Bab 2 Kucing Antah Berantah
Bab 2 Kucing Antah Berantah
Berbulu lebat dan panjang dengan warna hitam pekat. “Apa ini?” tanya Dre mengangkat bagian depan tasnya dengan sapu. Matanya menyipit. Dia mencoba menatap jeli isi dalam tasnya.
“Astaga! Itu ekor kucing!” tertawa sendiri, Dre menatap sepasang mata kuning yang menyorotnya tajam. Kucing! Dan makhluk itu membuat Dre ketakutan setengah di paginya yang berantakan.
Dre melempar sapu ditangannya dan mengambil tas, membuka benda itu lebar-lebar. Melihat dengan jelas makhluk mungil yang bercokol di dalam tasnya. Melingkar nyaman di sana. Dia mengusap dadanya. Sedari tadi, jantungnya berdetak ketakutan hanya karena kucing. Tertawa sendiri, Dre akhirnya menyadari sesuatu yang lebih aneh dari seekor ular.
“Mengapa kucing ini bisa berada di tasku?”
Dre menelan salivanya dan sekali lagi menatap sekeliling kamarnya. Matanya mengecek satu per satu sudut kamarnya. Jendela tertutup rapat. Pintunya juga tertutup rapat sejak tadi.
“D-dia datang dari mana?” gumam Dre seorang diri. Pertanyaan yang hanya dijawab kesunyian dinding kamar Dre yang mungil dan berantakan. Siapa coba yang bisa menjawab pertanyaan Dre? Cicak di dinding saja sudah kabur sejak dia menusuk-nusuk tasnya dengan gagang sapu. Jelas tidak ada yang merespon pertanyaan itu sedikitpun. Hanya saja, kucing itu balas menatapnya.
Jantungnya kembali mencelos. Dari mana datangnya kucing hitam pekat ini? Tidak ada celah yang bisa dimasuki oleh seekor kucing. Dan lagi kucing itu masih kecil, dia menatap Dre dari dalam tas dengan mata tajam tapi menggemaskan.
Di jam sepagi ini, tidak hanya Ibu yang membuat Dre senam jantung, tapi juga weker dan si kucing! Ah, tidak saja pagi ini, Ibu bahkan membuatnya gula darah Dre naik sejak kemarin. Kemarin adalah hari Minggu, hari yang biasanya digunakan Dre menghabiskan waktunya di kamar. Dia menyelesaikan level game online kesayangannya.
Sebuah pertarungan menyelamatkan tuan putri yang diculik di oleh penjahat. Meskipun di sore hari, Anni sudah mengomel ketika melihat Dre masih duduk diam menekuri ponselnya.
“Dre! Selesaikan tugasmu! Main game terus sedari tadi!” Anni menorobos masuk kamarnya.
“Ini Minggu, Bu. Hari libur itu diciptakan untuk bermain game dan tidur,” ucap Dre tanpa menoleh dari ponsel pintarnya. Lagipula, siapa yang mengerjakan tugas di hari libur?” sungutnya.
“Hampir semua anak mengerjakan tugasnya. Kecuali kamu!” seru Anni.
Dre menghela napasnya. Sebentar lagi ibunda tercintanya akan konser.
Satu… Dua… Tiga….
“Kamu semestinya bersyukur sudah bisa masuk ke sekolahmu sekarang. Ini sekolah yang kamu inginkan sejak dulu. Kenapa sekarang, kamu justru tidak belajar? Apa sulitnya mengerjakan tugas?”
“Tugasnya tidak sulit, Bu. Hanya butuh beberapa menit,” sahut Dre songong.
“Ya ampun, anak ini. Dinasehati malah membantah. Sudah sini, kemarikan ponselmu!” Oh, tidak. Itu kalimat super sakti, Dre seketika menyembunyikan ponsel di balik punggungnya.
“Sini!” Dre menggenggam erat-erat ponselnya agar tidak direbut. Anni berusaha mengambil ponsel anaknya itu.
“Sini!” suara wanita berwajah ayu itu naik tiga oktaf, serius jika sudah memekik, lengkingan suaranya akan mengalahkan Mariah Carey atau Whitney Houston. Dre kadang heran, mengapa ibunya tidak jadi penyanyi saja?
Hap! Anni berhasil merebut ponselnya. Sebuah senyum kemenangan tersungging di wajahnya. Berbanding terbalik dengan wajah terlipat sepuluh Dre. “Nah, sekarang, kamu belajar. Tunjukkan pada Ibu kalau tugasmu sudah selesai, Ibu akan kembalikan ponselmu,” tandas Anni.
“Bu, ayolah. Dre sudah SMA, bagi remaja ponsel itu kebutuhan Ibu,” rayunya dengan wajah sok manis. Anni menyinggahkan jitakan yang sama manisnya di dahi sang anak.
“Ibu tahu, Sayang. Remaja butuh ponsel, nah Ibu sudah membiarkanmu bersenang-senang dengan ponselmu dari pagi. Sekarang karena kamu sudah SMA, kamu harus mengerjakan tugas. Kalau kamu tidak lalai dengan tugasmu, ibu tidak akan banyak mengomel. Ibu janji!”
Dre mendengus. Ia hanya memandang ponselnya yang ditelan kantung celemek Anni, lalu sang ibu melenggang dengan langkah puas keluar dari kamar Dre. Yang ditinggalkan menghembuskan napasnya. Dia harus mengerjakan tugasnya secepat mungkin, lalu menggilas musuh-musuh yang menyandera tuan puteri.
Maka dari itu, sejak sore hari, hingga petang, Dre terpaksa mengerjakan tugasnya. Secara otomatis, ia tidak meninggalkan kamar. Dre juga sangat menjunjung tinggi privasi. Dia selalu menutup rapat-rapat pintu dan jendelanya.
Dan semua kekusutan Dre di hari kemarin berlanjut pagi ini. Di hadapannya, kucing yang entah datang dari mana, bergelung di dalam tasnya. Dan sedang menatap dengan mata kuning cerahnya yang entah mengapa membuat Dre merinding.
“Kucing ajaib?” pikirnya. Lalu tertawa sendiri dengan pikiran konyol itu. “Hei, mana mungkin ada kucing ajaib. Kalau begitu, jangan-jangan… kucing jadi-jadian?”
Dre memperhatikan dengan seksama kucing itu. Kucing itu seperti kucing pada umumnya. Memiliki dua mata berwarna kuning yang tajam, seluruh bulunya hitam pekat, dan ekor hitam yang panjang. Ekor yang sempat Dre kira ular sebelumnya.
Kucing itu benar hanya kucing biasa. Dre menghalau pemikiran aneh yang muncul di kepalanya. Kucing siluman, kucing ajaib, kucing sihir, kucing jadi-jadian, segalanya. “Itu hanya kucing, Dre.” Dre mengingatkan kepada dirinya sendiri.
Perkara masuk dari mana, itu urusan nanti. Dre meyakinkan dirinya sendiri. Dre mendekat. Dia mengelus kepala kucing itu dengan pelan. Kucing itu malah mundur, masuk jauh ke dalam tasnya.
“Hei, kemarilah, ck, ck, ck, ck…” dia memanggil kucing itu. Kucing itu tidak merespons. Hanya tetap menatap Dre tajam. Samar-samar terdengar desisan dari mulut mungilnya. “Hey, kumohon mengertilah. Keluarlah dari sana,” pinta Dre.
Kucing itu masih menatap Dre dengan dingin dan masuk hingga paling pojok dalam tas Dre. “Astaga, kamu sulit diatur, ya?”
Dre mengambil biskuit dari toples di atas meja, ia yakin, dengan biskuit ini, kucing itu pasti mau keluar. Dre mengiming-imingi biskuit di depan muka kucing, berharap makhluk manis itu akan beranjak dari dalam tasnya. “Sini, keluarlah manis,” rayunya seraya melirik jam di atas nakas. Tetapi si kucing tetap menolak bereaksi.
“Kamu tidak mau biskuit ini? Ini enak sekali, loh!” Dre melayang-layangkan biskuit ke kanan dan kiri. Dre pernah mendengar, kalau kucing menyukai benda yang bergerak. Tetapi, kucing itu tidak merespons.
“Atau mungkin dia tidak lapar, ya?” Dre menyerah dengan biskuit itu. Dre duduk di tempat tidurnya. “Kucing ayolah, aku sudah terlambat,” keluhnya seraya mengerling mata kuning cerah itu kembali. Dan ia mengerjap pelan pada Dre.
“Dree! Ayo turunlah! Ayah mau berangkat! Ayo, cepat!” Sergio memanggilnya dari bawah.
“Sebentar Ayah! Aku sedang membereskan bukuku!” teriaknya dari lantai atas. Dia sudah kesiangan, belum lagi menemukan kucing gila di dalam tasnya. Rasanya, Dre bernasib sial sekali hari ini.
“Sudahlah. Aku selesaikan dengan cepat.”
Dre memangku tasnya dengan cepat. Kucing itu menatapnya tajam. Secepat kilat, Dre membopong kucing hitam itu.
Grrr!
Si kucing hitam itu memberontak. Dicengkramnya bagian dalam tas Dre hingga menimbulkan bekas cakaran. Remaja itu menjerit kesal. “Hei! Kamu bisa merusak tasku!” seru Dre.
Dia melepaskan kucing itu seketika. Dre tidak mau membuat tas Pollo Millano asli miliknya tergores. Lantas memutar otaknya, sengaja mendiamkan kucing itu sembari berpikir. “Apa yang harus kulakukan supaya kamu pergi dari dalam tasku? Aaah, ayolah, Cing, aku harus sekolah!” seru Dre, mulai kesal. Karena tahu, jika ia tidak turun dalam beberapa menit, ceramah ibunya akan menguar ke seluruh rumah, bahkan hinggap di atap tetangga.
Tapi si kucing itu tidak mau tahu. Kucing itu justru menggaruk-garuk kepalanya. Saat kucing itu asyik menggaruk, Dre mengangkat kucing itu dengan paksa.
“RRGGGRRR!”
Kucing itu menggeram, berusaha mencakar Dre. “Oi, jangan mencakarku!” Dre berusaha melepaskan kucing itu dari tangannya. Tetapi, terlambat. Dengan geraman keras, ia menancapkan kuku-kuku tajamnya di kulit Dre. Bekas cakaran panjang yang seketika berwarna merah dengan bengkak di sisi kiri kanannya, berhasil ia ukir di lengan putih Dre. Belum puas, gigi-giginya yang kecil menancap di telunjuk Dre.
*Bersambung*