Bab 4 Buang atau Biarkan?
Bab 4 Buang atau Biarkan?
“Harimu sial sekali, haha,” ejek Lewis diakhir pelajaran.
Ariana sudah keluar dari kelasnya. Wanita bercepol rapi itu menyebalkan sekali hari ini. Sepanjang jam pelajaran, Ariana bahkan tidak bisa melepaskan matanya dari Dre. Dia mengawasi Dre dengan ketat.
Sepeninggal Ariana, Dre kelabakan. Kepalanya membungkuk, mengecek kondisi kucingnya. Makhluk mungil berbulu halus itu bergelung di sudut laci meja belajarnya. Dia tertidur pulas, seolah tidak mau diganggu sama sekali.
“Baiklah,” gumam Dre pelan. Membiarkan kucing itu menikmati nyamannya meja belajar, sampai nanti siang dia diusir dari sana.
“Sebenarnya, apa yang mau kau ceritakan tadi pagi, Dre?” Lewis sudah duduk dalam posisi tegak. Dia menunggu jawaban Dre dengan antusias.
“Kau tahu, aku menemukan seekor kucing di tasku pagi ini. Dia ada di laci mejaku sekarang.”
“Kau serius? Katakan, bagaimana bisa kau berpikir membawanya ke sekolah!” Mata Lewis membeliak. Dia bangkit dari duduknya, suatu gerakan yang luar biasa bagi Lewis, sebab dia nyaris tak pernah meninggalkan tempat duduknya.
“Biarkan aku melihatnya!” seru Lewis penasaran. Ia berjongkok dan melongok ke dalam isi laci. Mata Lewis kian melotot saat mendapati kucing berwarna hitam pekat melingkar di sana. Belum lagi, bulu-bulunya begitu rapi dan halus.
“Wow,” kagetnya, sedikit terperangah aneh.
Dre mengerutkan alisnya dengan sempurna. Reaksi macam apa itu? Dre menantikan tanggapan lain dari Lewis, tetapi lelaki itu kembali ke duduknya.
“Aku tidak tahu kenapa kucing itu menempel padamu. Kau yang seperti ini bisa menarik perhatian makhluk yang begitu menggemaskan,” kekehnya.
Dre mendelik kesal. “Mana aku tahu? Dia muncul begitu saja dalam tasku tadi pagi. Tidak mau keluar. Aku sedang mencari cara untuk mengusirnya,” kata Dre.
Sesaat Lewis terdiam, dia melirik ke arah laci belajar Dre. “Aku kira, kau akan memeliharanya.”
“Pelihara? Kucing yang muncul begitu saja dalam tasku, tidak tahu masuk dari mana. Menggigit jariku dengan kejam? Kau berpikir aku akan memeliharanya?” Dre nyaris berteriak saking sebalnya dengan pemikiran tidak masuk akal Lewis.
“Membuatku terlambat sampai kau sendiri mengatakan aku sedang sial. Cih.”
Lewis terkekeh melihat temannya misuh-misuh, sementara makhluk yang mereka bicarakan masih nyaman melingkar dalam laci. “Dre, kurasa kau berpikir terlalu berlebihan. Ayolah, Dre. Itu hanyalah kucing. Banyak alasan baginya untuk tetap berada di tasmu, mungkin saja kau meninggalkan sesuatu yang menarik perhatiannya di sana. Sisa makanan?”
Dre menggeleng angkuh. Dia bersikeras untuk tidak memeliharanya. “Aku tidak jorok seperti kau,” tuduhnya kejam. Lewis mengekeh keras.
“Baiklah, kalau begitu, tetapi apa kau tidak merasa kasihan padanya?”
Lagi-lagi, Lewis bangkit dari kursinya. Lantas dia berjongkok di sebelah Dre. Telunjuknya mengarah pada kucing hitam itu, “Lihatlah, Dre. Tidakkah kau kasihan padanya? Dia masih sangat kecil dan begitu manis. Kalau dia kehujanan bagaimana? Diserang kucing lain?”
Alih-alih menjawabnya, Dre justru ikut berjongkok. Dia menatap dalam-dalam ke arah laci belajarnya. Kucing itu bergelung dengan ekornya. Menjadikan ekornya laksana selimut yang menyerubunginya. Oke, dia mungkin diserang kucing lain dan itu sedikit mengerikan. Tapi manis? Dari sisi mana? Dia bahkan menggigit untuk hal yang tidak perlu, Dre mendesis sebal.
“Bukankah dia manis sekali?” sambung Lewis tanpa menunggu jawaban dari Dre.
“Kau bilang manis?” ia mengacungkan telunjuknya yang jadi korban keganasan si kucing tadi pagi dan goresan panjang di tangannya. “Ini kau sebut manis?”
“Ah, itu lumrah untuk semua pemilik kucing,” sahut Lewis acuh. “Pikirkan bagaimana dia bisa makan dan berteduh,” sambungnya, membuat Dre melotot pada si kucing.
Dia memikirkan kemalangan yang bisa menimpa kucing itu. Saat dia membuang kucing itu, kucing itu berlari mengejarnya, sampai dia tertabrak motor. Atau, saat dia membuang kucing itu dalam kardus, dia akan mati kedinginan dan kelaparan. Bisa juga, ketika dia sudah memberikan kucing itu perbekalan dan makanan yang cukup, kucing hitam itu dijarah oleh kucing lain, mereka bertarung dan mati.
“Bagaimana? Kasihan bukan?” tanya Lewis seakan mengerti isi kepalanya.
“Well, kurasa, aku bisa memikirkannya?” tutur Dre mengambang. Masih ada sedikit keraguan di sana.
“Tidak apa-apa, kau bisa mempertimbangkannya sampai kau menemukan majikan yang tepat untuknya. Sementara ini, siapa namanya?”
Lewis dan Dre bersitatap. Lewis tertawa, “Jangan bilang kau tidak akan menamainya?”
“Ah, aku belum memikirkannya,” ujar Dre dengan nada menggantung.
“Kau ini, terlalu banyak berpikir yang tidak perlu.”
Dre menatap lekat-lekat kucing itu, apakah dia harus diberi nama? Tinggal dipanggil ‘kucing’ saja sudah cukup. Mungkin juga ‘si hitam’ karena tubuhnya hitam. Nama umum lainnya juga bisa, ‘blackie’.
“Si Hitam?” usul Dre.
“Pasaran sekali, tidak ada kreatif.”
“Blackie?”
“Kau pikir anjing, bernama Blackie?”
Sejenak, Lewis menoleh. Dia memandang Dre lamat-lamat. Menanti nama selanjutnya. Lama-lama, Lewis mengembuskan napas jengah.
“Astaga, lama sekali! Dre, banyak berpikir yang tidak perlu, tidak akan membuatmu kaya!” selorohnya kesal dan kembali ke kursinya.
“Bagaimana kalau Hik?”
“Sudahlah, itu saja. Daripada kau menghabiskan waktu hanya untuk memikirkan nama,” pungkas Lewis. Dia kembali menelungkupkan kepalanya ke dalam lengan. Dia merasa bosan dengan Dre yang terlalu lama berpikir panjang.
Dre masih berkutat dengan kucingnya. Beragam pemikiran muncul di benaknya. Apakah dia tidak lapar? Bagaimana bisa dia meringkuk dan terlelap begitu nyaman di dalam mejanya? Kapan jadwalnya untuk buang air? Bagaimana kalau dia buang air di mejanya?
Dre menggeleng cepat. Dia hanya berharap, Hik tidak merepotkan. Dan harapannya terkabul. Seharian penuh, Hik tidak berbuat onar sebagaimana pemikiran-pemikiran fantastisnya. Dia terbiasa membaca komik, kadang otaknya itu membuat skenario sebagaimana dalam komik.
Teng… teng… teng…
Lonceng sekolahnya berdentang. Kelas telah berakhir. Guru terakhir kelas mereka sudah meninggalkan kelas lebih dulu. Disusul dengan beberapa siswa di belakangnya. Sedangkan Dre, ia masih mengumpulkan buku-bukunya yang berserakan di meja. Memasukkannya satu per satu. Uniknya, saat membuka tas, kucing itu langsung terjun ke dalam tasnya.
Akhirnya, Dre membawanya pulang. Sejak saat itu, Dre dan Hik sulit terpisahkan. Kucing itu mengikutinya ke mana-mana. Setiap kali dia pulang, kucing itu tidak keluar dari tas, seakan dia penghuni abadi dalam tasnya.
“Aneh sekali,” Dre bergumam, dia menuangkan segelas susu ke mangkuk kecil dan menyiapkan makanan khusus kucing yang ia beli di pasar dengan uang jajan.
“Makan dan minum yang banyak Hik,” Hik tidak bereaksi sedikitpun, dia hanya menatap kosong pada Dre yang berusaha menarik perhatiannya dengan makanan kucing. Tapi binatang itu bergeming, hanya melotot pada Dre dengan mata kuningnya.
“Hei, aku tidak mau melihatmu mati besok di dalam tasku,” tandas Dre, dia mengusap lembut kepala Hik. Yang masih bergeming. Sama sekali tak tertarik dengan makanan ataupun susu yang disiapkan Dre.
“Kau sombong sekali pada tuanmu,” Dre bersungut-sungut setelah kakinya lelah berjongkok di lantai untuk membujuk si kucing keluar dari tas. “Minum kapan saja kau mau,” ia keluar dari kamar dan terbang ke dapur dengan cacing meronta-ronta di perutnya.
Sayangnya, sampai berhari-hari, susu dan makanan yang disiapkan Dre tidak disentuh. Selalu utuh dan hanya menjadi makanan basi. Dengan geram, Dre mengangkat mangkuk kecil dan susu itu, dia menuangkannya di dapur.
Saat dia kembali, Hik masih di posisi nyamannya di dalam tas. Dre meliriknya dengan tajam, “Aku tidak peduli lagi, aku anggap kau sudah makan.”
Pertengkaran Hik dan Dre tidak sampai di situ. Kucingnya itu selalu memicu pertengkaran saat pagi telah datang. Hik yang ngotot menetap dan tinggal di dalam tasnya dan Dre menarik-narik sekujur tubuhnya.
“Jangan ikut ke sekolah lagi!” pekik Dre. Ia sudah siap ke sekolah, saat selesai sarapan, Hik pasti masuk lagi ke dalam tas, lalu menjadikan tasnya daerah teritorial teraman sepanjang masa.
“Kau tahu, tiap hari aku kesusahan tahu! Aku takut kalau kau melakukan hal-hal aneh di sekolah!” teriak Dre agar keras. Mana mungkin, kucing bisa peka. Dre merutuk marah seorang diri.
“Baiklah, the last chance.” Untuk terakhir kalinya, Dre mencoba menarik tubuh Hik. Kucing itu mengeratkan cengkramannya pada bagian dalam tasnya. Bagian dalam tasnya tergores –dan goresan itu sudah banyak di mana-mana.
“Rgggrrr,” dia menggeram.
“Baik-baiklah, aku kalah.”
Dre menyerah. Dre membawanya ke sekolah. Entah apa yang terjadi, pada hari itu, Hik bertingkah aneh. Saat membuka tas sekolahnya, Hik keluar dari tasnya. Sontak, beberapa siswa yang sudah tiba di kelas, mendelik kaget.
“Apa itu? Kucing?”
“Itu benar-benar kucing?”
Mereka semua menatap Dre dan kucingnya penuh tanda tanya. Mereka berjalan mendekat perlahan-lahan. Matanya dengan tajam meneliti kucing milik Dre, membuat Dre ingin mengabaikan tatapan-tatapan yang menohoknya. Tetapi sorot mata mereka seakan memiliki laser yang bisa meluluhlantakkan dirinya sekejap mata.
Dre berbisik, “Hik, masuklah ke lac.,”
Hik tidak merespon perkataannya. Dia menjilati tangan dan duduk di mejanya.
“Masuklah ke laci seperti biasa,” ujar Dre lemah dan memohon.
Teman sekelasnya menampakkan wajah aneh pada Dre. Dan ia tidak tahu cara menjelaskannya. Bingung. “Hik, ini seperti bukan dirimu yang biasanya, ayolah, masuk saja ke laci.”
Kucing itu tampak nyaman duduk di mejanya.
Sial! Masuk ke laci saja seperti biasa, Hik! Gerutu Dre dalam batinnya..
*