Bab 5 Si Biang Masalah
Bab 5 Si Biang Masalah
Salah satu dari mereka mendekat ke arah Dre. Salah satu geng provokator perundung kelas. Terdiri dari trio yang menyebalkan, Ella, Bastian, dan Ava. Dre dan Lewis menyebutnya demikian, karena mereka menganggap diri mereka kasta tertinggi sejagad raya.
Mereka bertiga memiliki visual laksana dewa-dewi. Berkulit putih halus, rambut yang hitam legam lurus, dengan berbadan proporsional. Mereka juga memiliki senyum yang rupawan. Dre mendengar, mereka sangat kaya raya. Harta yang tidak akan lenyap sampai tujuh turunan sekalipun.
Itulah penjelasan mengapa tindakan mereka begitu brutal. Berbuat seenaknya sendiri dan menggolong-golongkan kelas, “mana kaumku” dan “bukan kaumku”. Menjijikkan. Merekalah yang menyebut Dre si pecundang, hanya karena ia yang tidak pernah mau terlibat keributan dengan geng tidak bermakna itu.
“Ternyata, si pecundang ini membawa kucing,” Ava telah tiba di depan mejanya. Dengan tangannya bermanikur rapi, dia menunjuk Hik dengan pandangan jijik. Ucapan Ava menjadi pembuka tontonan pagi itu. Siswa kelasnya sudah membentuk semacam lingkaran. Titik pusatnya adalah mereka berempat.
Dre tahu, dia sudah tersisih di kelas sejak lama. Dimulai predikat pecundang menempel padanya. Namun, dia tidak akan pernah sudi untuk menjadi bahan tontonan gratis di pagi hari. Mata Dre menyapu seluruh kelas. Beragam ekspresi terpulas jelas di wajah mereka. Sialan.
Dre mengangkat sebelah alisnya dengan skeptis, “Lalu? Apa masalahmu?”
Ava mengulas senyum sinisnya, “Dia bertanya, apa masalahmu,” Ava berbalik dan terkikik dengan Ella dan Bastian. Tawa mereka mengingatkan Dre pada makhluk berjubah putih panjang yang selalu menjadikan pohon sebagai rumah.
“Aku tahu kalau kau tidak memiliki teman. Tetapi, kau jauh lebih merana dari dugaanku. Kasihan sekali, sampai-sampai membawa kucing sebagai temanmu,” sahut Ella. Gadis itu memandang Dre dengan aneh seolah-olah dia adalah penderita cacat mental. Membuatnya menggertakkan gigi dengan wajah mengeras, kesal setengah mati.
“Ahaha, Lewis pun sudah malas ya, berteman denganmu?” kekeh Ava yang sama sekali tidak lucu bagi Dre. Kikikan Ava diikuti kedua temannya yang berpura-pura keren dalam tawa menjijikkan mereka.
Dre menahan amarah, jemarinya sudah terkepal sempurna. Kepalan itu kian menguat dan ditahan erat-erat olehnya. Mereka hanyalah dua perempuan yang mirip boneka dengan seorang lelaki sebagai tameng di antara mereka. Lelaki yang sekali terjang pun Dre yakin akan tubuh terjungkal. Tetapi, Dre merapal semua kemarahan itu dalam hatinya, menjadikannya mantra penahan diri agar tidak menyerang lebih dulu.
“Kau mau sekolah atau bermain? Atau kau ini hanya mengingat kau sebagai anak TK, yang bisa membawa peliharaan dan mainannya?” lontar Ella.
“Bukan-bukan! Itu salah! Dia bercita-cita sebagai pawang hewan, lebih tepatnya pawang kucing, ahahaha,” caci Ava menjadi-jadi.
Sungguh, demi apapun, Dre ingin menghantamkan tangannya ke rahang Ava. Kalau meninjunya itu keterlaluan, paling tidak Dre ingin menampar gadis itu. ‘Dia perempuan, pria tidak pantas memukul perempuan,’ sekali lagi Dre merapal mantra dalam hatinya agar semua kemarahannya menyusut.
