Bab 9 Penyusup
Bab 9 Penyusup
Dre belum pernah ditinggal oleh kedua orang tuanya setelah sekian lama. Sikap protektif Anni, menjadikannya khawatir kalau Dre ditinggal di rumah seorang diri. Bahkan, jika mereka pulang kampung, Dre turut serta bersama mereka.
Untuk kali ini, ia tidak ikut ke tempat Selenna karena Dre harus masuk sekolah. Ada perasaan syukur masuk ke dalam hatinya. Ia tidak akan menerima beberapa omelan panjang selama beberapa hari kedepan.
Dre masuk ke dalam kamarnya, komputer masih menyala. Dre teringat, ia meninggalkan komputernya begitu saja tadi sore. Lucunya, ia justru parno karena dering telepon itu. Padahal, itu hanyalah telepon biasa.
“Astaga,” Dre menertawakan dirinya sendiri. Ia menggelengkan kepalanya. Ditutupnya seluruh tab dan mematikan komputernya. Lalu mematikan lampu kamarnya dan menjelajahi alam mimpi.
Dre terbangun dengan kokokan ayam yang merdu. Hari ini suasana hatinya sangat baik. Dre tersenyum senang. Ada hal yang ingin ia coba ketika kedua orang tuanya pergi. Dre menyalakan speaker lalu menyetel musik beat yang berdentum dengan keras. Dre sering melihat adegan ini di komik-komik dan film yang ia tonton, katanya menyetel musik bisa meredakan stress.
Alhasil, rumahnya dipenuhi suara musik beat dari negara barat. Sementara Dre masuk ke dalam kamar mandi. Ia mandi dengan iringan musik beat. Badannya bergerak ke menyesuaikan irama musik. Saking senangnya, Dre berlama-lama di depan cermin. Ia menata rambutnya menjadi beberapa model. Model meliuk diterpa angin pantai, belah tengah ala Jojon, lalu seluruh poni di belakang.
“Sebenarnya aku ganteng juga,” Dre mengucapkan itu saat rambutnya disetel mode normal mirip Kevin William. Dre mengerling mengedipkan sebelah matanya. Seolah-olah dia adalah lelaki paling memesona yang hidup di dunia.
“Ya ampun!” Dre terkekeh seorang diri di depan kaca. Tampaknya, ia harus segera menuntaskan mandinya, sebelum ia semakin gila.
Tepat ketika ia keluar kamar mandi, ponselnya berdering. Dre melihat nama yang terpampang di sana. Ibu. Sontak, Dre mematikan alunan musik beat yang super kencang, lalu mengangkat telepon.
“Halo, Ibu,” sapa Dre senormal mungkin. Tak menampakkan telah menghidupkan speaker yang memekakan telinga tetangga.
“Ibu sudah sampai di rumah nenek tadi malam,” suara Anni terdengar lebih tenang dibandingkan kemarin.
“Syukurlah. Bagaimana kondisi Nenek, Ibu?”
“Nenek harus dirawat di rumah sakit beberapa hari. Tekanan darah dan gula darahnya naik. Mereka harus melakukan pemeriksaan untuk mengecek kondisinya.”
“Ah… Begitu.” Dre hanya bisa manggut-manggut.
“Sepertinya kami akan lama di sini, kau tidak apa-apa?” nada khawatir menyelip pada kalimatnya. Dre melirik ke sekelilingnya. Tidak ada kecaman bahaya, atau apapun, bahkan ia sangat tidak-apa-apa.
“Aku baik-baik saja, Ibu. Percayalah,”
“Jangan lupa makan tepat waktu. Pastikan semua lampu dan kompor mati sebelum kau pergi. Dan jangan hilangkan kunci rumah. Kalau begitu, ya sudah. Ibu tutup dulu teleponnya. Jaga dirimu.”
Telepon terputus. Dre menatap ke arah jam dinding di dapur. Sudah pukul enam lima belas. Ia harus bergegas ke sekolah.
Satu hari itu Dre habiskan perasaan penuh gairah yang membara. Seusai pulang dari sekolah, ia maraton membaca komik bervolume-volume. Seluruh komik yang belum tamat, ia libas sampai mencapai ending. Dre menghabiskannya hingga larut malam. Dre bahkan menitikkan air mata pada adegan heroine mereka mati dalam pertempuran.
Ia juga bermain serial game sampai menyelamatkan puteri. Ternyata, hanya memerlukan dua level lagi untuknya sampai di level Legend. Ia menyelesaikannya dengan cepat bagai menjentikkan tangan.
Keesokan paginya, sepi menyelimuti rumahnya besarnya. Ia terbiasa bangun dengan aroma pancake atau roti bakar yang manis. Dre menyadari, kalau semalam ia belum memakan apapun karena game dan komiknya. Dan Hik belum kembali. Kemana kucing itu?
Sekarang, perutnya sudah berbunyi keroncongan. Ia membuka isi kulkas. Hanya ada roti tawar, susu, roti kemasan, dan beberapa sayuran. Dre tidak mungkin memasak. Ia tidak bisa memasak. Dre mengambil roti kemasan. Ia harus puas hanya dengan roti itu sebagai pengganjal perut.
Dre mengunyahnya tanpa selera. Dre tidak mempermasalahkan kedua orang tuanya yang pergi. Hanya saja, Dre masih kewalahan dengan jadwal makannya. Jadwal makannya berubah drastis. Ia menyantap roti untuk sarapan, siang makan di kantin, dan sepulang sekolah ia terkadang langsung terlelap tidur. Sialnya, Dre terbangun tatkala malam mulai turun.
