanya menggeleng. Ia tidak tahu bagaimana bisa bertahan sejauh ini, tetapi ia berhasil. Beberapa tamparan dan cacian, juga diterima dalam kurun waktu satu bulan belakang ini. Bahkan Jenna sama sekali tidak merasakan sakit, ia hanya belajar untuk tidak peduli. Apalagi sudah hampir satu bulan, Tuan Besar Kim kembali dirawat di rumah sakit, karena kesehatan beliau menurun drastis.
"Apakah kamu baik-baik saja?" tanya sang dokter kembali.
Jenna kembali mengangguk dan mengusahakan seulas senyum palsu.
"Nanti, ingat mendaftar ke kelas senam hamil, di bagian depan," pesan sang dokter kembali.
"Baik, terima kasih," ujar Jenna sopan, lalu keluar dari ruang praktek dokter tersebut.
Keluar dari rumah sakit, tanpa mendaftar untuk apa pun.
Di dalam mobil, Jenna merasa perasaannya begitu tidak enak. Dadanya terasa sakit dan pedih, bahkan matanya mulai menghangat. Perasaan apa ini? batin Jenna khawatir. Berusaha mengabaikan perasaan itu, Jenna bersandar di sandaran kursi mobil dan memejamkan mata.
Saat itulah, ponselnya berdering.
Ponselnya jarang merima panggilan maupun pesan. Biasanya, Jenna hanya akan mendapatkan pesan terkait iklan. Melihat nomor panggilan yang masuk, Jenna langsung mengangkatnya.
"Halo."
Terdiam untuk sesaat, sebelum ponsel terlepas dari pegangannya.
Yura yang duduk di samping pengemudi, langsung berbalik menatap ke arah Nyonya nya, yang pucat pasi.
"Ada apa, Nyonya?" tanya Yura buru-buru dan meminta supir, menghentikan laju mobil.
Supir memarkirkan mobil di bahu jalan dan Yura langsung turun. Membuka pintu mobil di mana Jenna berada dan bertanya kembali, "Ada apa, Nyonya?"
Jenna tidak sanggup berbicara, tubuhnya gemetar hebat dan air mata mengalir sendiri, tanpa henti.
"Nyonya, ada apa?" tanya Yura dengan cemas.
"N-Nenek.... N-Nenekku...."
Hanya itu yang dapat diucapkan Jenna. Lalu, Yura melakukan panggilan telepon ke panti dan akhirnya tahu alasan, mengapa Nyonya nya itu terlihat begitu shock.
Sang nenek, telah meninggal dunia. Ya, itu kabar yang didapat oleh Yura.