Bab 15 . Perlakuan Buruk
"Bukankah kamu terlalu kasar?" tanya Rosa, pura-pura prihatin. Padahal, di dalam hati Rosa bersorak gembira.
Leonel tidak menjawab dan meneguk kopi panas yang telah disajikan.
Lulu tersenyum puas, ia bangga dengan kelakuan kurang ajarnya itu. Ia merasa berhak, dengan status sosial yang lebih tinggi dari istri abang tirinya itu. Belum lagi, Leonel sama sekali tidak keberatan, seakan memberikan izin bagi mereka untuk bertindak kasar terhadap Jenna.
Jenna kembali ke kamar dan duduk di sisi ranjang, tempat yang paling sering ditempatinya, semenjak masuk ke dalam kediaman Keluarga Kim. Kedua tangannya diletakkan di atas pangkuan, terkepal erat.
Menarik dan membuang napas, beberapa kali. Berharap, tindakan itu dapat menenangkan perasannya yang hancur.
Semua baik-baik saja. Semua baik-baik saja. Kata-kata tersebut, terulang terus di benaknya, itu yang dilakukan Jenna untuk menghibur dirinya sendiri. Selama ini, tempat untuk mencurahkan segala kegundahan adalah kepada sang nenek. Sebab, Jenna tidak memiliki sahabat. Ya, sebagai anak yatim piatu dan miskin, ia tidak memiliki waktu untuk bermain. Setiap waktu amat berharga, baginya. Namun, kesulitannya saat ini tidak mungkin dikatakan kepada sang nenek. Jenna khawatir, nenek akan sangat kecewa dan kesehatannya memburuk.
Jadi, Jenna hanya dapat bertahan dan bertahan. Bertahan demi anak yang ada dalam kandungannya. Berharap, hari esok akan lebih baik. Berharap. Ya, harapan yang membuatnya sedikit dapat bernapas lega.
Tidak lama, pintu kamar dibuka dan Leo, melangkah masuk.
Jenna mengangkat wajah dan menatap ke arah suaminya itu. Berharap, Leo mengatakan sesuatu. Namun, pria itu berjalan melewatinya begitu saja, seakan tidak ada yang terjadi.
Kembali menundukkan kepala, Jenna mendengar suara pancuran yang dinyalakan, tanda Leo sedang mandi.
Pakaiannya yang basah karena jus jeruk, mulai mengering. Tubuh Jenna, menggigil, kedinginan. Namun, siapa yang peduli. Ia harus menjaga dirinya sendiri. Ya, itu yang dapat dilakukan, sambil menunggu anaknya lahir.
Perkataan Leo mengenai tes DNA, kembali terngiang dan tanpa sadar, Jenna mengelus perutnya yang masih belum membuncit. Entah kehidupan seperti apa yang akan menanti anaknya ini.
Leo keluar dari kamar mandi, masih dengan handuk yang membalut pinggang ke bawah. Menatap ke arah Jenna yang duduk di sisi ranjang dengan kepala menunduk.
"Tukar pakaianmu! Kamu akan merepotkan orang lain, jika jatuh sakit!" tegur Leo dingin. Entah mengapa, ia menjadi sulit berbicara lembut kepada Jenna. Namun, dirinya memang seperti ini, bahkan lebih buruk lagi saat wanita itu, masih menjadi sekretarisnya. Hanya saja saat menjadi rekan kerja, Jenna tidak begitu mengesalkan seperti sekarang ini.
Mengingat akan kenyataan dirinya masih berusaha keras menemukan pengganti Jenna, membuat Leo pusing. Tidak ada yang mampu bekerja sebaik Jenna, tetapi ini salahnya yang meniduri wanita itu hingga hamil.
Jenna tidak menjawab dan langsung bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Ia tidak lagi sanggup menahan perlakuan seperti itu, perlakuan kasar.
Leo berganti pakaian dan meninggalkan kediaman Kim, pergi ke perusahaan.
Mesin mobil sport mewahnya, menderu saat meninggalkan halaman kediaman.
Jenna mendengar itu dengan jelas dan apa yang dirasakannya hanya satu, yaitu hampa.
Di gedung perusahaan King Company.
Leo berjalan masuk ke dalam gedung dan para karyawan yang berpapasan dengannya, langsung memberi hormat. Kemampuan bisnisnya tidak kalah dari sang paman, Logan Kim. Mereka berdua dikenal sebagai pria Kim yang handal dalam berbisnis. Namun, tidak dipungkiri prestasinya selama ini, didukung oleh kinerja Jenna yang baik. Leo, mengakui hal tersebut.
