Bab 3 Pecundang Kelas
Bab 3 Pecundang Kelas
Tampaknya dia marah, daerah teritorialnya diambil. Dia menolak keras untuk keluar dari tas. Tak memedulikan cakaran kucing itu, Dre menariknya agar mau lepas, “Hei! Kubilang keluar ayo sini! Kau pikir ini teritorialmu? Justru ini wilayahku!” ujar Dre kesal, ia memasang wajah siap perang dengan si kucing yang menggeram kencang. Tetapi keempat kaki kucing itu justru mencengkram erat bagian dalam tasnya.
Dan di saat bersamaan, ketakutan Dre mewujud dalam omelan ibunya. “Dre! Astaga anak ini! Sudah hampir jam tujuh!” Anni mengomel. Bersamaan dengan omelan itu, telinga Dre menangkap langkah berat menaiki tangga. Berderap dan sepertinya mengandung banyak emosi. Mungkin berkarung-karung.
“Kamu mau tetap disitu? Kau tahu? Kau Ibu mengomeliku ke sekian kalinya sejak kemarin,” ia gantian mengomel pada si kucing yang mendekam dan bergeming dalam tasnya. Dre menggelengkan kepala, seraya memasukkan seluruh buku dan komiknya kembali ke dalam tas. Tidak lagi peduli apakah bukunya sesuai dengan jadwal pelajaran hari ini.
BRAK! Ibunya membuka kamarnya. Anni mengacungkan tinggi-tinggi sodetnya. “Bisa-bisanya kamu belum membereskan buku-bukumu sejak tadi! Sudah hampir setengah jam!” omel Anni.
“Maaf, Ibu. Banyak yang harus kubawa hari ini.” Itu murni kebohongan. Fakta sesungguhnya, aktivitasnya terhambat karena kucing itu.
“Ya sudah! Cepat bereskan! Mau Ibu bantu bereskan?” tanya Anni.
Dre memeluk tasnya. Bisa gawat kalau Ibu tahu ada kucing di dalam tasnya. “T-tidak usah, Bu.”
“Ayahmu sudah menunggu sejak tadi di bawah. Ayahmu sudah siap untuk berangkat, kalau Ayahmu ikut terlambat bagaimana?”
Dre memasukkan buku-bukunya dengan cepat. Dia mencangklong tasnya yang berat itu. Duk! Sodet ibunya mengenai bagian atas tasnya. Dre mendelik. Kucingnya! Jangan sampai mengeong!
“Kalau tahu buku-bukumu banyak, disiapkan dari kemarin. Sudah SMA, tapi masih harus diperhatikan dengan Ibu!” seru ibunya.
Dre berlari turun dari tangga. Dia keluar dari rumah terbirit-birit, menghindari omelan ibunya. Brak! Dia masuk ke dalam mobil dan menutup pintu mobil dengan cepat –nyaris dibanting.
Ayahnya tersenyum hangat, “Tidak seperti biasanya, kamu kesiangan dan lama mempersiapkan jadwal.”
“Maaf, Ayah. Mungkin besok-besok, Dre naik bus saja jika terlalu lama.”
“Iya. Itu gampang. Oh iya, bagaimana dengan ponselmu? Sudah dikembalikan oleh Ibu?”
Akibat terlalu sibuk memikirkan kucingnya, Dre melupakan ponselnya, “Belum, Yah.”
“Ibumu memang sedikit protektif.”
Dre mengoreksi dalam hati, “Bukan sedikit, tetapi super protektif.”
“Ayah bicarakan pelan-pelan dengan ibumu, nanti. Kamu juga sudah SMA, kalau tingkahmu tidak mengkhawatirkan, pasti Ibu akan mengerti.”
Siergo menginjak pedal gas. Lalu mobil mereka masuk ke jalan raya. Meliuk-liuk dengan cepat karena nyaris terlambat. Sepanjang jalan, pikiran Dre tertuju pada kucing hitam itu. Takut, kucingnya akan merepotkan.
Berpuluh bagaimana, kalau, jika, umpama mengitari benak Dre. Bagaimana kalau kucing itu pipis di dalam tasnya? Atau lebih parah lagi, kalau kucing itu pup di tasnya? Bagaimana kalau kucing itu keluar dari tas dan membuat takut anak-anak perempuan di sekolahnya? Aah, citra Dre yang tampan dan manis serta mempesona akan memudar.
“Dre, sudah sampai sekolah,” ucapan itu membuyarkan lamunan Dre. “Kamu memikirkan apa hingga tidak sadar kalau sudah sampai?” tanya Siergo.
Dre menggeleng cepat, “Bukan apa-apa, Yah. Hanya masih sedikit mengantuk,” jawabnya ngeles. Lalu keluar dari mobil ayahnya dengan cepat, sedikit ragu untuk melangkah ke halaman sekolah. Kucing dalam tasnya membuat Dre khawatir. Entah apa yang terjadi ke depan, bagaimana tindakan kucingnya di kelas, Dre tidak tahu.
Dre menelan ludahnya. Bagaimana kalau dia dihukum, distrap, atau dikeluarkan dari lapangan karena kucing ini? Astaga! Dre tidak mau dihukum hanya karena kucing hitam dari dunia antah berantah ini.
