Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 10 Upaya Pembunuhan

Bab 10 Upaya Pembunuhan

Dre terbangun beberapa jam setelahnya. Mengerjap beberapa kali dan menemukan dirinya terbaring di lantai. Menatap langit-langit di atasnya dan cahaya lampu terasa sangat menyilaukan. Dre meraba di sekitar tubuhnya, menyadari bahwa ia tergeletak beberapa jam di lantai yang dingin.

“Ah… Ini di rumah.” Butuh beberapa detik bagi Dre untuk sadar kalau dia berada di rumah. Ia mencoba mengangkat kepalanya susah payah. Mendadak, muncul nyeri yang lebih mirip dengan sengatan, menerjang syaraf lehernya. Berdenyut-denyut secara konstan. Dre menyentuh pangkal lehernya yang dipukul beberapa jam lalu.

“Sialan,” Dre memaki. Ia membiarkan nyeri itu menghilang, walaupun sedikit.

Tadi, beberapa orang menerabas masuk ke dalam rumahnya. Dre tidak tahu pasti alasan mereka, tetapi mereka melukainya. Untuk beberapa jenak, Dre berdiam di lantai yang dingin. Hatinya merasakan kesepian yang menggigit. Ia benar-benar sendirian tanpa orang tuanya. Dan Hik masih tak kembali.

Padahal, Hik bisa sangat berguna, paling tidak untuk mengoyak ligamen mereka dengan taringnya. Namun, ia malah menghilang bagaikan asap. Bahkan, tidak tahu kalau tuannya sedang kesakitan.

“Dasar kucing durhaka,” ucap Dre pelan.

Setelah menunggu beberapa menit, nyeri itu sedikit mereda setengah atau hanya serempatnya. Sisanya, ia masih merasa kesakitan. Dre menggerakkan bagian atas badannya. Ia harus bangun atau dinginnya lantai akan membuat seluruh tulangnya remuk. Sedikit bersungut, Dre menopang berat tubuhnya ke depan, agar ia bisa berdiri. Bertumpu pada kursi-meja-lemari-atau apapun benda kokoh di hadapannya yang dapat membantunya berdiri.

Dre bangkit terhuyung-huyung, ia bahkan nyaris tumbang. Belum sembuh dari ngilu di leher, penderitaannya bertambah. Kepalanya berputar-putar dan ia merasa seolah-olah ditimpa beban berton-ton. Tangannya menyentuh tembok, merembet dari sisi tembok satu ke tembok yang lain.

Lagi-lagi, Dre menggeleng. Ia ingin menghalau rasa sakit kepalanya, yang terjadi justru memberikan kontradiksi luar biasa. Ngilu merajam di kepalanya, jauh-jauh lebih menyakitkan dibandingkan sebelumnya.

Dre menyeret kakinya, berusaha untuk mencapai kamar. Ia ingin dapat beristirahat lebih nyaman. Setidaknya, membiarkan kepalanya menikmati bantal yang empuk di kamar. Ia menaiki anak tangga perlahan-lahan. Mencoba untuk tidak jatuh. Tangannya meraih anak tangga yang berada di atasnya. Sampai ia di ujung tangga.

Saat ia berhasil masuk ke dalam kamar, suara Anni terngiang-ngiang di telinga Dre. Katanya, ia harus memastikan seluruh ruangan terkunci. Dre memberengut. Dengan menahan sakit di kepala dan leher yang bertalu-talu, ia mengunci pintu kamar dan memeriksa jendela kamarnya dengan sempoyongan. Lantas, hanya dalam waktu beberapa detik, ia langsung ambruk di kasur. Ia hanya butuh istirahat lebih layak.

Suara berdebam kencang terdengar memasuki gendang telinganya. Suara itu disusul oleh hiruk pikuk obrolan manusia. Dre terkesiap, sontak ia membuka matanya cepat. Secepat kilat denyaran ngilu kembali menerjang. Untung, tidak sedahsyat sebelumnya.

Mata Dre memindai sekeliling. Hari masih gelap. Kamarnya gelap. Hanya diterangi pendar-pendar sinar rembulan menyusup masuk melalui gordennya. Dre memicingkan mata melirik jam dinding. Itu sekitar tengah malam.

Dre memeriksa arah datang suara. Saat itulah, matanya kian menonjol. Ia baru menyadari, kalau ia berada dalam keadaan genting. Rumahnya dirampok! Ia melihat tiga orang yang tinggi menjulang di depannya. Dre ingat betul, mereka adalah orang yang menyerangnya tadi. Mereka semua mengenakan pakaian serba hitam yang cukup ketat. Ditambah dengan wajah yang tertutup sempurna oleh topi dan masker.

“Kau, geledah lemari itu!” seru si lelaki memerintahkan yang lainnya. Tangannya sedang mengorek-orek isi laci belajarnya. Sementara yang lain, menjatuhkan buku-buku dari rak secara brutal.

Tampaknya, mereka bertiga belum menyadari kalau ia sudah terbangun. Dre duduk seketika dan berusaha meraih ke samping, tempat nakas berada. Ia mencari sesuatu yang dapat dijadikan senjata. Tangannya mendapati beberapa benda, pensil, buku, hingga akhirnya, ia menggenggam cutter kecil.

Dre melihatnya di depan matanya. Benda mungil ini tidak bisa melumpuhkan mereka, tetapi setidaknya bisa merobek beberapa urat mereka. Salah satu diantara penyusup menyadari pergerakan Dre. Matanya nyalang, melotot tajam pada Dre dengan sorot mata yang sangat menakutkan.