"Selamat pagi, Tuan," sapa Karina sopan, saat Leonel tiba di lantai di mana ruang kerjanya berada.
Karina adalah sekretaris baru, pengganti Jenna. Kinerja kerjanya, amat jauh dari Jenna dan membuat kesabaran Leo, benar-benar diuji. Namun perbedaannya adalah Karina memiliki wajah cantik dengan penampilan sempurna.
"Bawa kontrak kerja dengan perusahaan JC, ke ruanganku!" perintah Leo dan melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya.
"Ehm, itu belum selesai Tuan," ujar Karian perlahan.
Leo menghentikan langkah dan berbalik menatap ke arah sekretaris barunya itu.
"Maka, segera selesaikan, sekarang!" tegur Leo dengan nada sedikit tinggi.
Bukannya langsung bekerja, Karina malah mulai menangis sesenggukan.
Leo memijat pelipisnya, merasa bingung bagaimana menghadapi wanita yang sedang menangis. Jenna, ya Jenna tidak pernah menitikkan air mata, walaupun sekasar apa pun perlakuannya.
"Sudahlah! Segera pergi ke ruangan personalia dan minta untuk merekrut satu sekretaris lagi!" perintah Leo.
"T-Tapi Tuan...."
Kali ini, Karina menangis semakin kencang. Ia mengira, akan dipecat.
"Kamu tidak dipecat! Aku akan mempekerjakan dua orang sekretaris!" ujar Leo dan berbalik, masuk ke ruangannya tidak lupa membanting pintu.
Melihat sang CEO sudah menghilang di balik pintu, Karina langsung menghapus air mata dan berhenti menangis. Ia paham betul akan kombinasi kecantikan dan air mata seorang wanita. Lihatlah, ia beruntung bukan? Malahan akan ada seseorang yang membantunya bekerja. Dengan tersenyum lebar, Karina berjalan ke arah lift dan masuk, menuju ke ruang personalia untuk melakukan perintah atasannya itu.
Leo tidak lagi memiliki waktu santai, sebab semua kontrak dan laporan, harus diperiksa ulang. Itu tidak sia-sia dan ditemukan begitu banyak kesalahan kecil yang fatal. Karena itu juga, ia tidak lagi memiliki waktu untuk marah-marah.
Drittt! Drittt!
Ponsel yang diletakkan di atas meja, bergetar. Ada panggilan masuk dan saat melihat siapa yang menghubunginya, Leo langsung tersenyum.
"Halo, Sayang."
[Apakah kamu bertengkar dengan istrimu? Aku khawatir karena semalam, kamu menginap di tempatku.]
Suara Anya yang manja dan serak-serak basah, membuat Leo kembali bergairah. Tanpa sadar, tangannya mulai melonggarkan dasi yang terikat di kerah kemejanya.
[Aku merindukan sentuhanmu. Bisakah kita bertemu, malam ini?]
"Aku akan ke sana, saat jam istirahat siang," jawab Leo.
[Aku, tunggu.]
Leo menurunkan ponselnya dari telinga, setelah Anya memutuskan panggilan.
Meletakkan ponsel kembali di atas meja, Leo kembali bekerja. Namun perbedaannya, kali ini ia bekerja dengan seulas senyum di wajahnya, serta bekerja dengan cepat, agar semua dapat selesai saat waktu istirahat siang tiba.
Kembali ke kediaman Kim.
Jenna berada di halaman depan, duduk di salah satu kursi kayu, termenung. Ia tidak memiliki kegiatan apa pun dan beruntung, ibu mertua serta sang ipar telah keluar.
Paman Bong, paman yang bertugas merapikan halaman kediaman yang begitu luas, menatap Jenna dari kejauhan. Paman Bong, beberapa kali pernah melihat Jenna, saat datang ke kediaman sewaktu masih menjadi sekretaris Tuan Muda. Ia merasa iba terhadap Jenna, sebab tatapan Nyonya barunya itu begitu kosong.
Paman Bong juga seorang ayah yang memiliki putri, yang sudah menikah. Jika putrinya diperlakukan seperti itu, ia pasti akan sangat sakit hati. Ya, pelayan kediaman sibuk membicarakan Nyonya baru mereka, yang diperlakukan buruk oleh Nyonya Besar Kim serta sang Nona.
Menghentikan pekerjaannya, Paman Bong berjalan, menghampiri Jenna yang duduk termenung.
"Nyonya," panggil Paman Bong sopan.