Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Pemantauan 24 Per 7

Bab 7 Pemantauan 24 Per 7

Cahaya matahari masuk melalui teralis jendela sekolah. Cahaya lembut itu berhasil mengusir kekelaman ruang kelasnya. Dre menopang dagunya. Ia tidak benar-benar mendengarkan ceramah guru di depan kelas yang tengah menerangkan moment inersia. Salah satu konsep fisika yang membuat kepalanya berdenyut kencang dan perutnya mulas mendadak.

Tatapan mata Dre mengambang menelusuri awan-awan. Konsentrasinya terpecah dan melebar kemana-mana. Hik sudah menjadi peliharaannya berhari-hari. Tetapi, dia belum menemukan sedikitpun petunjuk dari kepingan misteri yang begitu nyata.

Hik seperti lagu yang sering didendangkan Ibu saat memasak, datang dan pergi sesuka hatinya. Ia menghilang seperti terhisap oleh bumi, entah keluar melalui celah di bagian mana dan kemudian muncul begitu saja. Sungguh sebuah komedi yang tidak lucu sama sekali bagi Dre.

Kini, kucing itu bergelung hangat di laci mejanya. Saat Dre berkemas untuk sekolah, kucing menyebalkan itu masuk dan bergelung dalam tasnya Apa yang bisa ia lakukan? Dre tenggelam ke dalam pikirannya sendiri sampai tidak menyadari lonceng telah berdentang.

“Hei!” Lewis, menyadarkan lamunannya. Menatap Dre dengan kepala yang bersandar di tangan. Rambutnya yang gondrong itu menutupi separuh wajah. Jika bertemu di tengah malam, Dre yakin akan menjerit karenanya.

Dre sedikit terkesiap dan memandang ke arah Lewis, “Apa?”

“Ketus sekali. Ada apa lagi?”

Senyum masam terpulas di wajah Dre, dia terlalu sibuk memikirkan Hik. Membuat suasana hatinya anjlok berantakan. “Aku juga tidak tahu.”

“Bagaimana bisa aku membantumu kalau kau saja tidak tahu?”

“Ya, aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya padamu,” tukas Dre dengan nada sedikit meninggi. Karena baginya semua tentang Hik sangat tidak masuk akal.

“Kau tidak ingin menceritakannya padaku?” tanya Lewis sungguh-sungguh. Ia terlihat prihatin atas wajah kusut Dre.

“Aku hanya tidak tahu apa yang harus kukatakan,” lirih Dre. Ia tidak mungkin mengatakan, kucingnya bisa teleportasi dan menghilang tiba-tiba. Bisa-bisa, ia berakhir di rumah sakit jiwa dengan kaki terpasung.

Lewis mendesak, “Katakan saja padaku, apa sulitnya?”

“Tidak. Aku bahkan tidak tahu aku harus berbuat apa,” Dre bersikeras membuat Lewis memasang ekspresi terkejut. Bahkan Dre sendiri terkejut mendengar suaranya.

Lewis terdiam beberapa saat. Ia mulai bicara lagi, “Belakangan ini kau sangat aneh, tahu?”

“Ya, aku tahu.”

Percakapan itu selesai sampai di sana. Lewis tidak berniat bertukar cerita apapun dengannya. Tidak sebelum emosi teman sebangkunya itu meledak lebih jauh dari ini.

Sepulang sekolah, Dre mengurung diri di kamar. Menatap Hik yang melingkar nyaman di atas selimutnya. Berpikir mungkin ia harus menguntit kucingnya, tapi itu tidak bisa dilakukannya. Keberadaan kucingnya saja sulit terdeteksi, apalagi diikuti?

‘Kenapa kau datang? Apa yang kau cari dan berusaha kau temukan? Mengapa aku?’ pertanyaan-pertanyaan itu terus menyerang Dre dari segala sisi.