Ia menghirup oksigen sepenuh paru-parunya sanggup menampung. Menahan gejolak amarah yang membara. ‘Ingat. Mereka hanyalah perempuan yang mirip boneka. Tidak lebih.’ Dre meneguhkan kalimat itu di dalam benaknya.
“Bahkan, dia tidak bisa bicara apa-apa lagi. Tidak penting bagi kita mengurus pecundang seperti dia,” tukas Bastian. Dia berdiri dengan dengan membusungkan dada dan bersedekap. Dia mendengus keras, “Biarkan dia menjadi pawang kucing di dunianya.”
Bastian berlalu terlebih dulu. Ava dan Ella menyeringai menatap Dre jijik, lalu mengikuti langkah Bastian dengan rambut yang dikibas-kibaskan dengan sengaja. Dre duduk di bangkunya dengan kasar. Lewis memandang ke arahnya dengan posisi meringkuk.
“Sayang sekali, kau tidak meninju mereka. Seharusnya sesekali kau lepaskan kepalanmu pada mereka.”
Kilat mata tajam menghujam ke arah Lewis. Melihat mata Dre yang berkilat-kilat, Lewis menutup mulutnya, “Sorry.”
Dia membalikkan kepalanya ke sisi yang lain. Dre mengembuskan napasnya dengan keras. Dia memandang ke arah kucing yang menatapnya seperti mengejek dari meja. Tanpa sadar, matanya melotot lebar.
Dan begitulah hari-hari Dre di sekolah. Sepanjang hari, lebih banyak cemooh terdengar. Mereka memberikan gelar baru padanya. Pawang kucing.
Dre tidak tahu mengapa kucingnya itu berubah. Dia senang berada di atas mejanya, lalu menjadi sorotan anak-anak kelas. Mereka melontarkan ekspresi penuh tanda tanya, jijik, aneh, bahkan kasihan.
“Kau tahu, kalau kau menambah masalahku?” lontar Dre.
Ha! Kebodohan berikut Dre!
Karena kata-kata itu sukses membuat seisi kelas melirik padanya. Dre mengalihkan pandang, tatapannya terfokus pada Hik yang menjilat kaki di atas meja. Sesekali menatap Dre dengan mengerjap. ‘Sok manja,’ batin Dre kesal, ia memasuki tepat manik mata kucing itu.
Dre berdeham sedikit, dia menurunkan volume suaranya. “Aku tahu, barangkali kau bosan berada di dalam laci, tetapi bisakah kau tetapi diam di sana? Setidaknya sepanjang jam pelajaran,” ujarnya dengan nada memohon.
Hik terdiam. Dia berhenti menjilati kaki depannya. “Aku tidak tahu kau datang dari mana dan mengapa mengikutiku. Memilih tasku sebagai wilayah teritorialmu.”
Dre mendekatkan wajahnya ke arah Hik. “Aku bahkan sudah setuju untuk memelihara dirimu, merawatmu, tetapi kau justru semakin membuat masalahku semakin rumit. Kau tidak berguna, bagiku. Bahkan, kau sama sekali tidak menghiburku.”
“Padahal, mereka bilang, memiliki kucing menyenangkan. Memilikimu sama sekali tidak menyenangkan, kau tahu?”
Hah, setidaknya mengomel pada kucing yang tidak peduli dengan semua ocehannya cukup membuat Dre melupakan kekesalannya pada trio menyebalkan yang selalu mencari cara untuk mengejeknya.
Teng… teng… teng… Suara lonceng sekolah menggema di penjuru sekolah. Para siswa terbirit-birit berjejalan masuk ke dalam kelas.
“Masuklah ke dalam laci.” Dre mengangkat tubuh Hik dengan pelan, tanpa menunggu, Hik langsung masuk ke dalam laci kelasnya.
“Tetaplah di situ,” perintah Dre padanya. Seakan-akan mengerti ucapannya, Hik tetap berada di dalam lacinya hingga penghujung pelajaran.
Untunglah. Pada hari ini, Hik jauh lebih mudah diatur. Dia menuruti perkataan Dre seakan-akan memahaminya. Namun, itu jelas hanyalah pemikiran Dre semata, tanpa adanya penjabaran dari segi logika atau ilmiah. Dari teori mana yang seekor kucing bisa mengerti ucapan manusia?
*
“Beritahu Ibu kalau tugasmu sudah selesai, Dre!” seru Anni dari balik pintu. Perempuan itu menerjang masuk pintu kamar anaknya.
Sontak, Dre bangkit dari kasurnya. Di pukul delapan malam, baru saja ia menuntaskan tugas terakhir. Rasanya, baru sedetik yang lalu dia melemaskan otot-ototnya yang lelah akibat membungkuk di meja belajar. Kini, sang ibu serta merta masuk ke dalam kamarnya tanpa tedeng aling-aling.
“Sudah selesai tugasmu?” tanya Anni galak.
“Sudah, Ibu,” Dre menjawabnya tanpa tenaga. Dia berikrar untuk mengunci pintunya kapan saja, terutama saat ia sedang di dalam kamar.
“Kalau kau menurut seperti ini, Ibu tidak perlu rewel,” Anni berniat keluar dari kamarnya.
“Seperti ini saja sudah dalam kategori rewel, Ibu,” cibir Dre lirih.
Anni beralih menatapnya lagi. “Apa? Tadi Ibu tidak dengar.”
“Ah, tidak, Ibu. Aku hanya bilang masakan Ibu sangat enak malam ini. Karena itu, sebaiknya ibu segera beristirahat.”
Dre bangkit dari duduknya. Dia mendorong punggung Anni dengan pelan. Usiran halus agar Anni meninggalkan kamarnya. Wanita itu tersenyum pada putranya, lembut. Tapi bagi Dre dan Sergio, senyum seperti itu menakutkan, karena berarti sebentar lagi badai omelan akan melanda.
“Sepertinya Ibu tidak mendengar itu, tadi?”
“Ibu salah dengar. Ini karena Ibu terlalu lelah! Sebaiknya Ibu cepat beristirahat. Lebih cepat lebih baik. Ibu sudah bekerja dari pagi, jangan sampai sakit,” kelit Dre cepat. Dia mengeluarkan Anni dari kamarnya, lalu buru-buru mengunci pintu.
“Ada-ada saja,” Dre mengelap keringatnya yang menitik. Bisa gawat kalau ibunya mendengar jeritan batinnya itu.
Saat Anni pergi dari kamarnya, saat itu Dre tersadar. Dia belum melihat Hik sejak makan malam.
“Hik?” panggil Dre lembut. Ia menoleh ke kanan dan kiri, mengelilingi seluruh ruangannya.
“Hik?”
Dre melongok kolong kasurnya. Tidak ada.
“Hik??”
Dre beralih ke arah kolong meja belajarnya. Tidak ada.
“Hik? Kau di mana?” Dre sedikit melompat menilik atas lemarinya. Tidak ada.
“Dimana dia?”
Dre mencari Hik dengan tergesa-gesa. Dia mulai membuka isi almarinya, mengecek sela-sela lemari dan rak buku, himpitan lemari dan dinding, laci meja belajar, tas sekolah, hingga tepi tempat tidurnya.
Tidak ada. Dia menghilang. “Hik, kamu kemana?”
Pemikiran-pemikiran Dre kembali merasuk. Jangan-jangan, dia marah padanya kalau dimarahi habis-habisan hari ini. Dia memang memarahinya. Sebab, perundungan dari teman-teman sekelasnya bukan main-main.
Tidak-tidak. “Ah, mungkin menyelinap keluar.”
Dre menghalau pikiran negatifnya. Namun, ketika memandang ke arah jendela dan pintunya pikiran itu menguap. Benar-benar terkatup rapat. Ia tidak mungkin bisa keluar kan? Ah, tapi datangnya saja juga saat semua pintu dan jendela terkunci rapat.
Segelintir rasa khawatir terbit di hatinya, “Hik?”
Benar-benar hening tanpa jawaban. “Hik! Kamu ada di mana?!”
*Bersambung*