Dre keluar dari rumah dan mengunci pintu. Merapatkan jaket ketika hawa dingin merambati tulangnya. Jika saja cacing di perutnya tidak berjingkrak-jingkrak kelaparan, Dre enggan keluar rumah. Ia berjalan beberapa meter dari rumahnya. Bertemu beberapa perempuan pekerja kantor yang baru pulang kerja. Mereka berjalan cepat-cepat. Ia juga mendapati kerumunan lelaki yang merokok di sudut gang.
Dre menutup kepalanya dengan tudung jaket. Ia mengeratkan jaketnya lalu memasukkan tangannya ke dalam jaket. Dre melirik ke belakang sekilas. Gerombolan lelaki itu menatap ke arahnya. Tatapan yang sama sekali tidak ramah.
Dre menggeleng. Ia tidak mau terlalu paranoid sebagaimana kemarin. Sejatinya, pemikiran itu datang karena khayalan tingkat dewa miliknya. Dre mempercepat langkah kakinya dan sampai di rumah makan dalam waktu sepuluh menit.
Terhitung tiga hari sudah orang tuanya meninggalkannya seorang diri. Ia bahkan merasakan sepi di rumah besarnya, tanpa kehadiran kedua orang tuanya. Dre memakai jaketnya. ia sudah selesai makan malam. Pelayan itu memberikan senyum sopan padanya sebagai bentuk terima kasih. Dre menunduk pelan. Lantas, ia keluar dari rumah makan.
Walaupun siangnya cukup hangat, udara dingin menyergap kulitnya di kala malam. Ia melewati banyak rumah-rumah yang sudah tertutup pintunya. Samar-samar, ia mendengar gelak tawa dan suara televisi saat melintas beberapa rumah. Sisanya hening.
Pendar-pendar cahaya lampu kekuningan menggiringnya sampai ke rumah. Di rumahnya, Dre membuka pintunya. Ia langsung naik ke tangga. Saat kakinya menginjak tangga pertama, denyar bayangan berkelebat di belakangnya.
Dre berbalik. Tidak ada orang di sana.
Dre mengangkat salah satu kakinya lagi, menaiki tangga berikutnya. Bayangan lain berbayang cepat di belakangnya. Ketenangannya terusik tiba-tiba. Otot mata Dre menegang. Matanya tidak salah lihat.
Meyakinkan diri sendiri, Dre memutar badannya. Ia berjalan perlahan-lahan. Ia menyabet sapu yang berdiri di sudut ruangan. Matanya berseliweran ke kanan dan kiri. Memeriksa sosok yang berbayang tadi.
Dug! Dre membuka pintu kamar mandi secepat kilat menggunakan gagang sapu. Kosong. Kakinya melangkah menuju dapur. Tidak ada siapapun di dapur.
Tap…
Tap…
Tap…
Kakinya melangkah perlahan ke ruang tamu. Mata hitamnya melotot lebar. Ia melihat ujung sepatu di bawah tirai ruang tamu. Dre mengeratkan pegangannya pada sapu, ia siap melancarkan kuda-kuda yang bisa mencucuk mata mereka.
Rencana Dre adalah, pertama ia membuka tirai itu, kedua ia akan mencolok mata mereka dengan ujung sapu. Mata Dre memicing saat menghitung jumlah sepatu di sana. Ada dua pasang sepatu. Itu pertanda dua orang yang menyusup masuk ke dalam rumahnya. Dre menelan ludahnya. Satu saja ia tidak tahu mampu menghadapinya atau tidak, apalagi dua.
Namun, Dre mengurungkan niatnya. Ditariknya tirai gorden itu dengan cepat, lalu dua orang itu keluar dari sana.
Duak! Terlambat! Salah satu dari mereka menendang kaki Dre. Oh tidak, sapunya terlepas! Dre mengerang kesakitan. Pantatnya mendarat di karpet ruang tamu. Rasa nyeri tajam menusuk ke tulang kakinya.
“Keluar!” Suara lelaki itu membahana di seantero ruangan. Mereka keluar dari persembunyian. Mereka semua berlarian menuju ruang keluarga.
Gawat! Dre bangkit dengan terhuyung-huyung. Kakinya masih terasa sakit. Ia berjalan dengan terseok-seok. Tetapi, Dre berusaha menyeimbangkannya dengan cepat.
“Siapa kalian?!” seru Dre. Berusaha meluruskan tubuh dan terlihat baik-baik saja, tapi para penyusup itu mengelilinginya.
“Siapa kalian? Mengapa ada di rumahku?” Mereka semua menggunakan jaket berwarna hitam dan menggunakan penutup wajah. Hanya mata mereka yang terlihat. Pertanyaan terbesarnya bukanlah siapa mereka dan apa yang mereka inginkan. Tapi bagaimana mereka bisa masuk sementara semua pintu terkunci rapat.
“Keluar!” satu per satu dari para penyusup itu mulai menghilang ke dalam dinding. Membuat mata Dre melebar, ada ketakutan yang mekar dalam dadanya. Tapi ia harus tahu siapa mereka dan itu memberinya kekuatan. Dre berhasil menangkap salah satu dari mereka, menarik tangannya dan memelintir lengan pria itu ke belakang tubuh lalu Dre menariknya sekuat tenaga.
“Argh!” erangannya menarik perhatian teman-temannya. Dan bugh!
Dre merasakan ada sesuatu yang menghantam lehernya dengan keras. Memegang bagian belakang lehernya, Dre merasakan nyeri yang menjalari lehernya. Berdenyut dan sangat menyakitkan. Tubuh Dre limbung dan sebelum semuanya menjadi gelap, Dre melihat mereka menghilang kedalam dinding rumahnya.
*Bersambung*