Membuat remaja itu mengurung diri dan bersemedi selama dua hari. Berusaha menemukan cara agar ia tahu apa yang sebenarnya dilakukan Hik. Dari mana dia datang dan bagaimana cara ia bisa masuk ke kamar Dre. Tiap harinya, diisi dengan sikap yang kian uring-uringan memikirkan ‘misteri kucing’ itu. Akhirnya, Dre memutuskan untuk mengawasi Hik dua puluh empat jam. Tentunya, dengan cara yang berbeda.

“Terima kasih,” ujar Dre sembari menerima kembalian dari kasir. Tersenyum puas dengan cctv mungil dalam kantung di tangannya. Ia memutuskan untuk memasang kamera dan memantau pergerakan Hik sepanjang tidak bersamanya.

Senyum Dre memudar begitu ia memutar tubuh. Trio menyebalkan berjalan ke arahnya. Dre tidak sempat lagi melarikan diri ataupun bersembunyi, mata Ava telah menemukannya. Dre mengutuk dalam hati, dunia terasa sangat sempit.

“Lihatlah, apa yang kita temukan di sini?” Mata Ava berbinar-binar saat melihat Dre. Sementara Bastian dan Ella berjarak setengah meter di belakangnya. Ava menyeringai ke arah dua temannya.

“Kupikir kau selalu membawa kucing buluk itu kemana-mana,” ejek Ava.

“Kau salah masuk ya, kau mengira ini adalah petshop ternyata toko listrik?” sahut Ella. Tawanya terdengar seperti tawa Suzanna setelah menelan sate bagi Dre.

Ava melirik kantong belanjaan milik Dre. Tampaknya, Ava melihat kardus CCTV yang dibelinya. “Astaga, aku kira anak sepertimu tidak membutuhkan barang-barang di sini. Untuk ukuran pecundang sepertimu, aku kira kau gaptek.”

“Bukan urusanmu,” balas Dre, sama sekali tak gentar. Mereka sedang tidak berada di sekolah, mungkin menghajar mereka kali ini tidak akan masalah?

“Pecundang bodoh, mau kau apakan benda itu?”

Dre masih terdiam. Tangannya mengepal sampai urat tangannya tercetak kentara.

“Dia pikir, dia mungkin bisa memantau gadis pujaannya dengan benda itu,” timpal Ella. Bastian melepas tawa menyebalkannya.

“Aku bahkan tidak bisa membayangkan kalau dia bisa jatuh cinta,” Ava tertawa di ujung kalimatnya. Sementara, Ella masih cekikikan. “Gadis yang jatuh cinta padanya pasti sama-sama pecundang.” Tawa mereka mulai mengganggu pengunjung lain.

Dre mendengus marah, ia menatap Ava yang berdiri hanya beberapa langkah darinya. “Mengapa kau selalu ingin tahu urusanku? Kau suka padaku?” sembur Dre menodong Ava.

Ava mengatupkan bibir dengan geram, matanya menyala-nyala. Gadis itu maju beberapa langkah. Pancaran kebencian tersorot jelas dari matanya. Dre turut menikamnya dengan air muka ganas, “Minggirlah, kau menghalangi jalanku.”

Dre mendorong maju menembus barisan mereka. Wajahnya merah padam. Tidak ada alasan lagi baginya untuk meladeni trio menyebalkan. Ia harus pulang dan memasang CCTV-nya dengan cepat.

Butuh waktu setengah jam untuk Dre agar sampai ke rumah menggunakan bus. Ia kini sudah berada di kamarnya. Matanya menyapu seluruh ruangan. Mencari sudut yang tepat sebagai titik pengawasan.

“Yap, disana,” Dre menaiki meja belajarnya, memasang CCTV di sudut langit-langit kamarnya.

Hap! Dre melompat turun dari meja belajar, duduk di depan komputer dan melakukan beberapa sinkronisasi antara kamera dan komputer miliknya. Dre melambaikan tangan ke kamera, lalu meniliknya ke komputer. Bayangnya dari computer, ia bisa menyaksikan tangannya turut bergerak seirama. Tanpa hambatan.

