Ringkasan
Di pagi yang kalang kabut karena terlambat bangun Dre dikagetkan dengan kehadiran seekor kucing kecil berwarna hitam polos dalam tasnya. Kucing yang menolak keluar dari tasnya dan terpaksa ia bawa ke sekolah, membuatnya dilabeli pawang kucing oleh seluruh sekolah. Dre manamai kucing itu HIK, yang kadang suka datang dan pergi semaunya, mengangetkan Dre karena setiap kali ia keluar tanpa tahu dari mana dan masuk ke kamar juga tidak pernah tahu dari mana. Hik, juga tidak pernah mau keluar dari kamar Dre, tidak pernah makan atau minum dan tidak pernah mengeong. Ia hanya akan tidur di kasur atau dalam tas Dre, jika sedang tidak keluar.Suatu malam, Dre terkejut karena ada yang berusaha membunuhnya. Dan HIk membantu Dre mengusir para pembunuh, yang membuat Dre terkejut, Hik meminum darah orang yang mencoba membunuhnya dan tubuh mungil Hik membesar setelah ia meminum darah dan ia kembali ke ukurannya semula saat pagi hari.Sejak kejadian itu, Dre jadi bisa bicara dengan Hik. Dan sejak kejadian itu juga, Dre sering bertemu dengan para pembunuh yang berusaha mengambil Hik darinya. Melalui banyak pertempuran, Dre akhirnya mengerti bahwa Hik bukan binatang biasa dan dia adalah salah satu hasil eksperimen ilmuwan gila.
Bab 1 Tamu yang Tidak Diundang
Bab 1 Tamu yang Tidak Diundang
Darah. Darah. Di mana-mana yang terlihat hanya kubangan darah. Bau amis dan anyir yang menyengat menyergap hidungnya. Seorang remaja lelaki berdiri di sana, berjalan terhuyung-huyung. Dengan cepat, dia berpegangan pada tembok di sebelahnya.
Basah? Mengapa tembok ini sangat basah? Kengerian menjalar pada benak lelaki itu. Ia melirik tembok dan matanya melebar sempurna. Ternyata, darah terpercik di seluruh dinding. Dre, si remaja lelaki itu mengikuti semua jejak-jejak darah. Percikan demi percikan sampai akhirnya ia melihat sesuatu yang membuat matanya mendelik tak percaya.
Di hadapannya, kepala manusia berserakan. Hanya kepala, tanpa badan. Dre memandang seksama kepala-kepala itu. Sungguh mengerikan, mereka semua menggelepar di lantai.
“Ugh,” Dre menutup mulutnya. Bau anyir itu menusuk-nusuk hidungnya. Belum lagi kepala-kepala itu. Banyaknya darah dan kepala membuatnya ingin muntah. Dre susah payah mencegah isi perutnya keluar.
Ia berjalan berjinjit agar darah yang berceceran di lantai tidak mengotori sepatunya. Dia melihat satu persatu kepala-kepala itu. Wajah-wajah yang terbeliak seperti sangat ketakutan dan kesakitan yang luar biasa mereka rasakan sebelum kepala mereka terpisah dari badan.
Dre berjalan mundur. Ia ingin pergi dari tempat itu sekarang juga. Dia berjalan mundur, terus mundur. Tiba-tiba, seekor kucing raksasa muncul di hadapannya Dre terkesiap. Kepalanya mendongak sempurna. Kakinya mendadak menjadi kaku tak bisa bergerak. Seluruh aliran darahnya ikut berhenti.
Kucing itu mendekatinya, berjalan mengitarinya. Sesekali kucing itu mengendusnya membuat Dre menahan napas dengan ketakutan luar biasa. Kucing itu terus melangkah mendekat, mendekat, dan kian dekat. Inikah yang dirasakan para pemilik kepala di ujung sana? Dre melirik tumpukan kepala itu.
Bruk! Dre terjengkang jatuh ke belakang. Dengan sigap, kucing itu menggerayang di atasnya.
“Aaarrgghh!”
Dre terlempar dari alam mimpinya seketika. Suara teriakan itu berhasil membangunkannya. Secepat kilat, kedua mata Dre yang terpejam langsung terbuka. Dia bangkit dan duduk di tempat tidurnya dengan terengah-engah.