“Wah, sudah ada yang terbangun dari mimpi indahnya,” ujarnya. Dre tidak bisa membaca air muka mereka, tetapi Dre bisa mengetahui kalau itu sama sekali bukan sapaan yang ramah. Dre beralih dengan mata telanjangnya, kalau jendela dan pintu masih tertutup rapat. Bahkan tanpa celah.

“Dari mana kalian datang? Bagaimana kalian bisa masuk?” ia bertanya dengan suara nyaris tertelan. Ketiga pria itu hanya mengerlingnya dan menyeringai kasar.

“Keluar dari kamarku sekarang juga!” Mereka bertiga tidak memedulikan Dre. Mereka sibuk mencari sesuatu entah apa itu. Orang yang tadi mengajaknya berbicara, kembali pada aktivitasnya. Melempar-lemparkan buku dari rak ke lantai. Ada yang menggeledah lemarinya, dan juga mencari benda ke bawah kolong kasurnya.

Mata Dre menyisir ruangannya. Kalau mereka menginginkan hartanya, pasti komputer, CPU, dan seperangkat benda elektronik berharga di kamarnya, sudah digondol. Namun, mereka masih berada di tempatnya. Dengan rapi.

“Apa yang sebenarnya kalian inginkan? U-uang? Perhiasan?” todong Dre. Dre bergerak turun dari tempat tidurnya. Tanpa tedeng aling-aling, Dre mengacungkan cutternya tinggi-tinggi. Ia berusaha menetralisir rasa takut yang menjalar.

“Kalau kalian mencari uang, kalian datang ke rumah yang salah! Harusnya kalian ke bank, bukan di sini!” teriak Dre.

“Sial! Tidak ada!” gerutu salah satu di antara mereka.“Kau tidak menemukannya?”

Mereka berdua menggeleng. Si lelaki itu mendecih, “Di mana benda itu?!” Mereka saling bicara tanpa peduli ada remaja yang berteriak kesal di antara mereka.

Dre memekik, “Keluarlah! Aku tidak memiliki benda berharga apapun!”

Mereka yang awalnya tidak peduli dengan keberadaannya, menoleh. Saat mereka berbalik, tubuh mereka tampak kokoh dan kekar. Melihatnya, tempo detak jantung Dre tak karuan. Napas Dre terengah-engah. Ia ketakutan. Cutter kecil itu diangkat dengan kedua tangannya. Dre bahkan melihat ujungnya bergetar kentara. “Kalian keluar!”

“Ow, menakutkan sekali,” seru orang yang tadi menyapa Dre. Suaranya terdengar menahan tawa. Kepala salah satu di antara mereka berjengit, seakan memberikan pertanda. Dua lelaki yang lain mengangguk menyetujui. Alhasil, ketiga lelaki itu kompak berjalan pelan mengepungnya.

“Kau yang menyembunyikannya, bukan?” tanyanya.

Dre menggeleng cepat, “Bahkan aku tidak tahu apa maksudmu!”

Mereka tidak peduli. Mereka terus melangkahkan kakinya mendekati Dre. “Tidak usah berpura-pura, kami tahu, kau menyembunyikannya.”

Kondisi Dre makin terjepit. Ia bahkan sudah menubruk tembok di belakangnya, sementara mereka bertiga dengan beringas mendekatinya.

“Apa yang kalian cari?!”

“Kuberi kesempatan satu kali lagi, kalau kau tetap menjawab tidak tahu, kau akan merasakan sakitnya kematian.” Lelaki itu memberikan kecaman penuh penekanan. Wajah pias, keringat dinginnya bercucuran. Bahkan, cutter di tangannya sudah menurun beberapa derajat.

Laki-laki yang berdiri di depannya maju dua langkah, menyeringai menatap cutter yang gemetar di tangan Dre. Dre merapatkan tubuh ke dinding, bertumpu di sana. Ia menunduk ketika tangan pria itu terulur untuk menangkap rambutnya. Sebuah tinju melayang dan Dre sekali lagi berhasil mengelak.

Mereka terkekeh bersamaan ketika Dre mengayunkan cutternya secara acak. Mengerang ketika tangannya bertemu dengan sesuatu yang kokoh. Rasa nyeri menyengat ke seluruh lengannya bersamaan dengan cutternya yang terjatuh. Rasa perih itu kemudian menjalar ke bagian kepala. Dre mendongak dengan terpaksa ketika pria di hadapannya menarik dagunya dengan kasar dan menjambak rambutnya.

Lelaki itu berbisik di telinganya. “Ini pertanyaan terakhir untukmu. Di mana benda itu?”

Hawa dingin merasuk keseluruh tubuh Dre ketika suara itu menyentuh gendang telinganya. Membuat Dre merinding. Mata mereka bertemu dan Dre masih tetap menggeleng. “Jangan menguji kesabaranku, Nak.” Bisiknya kejam.

Dre menyeringai sebagai bentuk pertahanannya. Menggeleng kuat dengan mata menatap lurus pada lawannya. “Sudah kukatakan, aku tidak tahu apa yang kalian cari,” ujarnya dengan nafas tersengal.

Satu kalimat itu membuat mata lelaki itu berkilat menyala-nyala. Ia menghantamkan kepala Dre ke tembok, lalu menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Darah mengucur dari kepalanya yang terluka. Laki-laki itu menginjak kepala Dre yang tersungkur di lantai. “Bunuh dia.”

*Bersambung*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel