Bab 6 Misteri yang Muncul Tiba-tiba
Bab 6 Misteri yang Muncul Tiba-tiba
Dre menyisir seluruh kamarnya, sekali lagi. Tetap tidak ada, ia lalu menutup pintu kamarnya rapat-rapat, memastikan semua pintu dan jendela terkunci rapat dan naik ke lantai dua. Mungkin Hik tersasar ke sana.
Dia membuka gudang lapuk rumahnya, kamar yang penuh cucian kering belum disetrika, lalu turun ke bawah. Melongok kamar mandi, melintasi dapur, melewati ruang keluarga, dan membuka kamar tamu.
Tidak ada. Kucing hitam itu raib tanpa jejak. Tidak ditemukan di sudut manapun. Dre mendudukkan dirinya di ruang tamu. Ruangan itu gelap karena lampunya sudah dimatikan. Kedua orang tua Dre mungkin sudah terlelap.
Dre membalikkan tubuhnya, jantungnya mencelos. Dia melihat seseorang berwajah putih. Sangat putih. Mengapa ada hantu di rumahnya? Tubuh Dre bergetar hebat. Dia ketakutan.
“Si-siapa?” tanya Dre gemetaran.
“Kau mencari apa?”
“Astaga, Ibu!”
Baru saja, Dre seolah senam jantung. Ritme detak jantungnya yang meningkat kembali normal.
“Ibu melihat sedari tadi, kamu berlari ke sana kemari,” Anni merespons dengan mulut sedikit tertahan. Di wajahnya tertempel masker berwarna putih.
Secara harfiah, Dre menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bola matanya terangkat ke atas, berpikir, “Aaah, hanya olahraga, Ibu. Olahraga!”
“Jangan berkeliaran malam-malam,” titah Anni tidak bisa didebat.
“Ibu juga, jangan berkeliaran malam-malam, apalagi dengan masker seperti itu, menakutkan tahu,” sungut Dre dengan sangat lirih, nyaris tertelan oleh angin.
Beruntunglah, Anni tidak mendengar ucapannya. Ibunya itu menyelinap masuk ke kamar. Dre merebahkan tubuhnya di sofa. Sudah hampir satu jam dia mencari kucingnya, tetapi tidak ditemukan di manapun. Yah, itu wajar. Hampir sepanjang hari, Hik habiskan di kamarnya. Justru aneh kalau Dre berhasil menangkap kucingnya bersembunyi di salah satu sudut rumahnya.
Pertanyaannya sekarang ialah, di mana Hik berada.
*
Fajar menyingsing. Sinar mentari menyingkap kabut pagi. Cahaya matahari itu menembus masuk dari balik teralis jendela Dre. Menciptakan efek geometris persegi yang menyentuh lembut mata Dre. Ia mengerjap beberapa kali. Dre menyukai nuansa itu, saat dia berhasil bangun pagi untuk memulai hari. Dre sedikit menguap, hingga air mata menitik di ujung matanya.
“Masih mengantuk,” gumamnya serak. Tetapi, dirinya tidak bisa menunda lebih lama untuk berada di bawah hangatnya selimut.
Dre beringsut. Kedua kaki jenjangnya turun dari tepi ranjang. Tatapannya beralih ke pemandangan di balik jendela. Tampak tetesan embun menempel di ujung daun.
Dre berbalik, menguap sambil meregangkan tubuh, saat itu matanya membeliak.
“Woah!”
Ia hampir terjengkang, beruntung meja belajar mampu menahan berat tubuh jangkung Dre. Tangannya bertumpu pada meja belajar. Dre tidak mempercayai apa yang di hadapannya, ia melihat seekor kucing! Hik telah kembali! Kucing itu meringkuk di tepi ranjangnya.
“Kau! Bagaimana kau bisa ada di situ?” jeritnya melengking.
Dalam keterkejutan, Dre meraba jendela kamar. Memeriksa kembali gerendelnya. Dibuka, ditutup. Dibuka, ditutup.
“Ini tidak rusak, bukan?”
Dre meyakinkan dirinya sendiri kalau tadi pagi jendela kamarnya benar-benar dalam kondisi tertutup. Dre meninggalkan jendela, tangannya terulur pada daun pintu. Matanya mendelik. Kunci yang masih menggantung.
Tetapi, Dre mencoba membuka dan menutup pintunya. Muncul perasaan takut kalau ternyata pintunya sudah rusak. Setelah dicoba belasan kali, semuanya masih normal. Bahkan, berfungsi dengan teramat baik.
Pintunya dan jendelanya jelas-jelas terkunci rapat. Tidak ada celah untuk kucing bisa masuk karena semuanya masih dalam kondisi sangat baik. Mendadak, hawa dingin menyentuh kulitnya. Hawa dingin itu menjadikan bulu kuduknya meremang. Dre bergidik ngeri. Dia mundur beberapa langkah dari Hik.
Dre mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan. “Tidak mungkin bukan, kalau dia bisa menembus dinding?”
Dilihatnya lekat-lekat kucing hitam yang nyenyak di kasur itu. Hik terbangun dan balas menatap Dre, dan entah bagaimana, Dre merasa ia seperti ke dalam lautan manik mata kucingnya. Menatapnya serasa berada di dalam lensa mata berwarna kuning yang besar. Warna kuning yang berputar-putar-putar mengelilingnya sampai ia terhisap ke dalamnya. Mengajaknya untuk mengarungi lebih jauh ke dalam warna kuning cerahnya. Lebih dalam, semakin luas, semakin lebar, tak terbatas.
Dre menggelengkan kepalanya mendadak. Ia menoleh ke sisi lainnya. Di dinding temboknya, seserpih warna kuning dari manik mata Hik masih tersisa. Energinya serasa terkuras, bersamaan dengan rongga-rongga kepalanya yang memberat.
Dre memijat perlahan-lahan tengkuknya yang kaku. “Sialan,” makinya. Dre melibas pikirannya dari Hik sejenak, ia harus bergegas untuk ke sekolah. Sebelum ibu tersayangnya berkoar dan mengancam dengan sodet.
Sudah lama sekali rasanya Dre memanjakan tubuhnya di dalam kamar mandi. Dia meregangkan kekakuan lehernya dengan mandi air hangat di bawah shower. Otot-ototnya yang ngilu, berangsur-angsur lenyap. Dre mematikan shower itu, lalu mengenakan handuknya. Ia menuju ke cermin. Dre mengelap cerminnya yang beruap akibat tetesan air hangat dari shower.
Ditatapnya bayangan tubuhnya sendiri. Rambut ikal, rahang yang tegas, dan kulit entah apa warnanya, cerah tapi tidak terlalu putih seperti oppa-oppa Korea. Kulit yang terlihat mengilap sehabis mandi. Tetes-tetesan air dari rambutnya meluruh. Lalu, Dre memandang bola matanya. Bola matanya berwarna cokelat.
Detik berikutnya, segelintir bayangan manik mata Hik merangsek masuk ke dalam otaknya.
“Argh!” Dre memejamkan matanya erat-erat. Ia menolak fragmen ingatannya manakala memandang manik mata itu. Itu membuatnya pusing!
Sembari mengenyahkan ingatan itu, pikirannya melayang pada Hik. Keberadaan kucing itu adalah misteri yang hakiki. Nalarnya berkoar, kalau kucing itu berbeda. Dia muncul tiba-tiba. Menghilang seketika.
Dre membuka matanya. “Jangan-jangan itu praktik sihir? Seseorang mengirim Hik sebagai santet?”
Mulut Dre terbuka. “Astaga.” Antara kesal dan geli, Dre memaki dirinya yang sampai memikirkan hal konyol dan tidak masuk akal itu.
Sampai detik ini, Dre bahkan tidak tahu apakah Hik kucing yang aman dipelihara atau tidak. Bagaimana bisa berada di kamarnya, mengapa dia memilih kamarnya dari sekian banyak manusia di alam semesta ini, kenapa kucing itu menempelinya?