Dre memegang dadanya yang kembang-kempis. Belum lagi, pelipisnya mengeluarkan banyak tetesan keringat. Mata Dre mengitari ruangan, sebuah tv di hadapannya. Meja belajar, lemari pakaian, dan rak buku. Ini adalah kamarnya. Dia berada di kamarnya. Dia hanya bermimpi buruk.
“Tenanglah. Tenang. Itu hanya mimpi buruk,” Dre mengusap wajah berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Ia mengusap keringat yang membanjiri pelipisnya. Saat napasnya kembali stabil, Dre baru teringat sesuatu. Teriakan itu! Gawat! Ibunya! Apa yang terjadi? Dengan tergesa, Dre turun dari tempat tidurnya.
Kriet…
Dia membuka pintu. Tampak ibunya tengah terduduk di depan kamarnya. Dre menatap ibunya yang meringis kesakitan. Panik.
“Aduh!” pekik Anni, ibunya dengan histeris.
“Ibu? Ada apa, Bu?” tanya Dre panik.
Dia membantu Anni untuk berdiri. Bukannya menerima uluran tangan Dre, Anni justru memukulnya dengan sodet.
“Ah! Sakit, Ibu,” rutuk Dre.
“Ibu terpleset di depan kamar kamu!”
Dre mencibir. Dia memegangi kepalanya yang menjadi korban, “Lha, itu,” Dre menunjuk sendok untuk memasak di tangan ibunya. Sepertinya beliau sedang memasak dan menggoreng sesuatu. Minyak dari sendok besar itu mengotori lantai di depan kamar Dre. “Untuk apa coba, Ibu bawa-bawa benda itu,” sungutnya. Dan lagi-lagi menerima pukulan, kali ini di bahu.
Kaki Dre mengelap tetesan minyak di lantai. Dia kembali merutuk, “Lihat, Ibu! Banyak minyak yang tercecer ke mana-mana!”
Duk! Ibunya memukulnya menggunakan sodet untuk ketiga kalinya, “Kalau Ibu sedang bicara jangan dibantah!”
“Ibu!” Dre memegangi kepalanya lagi. Walaupun hanya sodet, tetap saja sakit. Menatap ibunya yang siap mengomel panjang.
“Salah kamu!” Anni memasang wajah siap perang dengan putra semata wayangnya itu. “Dibangunkan susahnya setengah mati, Coba lihat, sudah jam berapa sekarang!” Anni menunjuk jam dinding di tiang dapur. Mata Dre mengikutinya. Dia membaca jam dinding di sana.
“Ya ampun!” teriaknya kaget. 06.25! Dre bisa terlambat ke sekolah! “Sial. Karena mimpi buruk aneh itu jadi kesiangan!”
Lupa pada ibunya yang masih melotot, Dre menyambar handuk lantas melesat masuk ke dalam kamar mandi. Dre keluar dari kamar mandinya hanya dalam beberapa menit saja. Itu adalah mandi super kilat yang pernah dilakukannya.
Remaja itu mengusap wajahnya yang basah. Untuk ukuran lelaki berusia enam belas tahun, tubuh Dre tergolong tinggi, pinggangnya ramping dengan rambut sedikit ikal. Menurut pengakuan Dre, beberapa teman wanitanya baik di SMP maupun sekarang di SMA, mengatakan dia tampan. Tapi jelas, pernyataan sepihak itu belum terbukti kebenarannya. Setidaknya sampai detik ini, belum ada yang mau mengaku sebagai pacar Dre.
Dre bersekolah di salah satu sekolah swasta ternama di kotanya. Dre belajar mati-matian saat ujian masuk sekolahnya. Dia belajar semalam suntuk agar dapat bangku di sana. Mengingat, kapasitas otaknya yang rata-rata dan orang tuanya bukanlah tuan tanah atau pemilik perusahaan besar.
Entah keajaiban dari mana, Dre berhasil masuk sekolah itu. Meskipun, selama hidupnya di sekolah, Dre tidak menjadi siswa favorit. Bahkan, dia menjalani kehidupan di sekolahnya dengan biasa saja. Dia tidak berbakat, tidak pintar, tidak pula mahir berolahraga. Pokoknya Dre itu bukan siapa-siapa yang pantas diingat oleh salah satu guru sekolahnya. Ia hanya anak yang sangat biasa-biasa saja.
Dari seluruh harinya menjadi siswa kelas dua, baru kali ini dia kesiangan. Keunggulan Dre hanyalah dia termasuk siswa yang taat aturan.
“Dreee!! Sarapan dulu!” seru Anni, masih dengan mengangkat sodetnya tinggi-tinggi.
Sergio, Ayah Dre sudah duduk di meja makan. Dia tengah menyantap roti tawar dengan membaca koran. Menoleh ketika suara istrinya menggema ke seluruh rumah. Rumah kecil mereka yang tidak pernah sunyi.
“Sarapan dulu, Nak. Nanti kita berangkat bersama,” titah Sergio.
Dre mendengus. Berniat menolak mengingat waktunya sudah sangat sempit.
“Cepatlah, sebelum ibumu memberi ceramah panjang. Kita berdua bisa terlambat,” ujar Sergio seraya melirik istrinya yang sekarang mendelik padanya. Pria itu tertawa kecil, omelan istrinya merupakan sarapan pagi paling nikmat bagi Sergio. Apalagi jika yang diomeli itu Dre.
Dre berjalan ke dapur, lalu mengambil setangkup roti dengan terburu-buru. Dijepitkan setangkup roti tawar itu ke mulutnya. Lalu, berlari kembali ke kamarnya.
“Duduk dulu, Nak!” teriak Anni lagi. Dre melambaikan tangannya, ia sudah terlambat.
“Anak itu,” gumam Annie saat memandang anaknya masuk ke dalam kamar terburu-buru.
Brak! Dre membuka pintu kamar dengan cepat, setengah menendangnya. Sembari memasukkan uang saku ke dalam kantung, ia menelan sarapannya tanpa mengunyah dengan benar. Sedikit tersedak, ia memaksa menelan makanan itu, membuatnya terbatuk.
“Cih,” dia mendesis, melirik tas sekolahnya yang belum sempat tersentuh. Dre bahkan tidak sempat mengatur buku-bukunya. Dre melongok jam weker yang berada di kamarnya. Pukul 06.35.
“Kau selalu begitu!” semburnya pada jam tidak bersalah itu. “Seharusnya kau berbunyi di saat aku membutuhkanmu tapi apa yang kau lakukan? Kau bahagia melihatku terlambat?” racaunya menyalahkan jam weker.
“Ah sudahlah! Mana sempat aku mengatur jadwal!” Dre memekik sendiri sambil mencangklong tas di pundaknya. Saat dia menarik tasnya, Dre merasa kalau tasnya jauh lebih berat dari biasanya.
“Sial, mengapa berat sekali?” Perasaan aneh merasuk ke dadanya. Dre menatap ke arah cermin. Menatap bayangannya yang terpantul dari kaca yang sudah buram karena tidak pernah dibersihkan itu. “Sejak kapan tasku menjadi gemuk seperti ini?”
Alis Dre tertaut. Ini aneh baginya. Dre ingat betul, kemarin dia mengepak beberapa buah buku dan komik saja. Meletakkan tasnya kembali, tangannya membuka resleting tas. Dengan cepat, Dre mengobrak-abrik isi tasnya. Dia mengeluarkan buku-bukunya. Terpekik ketika merasakan sesuatu yang lembut dan bergerak di dalam tasnya.
“Whoah!”
Terkejut, sontak dia melemparkan tasnya ke tempat tidur. Saking kagetnya, dia tersungkur ke lantai. Dre terkejut bukan kepalang. Matanya melotot. Jantungnya serasa mau lepas.
“Ada sesuatu! Aku yakin, aku melihat sesuatu!”
Dre bangkit dari duduknya, mengambil sapu di sudut ruangan sebagai senjata. Dre mendekati tasnya perlahan-pelan. Menepuk-nepuk tasnya dengan gagang sapu.
“Jangan-jangan, ular? Tapi, mana mungkin ada ular di dalam tasku? Datang dari mana? Tidak ada lubang dimanapun,” Dre meneliti kamarnya dan yakin tidak ada celah untuk makhluk apapun masuk ke kamar. Bahkan nyamuk sekali pun. Yakin Dre?
Dre berjalan mengendap-endap, mendekati tempat tidur dan menyingkap isi tasnya dengan sapu. Tangannya gemetaran ketakutan. Meraba-raba ke dalam tasnya dengan gagang sapu, ia menemukan sesuatu di sana. Dre membuka tasnya lebih lebar dan bisa melihat makhluk yang sekarang menguasai tasnya.