Dre berjalan menyusuri lorong sekolah. Ia melewati deretan loker dan membaur ke dalam gerombolan murid yang nyaris terlambat seperti dirinya. Mereka semua berjejalan dengan cepat untuk masuk ke dalam kelas.
Seraya berjalan dengan tergesa, Dre mengamati sekeliling. Terhitung dua tahun sudah dirinya berada di sekolah ini. Gedung sekolah Dre merupakan gedung tua yang dibangun sejak era penjajahan. Arsitektur bergaya Eropa, harusnya terlihat megah tapi karena sudah lama tidak direnovasi gedung ini terlihat kusam.
Apalagi ketiga gedungnya berwarna abu-abu, yang didirikan letter-U lengkap dengan lapangan di lapangan basket di belakangnya. Pada bagian depan, gedung yang paling mentereng. Catnya diperbarui setiap lima tahun sekali. Kedua lorong itu berisikan ruangan-ruangan kelas yang rapi nan nyaman. Tertanam berbagai pohon rindang nyaris tiap-tiap depan kelas. Tentu saja, itu membawakan hawa sejuk.
Sayangnya, semakin menyisir ke belakang sekolah, kondisi gedungnya tidak terawat. Pada bagian ujung lorong banyak bagian gelap yang sudah berlumut. Ruangan-ruangan itu beraroma aneh. Perpaduan antara bau apek kayu yang sudah tua, kertas yang lapuk, dan debu-debu. Tidak heran, ruangan itu dijadikan gudang belakang sekolah.
Naasnya, kelas Dre terletak di ujung lorong. Dia harus terbiasa dengan aroma apek yang membuat paru-parunya bekerja lebih keras. Apalagi lorong itu cukup gelap dan lembab. Dre mengeratkan pegangannya pada tali ransel. Barangkali, dengan cara ini, beban tasnya berkurang. Walaupun itu seratus persen sia-sia. Tetapi, setidaknya dia harus segera masuk kelas sebelum gurunya datang.
Tepat ketika kakinya melangkah masuk ke dalam kelas, lonceng itu berbunyi keras. Syukurlah, dia tidak terlambat. Dre berjalan diantara siswa yang masih berdiri dan bercengkrama satu sama lain. Beberapa dari mereka melirik ke arah Dre, sisanya acuh padanya.
Lalu, bisikan demi bisikan terdengar menerabas telinga Dre. Telinganya menajam tatkala mereka berucap, “Hei, lihatlah dia. Manusia itu berangkat telat,”
“Wah, biasanya dia sudah berangkat dan baca buku komik di sudut ruangan,” sahut yang lainnya.
“Mirip seperti penghuni kelas?” timpal yang lain disambut dengan kelakar tawa.
Hinaan. Cacian. Ejekan. Itu sudah terbiasa terdengar oleh Dre. Dre lebih memilih acuh daripada harus bertengkar dan memperunyam masalah. Dre meletakkan tasnya agak sedikit membanting karena kesal. Lupa bahwa di dalamnya ada makhluk hidup yang bisa bersuara kapan saja dan bisa membuatnya jadi bahan tertawaan siswa satu kelas.
Seseorang yang duduk di sebelahnya mendongak dari posisi telungkup. Rupanya, dia sudah membangunkan Lewis. Lewis, salah satu teman setia Dre sejak ia masuk sekolah. Dia satu-satunya teman Dre. Siswa lainnya menyebut mereka dengan duo pecundang. Dre yang kutubuku, dan Lewis yang lebih sering meringkuk tidur di kelas.
Lewis berperawakan kerempeng dan berambut ikal agak gondrong. Bahkan Dre kadang gemas, ingin mencukur rambutnya. Tetapi, dia selalu menahan niatnya untuk mencukur cepak Lewis. Karena temannya itu pasti tidak setuju. Kepala Lewis sedikit mendongak, dia membenarkan posisi kacamatanya, “Tidak seperti biasanya kau terlambat.”
Dre mengempaskan tubuhnya ke kursi. Dia mendesah panjang. “Ada sedikit masalah.”
“Oh ya? Masalah apa yang kau dapatkan? Selain omelan ibumu?” Oh, jangan salah, kalimat Lewis bukan dimaksudkan untuk mengejek Dre. Sahabatnya itu hanya terlalu jujur, itu saja.
“Itu sudah biasa, aku justru bersyukur kalau aku bisa berangkat pagi. Bukankah kalau aku berangkat pagi, aku bisa menghindari omelannya?”
Lewis mengangguk dengan ekspresi agak berpikir, “Kurasa, itu benar. Memangnya, apa yang terjadi?” sambung Lewis dengan cepat.
“Kau tidak akan percaya dengan ceritaku.”
Lewis duduk tegak. Ia menyentuh kacamatanya lagi. Pertanda, kalau dia benar-benar penasaran dengan kelanjutan cerita Dre.
“Hari ini, aku menemukan sesuatu.”
“Apa? Apa yang kau temukan? Komik baru?” timpal Lewis buru-buru.
“Aku menemu…,” kalimat Dre terputus, ia membungkam mulutnya seketika. Sosok yang muncul di ambang kelas membuat Dre bergegas meraih tas.
“Selamat pagi, Anak-anak,” suara Ibu Ariana memotong pembicaraan mereka dan bahkan dengung yang menggema di seluruh penjuru kelas seketika senyap.
*Bersambung*