“Aku harus mencari tahu. Harus.”
Dre membulatkan tekadnya. Ketimbang dia keburu gila dengan overthingkingnya, Dre harus mencari jawabannya sendiri.
“Dre! Kau lama sekali di kamar mandi! Ada masalah, Nak?” suara Siergo terdengar.
“Tidak, Ayah.”
Dre keluar dari kamar mandi dan mematikan lampunya. Anni mendecak saat Dre keluar dengan rambut kusut yang berair.
“Kau tahu, tubuhmu bisa melar kalau terlalu lama di kamar mandi,” tegas Anni.
“Bu, anakmu bukan karet gelang,” sungutnya. Menjauh ketika sodet Anni mengancam.”Aku akan sangat bersyukur kalau bisa melar Bu, setidaknya sedikit berisi.”
“Anak ini!” Anni mengacungkan sodetnya. Sudah siap menghujani Dre dengan serbuan sodet.
Namun, Siergo menegurnya, “Ibu.”
“Sudah, sana cepat berganti pakaian.” Dre bergegas ke kamarnya kembali, setelah dibebaskan sang ayah dari ancaman sodet. Mendelik pada Hik yang masih bergelung nyaman di kasur. Dre menyabet ponselnya yang tergeletak di atas nakas, membuka kolom pencarian internet.
Kucing yang tiba-tiba muncul, kalimat itu yang ia ketikkan di sana. Dan membaca seperti kesetanan beberapa hasil pencarian. “Tujuh penyakit kucing, kanker kucing, kucing keracunan, kucing kejang, kucing kabur dari rumah.”
Dre mengernyit, “Bagaimana bisa tidak ada?” protesnya kesal sendiri. Tangannya dengan gencar menggulir laman di ponselnya, mencari artikel yang senada. Dre percaya, dia tidak sendiri. Pasti ada di muka bumi ini yang memiliki kasus serupa.
Ditemukannya artikel dengan headline, “Lima perilaku aneh kucing dan misteri di baliknya.”
Ini dia. Ini yang Dre cari. Tangannya dengan atraktif menekan headline itu. Dia bahkan tidak bisa menunggu loading yang cukup lama. “Ayolah.”
Satu detik, dua detik, garis biru itu masih terhambat di tengah. Tiga detik. Tab terbuka. Dre meneguk ludahnya.
“Awas saja kau, Hik. Aku akan menemukan rahasiamu!” ancamnya seraya menatap tajam ke arah Hik.
Dibacanya artikel itu. Dia membaca point-point penting yang mampu menguak identitas asli si kucing.
“Lima perilaku aneh dan misteri di baliknya. Satu, mengapa kucing sering tiba-tiba mencakar?”
Dre melewatinya langsung. Itu sama sekali tidak relevan dengan kucing anehnya. Pada dasarnya, Hik memang sombong dan pemarah.
“Dua, mengapa kucing sering menjatuhkan barang? Tiga, mengapa kucing berkedip perlahan?”
Seketika itu juga, Dre ingin melemparkan ponselnya. Siapa yang penasaran dengan cara berkedip kucing, astaga! Dre mencoba untuk tidak merisaukan hal itu, dia kembali membaca artikelnya.
“Empat, mengapa kucing menyukai komputer? Sudah jelas, itu karena hangat. Sungguh, ini tidak berguna! Ini yang terakhir… Kelima, mengapa kucing sering kaget? Apa?! Kau bercanda?”
Dre mengempaskan ponselnya ke kasur. Dia telah membuang waktunya dengan mencari misteri kucingnya di browser. Hik yang tengah menatapnya karena Dre tidak berhenti mengomel beranjak dari tempat ia bergelung, terlihat kesal saat ponsel Dre hampir menimpa tubuh mungilnya.
“Yang benar saja, Hik tidak ada di semua artikel itu! Sebenarnya, kau masuk dari mana? Mengapa bisa ada di sini?!” erang Dre kesal dan frustrasi.
*Bersambung*