Bab 16 . Gunakan Otakmu
Jenna menengadah dan menatap ke arah tukang kebun Keluarga Kim, Paman Bong.
"Ya, Paman," jawab Jenna, yang langsung berdiri dari duduknya. Sedari kecil sang nenek selalu menekankan, agar memperhatikan sopan santun.
"Duduklah, Nyonya," ujar Paman Bong yang merasa segan, melihat Jenna berdiri hanya untuk berbicara dengannya.
"Tidak apa-apa, Paman. Aku sudah terlalu lama duduk. Jadi, berdiri sebentar akan membuat tubuhku tidak kaku," balas Jenna, yang tahu Paman Bong merasa segan terhadapnya.
"Ada apa, Paman?" tanya Jenna kembali.
"Ehm, Paman ingin meminta bantuan Nyonya," jawab Paman Bong, sambil menundukkan kepala, berpikir apakah tindakannya ini tepat atau tidak.
"Katakan, Paman. Jika aku bisa, maka pasti akan membantu," jawab Jenna. Ya, ia akan dengan senang hati membantu pria tua itu.
"Hari ini banyak bibit bunga yang harus ditanam. Namun, punggung Paman keseleo dan sulit untuk membungkuk. Bisakah, Nyonya membantu menaburkan bibit-bibit itu?" tanya Paman Bong. Sebenarnya, tidak ada masalah dengan punggungnya. Bahkan tanah sudah digarap dan tinggal menabur bibit. Hanya saja, ia tidak tega melihat Nyonya baru itu hanya duduk termenung. Berkebun, biasanya mampu membuat suasana hati seseorang, menjadi lebih baik.
"Tentu, Paman. Aku belum pernah menanam bibit, tetapi aku cepat belajar," jawab Jenna dan merasa senang. Akhirnya ada yang dapat dilakukannya.
Lalu, mereka berdua berjalan ke arah taman di dekat gerbang tinggi kediaman. Paman Bong meletakkan sebuah kursi kecil di dekat Jenna dan memintanya untuk duduk. Kemudian, dengan bersemangat, Paman Bong mulai mengajarkan bagaimana menanam bibit-bibit itu. Jenna mendengar dengan antusias, sambil mengenakan sarung tangan khusus untuk berkebun, yang memang sudah disediakan oleh Paman Bong.
Cuaca mendung, jadi Jenna tidak akan kepanasan tanpa topi.
"Aku mengerti, Paman. Bisakah aku langsung mulai?" tanya Jenna senang.
"Tentu, Nyonya."
Jenna mulai bekerja. Ternyata memiliki kegiatan seperti ini, membuat waktu berlalu cukup cepat.
Paman Bong sesekali akan mencuri pandang ke arah sang Nyonya dan ikut tersenyum, saat melihat Nyonya nya itu tersenyum. Mereka tidak mengobrol, tetapi suasananya begitu santai.
Namun, ketenangan itu segera berakhir, saat mobil mewah berbelok masuk, melewati gerbang.
Seakan dapat merasakan akan ada hal buruk yang terjadi, buru- buru Paman Bong menghampiri Jenna.
"Nyonya, sisanya biarkan aku yang menyelesaikan," ujar Paman Bong.
Jenna tahu itu adalah mobil ibu mertuanya, tetapi ia berpikir apa yang dilakukannya saat ini tidak mengganggu mereka. Jadi, ia terus melanjutkan dan mengabaikan perkataan Paman Bong.
"Tidak usah, Paman. Aku senang melakukan ini," balas Jenna yang terus berkutat di depan tumpukan tanah.
Di dalam mobil yang baru berhenti di depan pintu rumah kediaman.
Rosamond melepaskan kacamata hitam merek ternama dan menyimpan di dalam tas tangan, yang juga tidak kalah mahal. Saat-saat seperti ini amat ia sukai, sebab sang suami berada di rumah sakit dan ia memiliki waktu untuk mengurus dirinya sendiri, seperti pergi ke spa dan berbelanja.
Supir membukakan pintu dan Rosa turun dari mobil. Namun, apa yang terlihat, membuatnya membeku, tetapi hanya untuk sesaat sebelum melangkah dengan kesal, menghampiri menantu kampungan itu.
Paman Bong mulai gemetar ketakutan, saat melihat siapa yang sedang berjalan ke arah mereka.
Hal itu tidak terlepas dari pandangan Jenna, yang kemudian memalingkan wajah untuk melihat apa yang membuat Paman Bong ketakutan.
Melihat ibu mertuanya yang datang menghampiri, Jenna langsung berdiri dan berbalik, menghadap wanita itu. Ia tidak tahu apa yang akan dipermasalahkan oleh ibu mertuanya lagi.
Berhenti tepat di hadapan Jenna, Rosa bertanya, "Apa yang kamu lakukan?"
"M-Maaf Nyonya, aku yang–"
"Berkebun," jawab Jenna langsung, memotong ucapan Paman Bong. Ia tidak ingin pria tua itu, terlibat masalah karena dirinya.
PLAKKK!
Satu tamparan melayang keras di wajah Jenna. Bahkan, tamparan itu membuat telinganya berdenging.
"Gunakan otakmu! Apa yang akan orang-orang katakan, saat melihat menantu keluarga Kim berkutat dengan tanah? Apakah kamu ingin mencemarkan nama baik keluarga ini?" raung Rosa, benar-Benar marah.
Lalu, tamparan ini, tidakkah kamu takut dilihat orang lain? batin Jenna. Tentu itu tidak diucapkan olehnya. Menyentuh wajahnya yang mulai terasa berdenyut, Jenna langsung berlari masuk ke dalam kediaman. Melihat hal tersebut, Rosa tidak tinggal diam dan terus mengejarnya. Meninggalkan Paman Bong yang masih gemetar, karena begitu ketakutan.
Suara tumit sepatu Rosa, terdengar jelas di belakang Jenna yang sudah berada di ruang tengah kediaman. Ia tahu, ibu mertuanya tidak akan membiarkannya begitu saja dan seharusnya, Paman Bong sudah tidak berada dalam masalah.
Jenna menghentikan langkah dan berbalik menatap Rosa, yang juga berhenti melangkah.
"Kamu, melawan?" tanya Rosa dengan nada tinggi.
"Tidak. Aku hanya khawatir orang-orang akan melihat," jawab Jenna, menggunakan ucapan ibu mertuanya untuk menjawab.
PLAKKK!
Satu tamparan kembali mendarat di wajah Jenna. Butuh usaha keras bagi Jenna untuk tidak melawan atau berteriak. Ya, ia harus mengalah demi anak dalam kandungannya. Ia harus bertahan.
"M-Maafkan aku. Aku tidak akan melakukan hal itu lagi," ujar Jenna, terburu-buru, sambil menyentuh wajahnya yang terkena tamparan sebanyak dua kali.
"Apakah kamu mengira, akan mendapat perlakuan khusus karena sedang hamil? Apakah kamu mengira aku seperti Leonel?" tanya Rosa dan maju satu langkah.
Jenna mundur satu langkah, ia tidak ingin berada terlalu dekat dengan ibu mertuanya itu.
"Kamu makan dan tinggal gratis di kediaman ini, maka setidaknya jangan membuat masalah. Tempatmu adalah di atas, di kamarmu! Tidak perlu keluar dari sana, jika tidak penting! Melihatmu membuat hariku yang indah, menjadi buruk!" raung Rosa dan berjalan melewati Jenna. Tidak lupa pundaknya mendorong kasar pundak Jenna, saat melewatinya.
Memejamkan mata dan mengatur perasaannya, Jenna berjalan keluar dari kediaman. Ia ingin bertemu dengan Paman Bong, agar pria tua itu tidak merasa bersalah dan cemas.
"N-Nyonya..." panggil Paman Bong, sambil berlari menghampiri Jenna.
"Maaf, Paman. Semua sudah tidak ada masalah," ujar Jenna.
Air mata Paman Bong merebak, saat melihat pipi Nyonya nya itu bengkak. Ia merasa begitu bersalah, andai saja tadi ia tidak meminta bantuan Nyonya nya itu, maka hal buruk ini tidak akan terjadi.
"Ini bukan salah Paman. Ibu mertuaku tetap akan marah, walaupun tanpa kejadian hari ini. Jadi, Paman kembalilah bekerja, aku baik-baik saja dan akan beristirahat di kamar," jelas Jenna dan kembali masuk ke dalam kediaman.
Naik ke lantai atas dan kembali duduk di sisi ranjang, termenung.
Siang itu, Leonel menghabiskan waktu cukup lama di apartemen Anya. Bercinta dan bercinta, itu yang dilakukan mereka berdua.
"Mengapa kamu menikahi istrimu?" tanya Anya yang mengenakan kemeja Leo dan duduk di pangkuan pria itu.
"Karena dia hamil," jawab Leo yang tidak begitu suka mendapat pertanyaan, yang terkait dengan Jenna.
Anya memeluk leher Leo dan menghirup aroma tubuh maskulin itu, seraya berkata, "Tapi, aku suka status barumu itu. Hubungan kita menjadi lebih panas dan bergairah."