Dre beralih pada kucingnya yang berada di atas kasur, “Lihat saja nanti. Aku pasti akan tahu apa rahasiamu,” ikrarnya.

Kucing itu tak bergeming. Dre mengambil kantung plastik dari tas sekolahnya. Beberapa waktu lalu, Dre masih kesal pada Hik saat kucingnya itu tidak mau menyentuh makanannya. Meskipun hanya susu dan biskuit. Kini, Dre sudah membelikan tuna kalengan. Ia berharap, Hik mau memakannya.

Konon, makanan favorit kucing itu ikan. Ia memilih alternatif ini sebagai ganti ikan segar. Dre tidak mau seisi kamarnya berbau amis akibat ikan pindang atau ikan-ikan lain di pasar. Membayangkannya saja, Dre sudah bergidik. Dre membuka tuna kalengan itu. Ia menuangkannya di mangkuk makan Hik.

“Wah, kucing lain pasti iri sekali melihat menumu hari ini,” Dre berpindah tempat duduk di kasur. Ia merangkulkan tangannya pada tubuh mungil kucingnya. Lalu memindahkannya ke pangkuan. Hik memberontak seketika. Kucingnya itu menggerak-gerakkan keempat kakinya dengan brutal ke sana-kemari.

“Hei-hei, tenanglah, aku tidak akan menyakitimu,” Dre mengelus kepala Hik. Bukannya senang, kucing itu menganggap usapan di puncak kepalanya adalah ancaman. Ia berjengit dan mencakar Dre dengan membabi buta.

Melompat dari pangkuan Dre setelah puas mencakar. Berdiri di ujung tempat tidur dengan bulu mengembang dan punggungnya membentuk punuk. Menatap Dre dengan mata siaga, kukunya mencengkeram kasur dengan kuat.

“Oke,oke. Aku tidak akan menyentuhmu. Mengerti?”

Dre menyerah dan mengangkat kedua tangannya. Sementara Hik masih menggeram dan menatap Dre tak percaya. Dre mendecak. “Dasar kucing judes.”

Dan setiap hari berlalu dengan cara yang sama, Dre mengosongkan mangkuk makanan milik Hik. Membuang susu di westafel, sementara tuna kalengan itu dibuang di tempat sampah. Meskipun, dalam hati kecil Dre terbesit rasa mubazir saat membuangnya. Di sisi lain, kucing lain pasti akan sangat senang diberi makan tuna. Namun, kucingnya itu memang susah makan.

“Kuharap kau bisa kenyang hanya dengan udara,” cetusnya menatap Hik yang membersihkan bulu dengan acuh di atas bantal.

Dre memutuskan untuk memeriksa hasil rekaman CCTV. Untuk pertama kalinya, Dre merasakan debaran jantung yang sangat keras saat melihat rekaman CCTV. Ia mempercepat rekaman CCTV-nya. Matanya membeliak.

Saat Hik berada di dalam kamarnya, kucingnya itu hanya duduk diam. Tidak tertarik sedikitpun makanannya. Ia hanya berpindah, dari kasur ke dalam tas. Keluar dari tas beralih ke atas kasur. Beberapa kali aktivitas itu berulang.

Awalnya, Dre berasumsi kalau Hik makan di tempat lain. Ada ibu-ibu tetangga yang memberikannya makanan super lezat atau anak gadis lucu yang mengelusnya sambil memberikan jajanan ringan. Namun, Hik sedikitpun tidak makan dan tidak buang air.

Dre memutar kursinya yang beroda. Ia duduk tanpa memikirkan apapun. Mendadak, otaknya serasa kosong. Sambungan di dalam otaknya terasa korslet. Dan ia bertanya-tanya.

*Bersambung*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel