Bab 8 Suara Dering Telepon
Bab 8 Suara Dering Telepon
Misteri datang beruntun pada Dre. Akal sehat Dre menyangkal realita keanehan dalam kucingnya yang tidak makan dan minum sedikitpun. Dre tidak membicarakan misteri itu pada siapapun, justru ia menghindarinya. Ia memilih bungkam.
Seandainya saja, Dre bisa mengajak kucingnya berbicara. Ia akan mengajukan ribuan pertanyaan yang menghujam di kepalanya. Tapi, Hik adalah kucing yang sombong dan judes padanya. Bahkan, ia sangat berhati-hati seolah Dre bisa menyembelihnya kapan saja.
Dre masuk ke dalam kamarnya. Tempat tidurnya terasa kosong. Dre terbiasa melihat kucingnya itu berada di atas kasur, walaupun hanya berdiri atau bergelung.
“Hik…,” panggil Dre. Memeriksa tempat yang biasa digunakan Hik untuk tidur. Nihil.
“Sudahlah, biarkan saja.” Dre berguling di kasur empuknya. Isi kepalanya merangkai suatu misteri baru tentang Hik. Ia suka menghilang tiba-tiba.
Berkat hilangnya Hik beberapa hari, hidup Dre sedikit lebih ringan. Ia tidak perlu memaksa Hik keluar tasnya pagi hari. Para trio menyebalkan itu juga tidak lagi menghina Dre karena kucingnya itu. Bahkan, Dre sedikit lebih nyaman di sekolah tanpa Hik.
Jam pelajaran kosong mendekati jam pulang, ia bisa mengerjakan tugasnya tanpa gangguan siapapun. Dre menutup buku pelajarannya. Ia berhasil menyelesaikan tiga tugas sekaligus hari ini. Dibereskan seluruh bukunya, lalu dimasukkan ke dalam tas. Saat menengok ke samping, tiba-tiba saja, Lewis sudah berjongkok di sebelah Dre.
“Lewis!” Dre terkejut bukan main.
Lewis acuh padanya. Matanya melongok ke dalam laci belajarnya. Jari-jarinya menggapai bagian dalam laci. “Aku tidak melihat kucingmu lagi,” ujar Lewis.
“Kau tidak membawanya?” Tangannya meraba-raba isi lacinya. Beberapa detik kemudian, kepala Lewis terangkat dan menatap Dre. Dengan polosnya, ia bertanya, “Kenapa tidak dibawa? Di mana dia?”
Dre mengembuskan napasnya. Lewis ini tidak memedulikan jantungnya yang mau lepas karena keberadaannya.
“Kemana, ya?” Dre melempar pertanyaan gamblang.
“Aku juga tidak….“ Belum sempat merampungkan kalimatnya, Lewis buru-buru mencegah mulut Dre untuk melanjutkan.
“Jangan bilang kau tidak tahu ke mana kucingmu berada,” tuding Lewis dengan nada memojokkannya. Seolah-olah itu adalah hal yang cukup buruk.
Dre menanggapinya dengan sabar. Ia tidak mau membentak Lewis seperti kemarin-kemarin, “Dan, yah… Aku akan mengucapkan hal itu. Terima kasih kau sudah menyelesaikan kalimatku.”
Lewis bangkit dari jongkoknya. Ia bersedekap, “Sebenarnya kau peduli atau tidak dengan kucingmu?”
“Aku peduli tentu saja.” sambar Dre cepat. Dalam hatinya ia menambahkan, “Aku bahkan membelikan tuna kalengan selama dua minggu penuh. Kurang baik apa aku padanya?” Namun, kalimat itu tidak dilontarkan.
Lewis memberikan tatapan tak percaya. Dre buru-buru menyerobotnya, “Sungguh! Aku peduli padanya.”
“Baiklah. Katakanlah kau peduli padanya. Jawab aku, Dre. Sekarang, di mana kucingmu?”
Selama beberapa detik, Dre membuka mulutnya. Ia seperti hendak mengatakan sesuatu. Beberapa alasan muncul di kepalanya. Tetapi, Dre menutup mulutnya lagi.
“Lihatlah. Kau tidak tahu keberadaannya sekarang. Inikah kepedulianmu?”
Lewis kembali ke tempat duduknya. Ekspresi kecewa melintas di wajahnya. Ia beringsut dan memunggungi Dre. Lewis menyelami lautan lamunannya lagi. Selama beberapa hari terakhir, Hik pergi entah ke mana. Kucing itu bergerak leluasa sesuka hatinya. Dre tidak melihat kepergian Hik dengan mata telanjangnya, tiba-tiba sudah menghilang saja.
Samar-samar, Dre mendengar lonceng sekolah dibunyikan. Pertanda, kelas telah usai. Dre mencangklongkan tasnya. Bergegas Dre keluar, ia berlarian di sepanjang lorong. Lalu, ia menaiki bus pertama yang datang.
Dre tidak sabar untuk sampai di rumah untuk memeriksa CCTV di kamarnya. Melempar tas sekolahnya begitu saja ke atas kasur, ia menyerbu komputernya. Tangannya gencar membuka folder rekaman CCTV. Dre memperkirakan, sudah tiga hari ini Hik menghilang terus-menerus. Tak terlihat sedikitpun.
Wajah Dre berubah serius, membuka rekaman tiga hari yang lalu. Ia menyetelnya dengan kecepatan 10x lipat. Matanya menangkap bayangan wajahnya sendiri yang mondar-mandir, menyiapkan buku, bermain ponsel, mengerjakan tugas, dan aktivitas sehari-hari lainnya.
Tidak ada tanda-tanda keberadaan Hik. Dre memilih membuka rekaman pada empat hari sebelumnya. Ia mengingat, kalau Hik masih di tas sekolahnya terakhir kalinya. Mata Dre fokus pada layar di depannya. Ia memperlambat gerakan layarnya.
Di dalam layar, Dre melangkah masuk ke dalam kamar. Dia meletakkan tasnya di meja. Lalu, dia mengambil ponsel di atas nakas dan sibuk dengannya. Saat itu, Dre sedang membaca komik online. Hanya itu yang dilakukannya hingga fajar menjelang.
Desiran aneh muncul di dada Dre. Ini aneh… Sejak pulang sekolah, Hik tidak keluar dari tasnya.
Jemari Dre bergetar pada mouse. Matanya melotot menatapi layar. Hening menghinggapi kamarnya. Hanya terdengar suara kipas angin yang menderu-deru. Udara dingin merayap masuk ke dalam paru-paru. Selaras dengan jantungnya yang berdetak kesetanan.
Benak Dre menyusun ulang misteri-misteri yang muncul. Kucingnya, tidak makan, tidak minum, menghilang tanpa jejak. Datang tanpa asal muasal. Bayangan mata kuning kucing itu datang kembali. Ia seolah terbawa arus ke dalamnya. Makin cepat, berputar-putar, terus berputar. Dia bahkan tidak terdeteksi dalam kamera?
DEG! Suara telepon berdering nyaring dari lantai bawah.
Kriiing! Suara itu bordering nyaring berkali-kali.
Pikiran Dre kalang kabut. Tubuhnya mengejang kaku. Ia ragu untuk mengangkat telepon itu. Tapi suaranya yang melengking ke seluruh rumah membuat Dre kesal. Wajahnya pucat pasi,dan lutut bergetar hebat. Ia merasa lumpuh dengan tenggorokan yang tercekat.
Kring!
‘Siapa?’ pikir Dre enggan. Ia bangkit dan menyambar sapu di ujung pintu. Memegangnya erat dan keluar dari kamar dengan mengendap-endap.
Dengan perasaan takut, Dre mencoba untuk berdiri. Ia menyambar sapu di ujung pintu. Lalu memegangnya dengan erat. Dre keluar dari kamarnya dan melangkahkan kaki dengan mengendap-endap. Tidak ada siapa-siapa di sana. Apa suara telepon itu tidak mengganggu ibunya? Biasanya ibu Dre akan bergegas di dering pertama.
Kriing!
Dre meletakkan gagang sapunya dan mengangkat gagang teleponnya. Sesaat sadar dan tertawa sendiri, mengapa ia harus membawa benda itu? Ini masih sore dan apa yang membuatnya takut?
“Siapa saja! Tolong!” suara perempuan melengking dari seberang sana. Tenggorokan Dre masih tersekat, ia tak mampu bicara apapun.
“Tolong! Nenek Selenna pingsan.”
Selenna? Itu neneknya kan? Apa katanya? Pingsan? Mata Dre melebar. “A-apa?”
“Nenek Selenna pingsan di depan rumahnya!” jerit perempuan itu.
Dre berteriak, “Ayah! Ibu! Nenek!” suaranya menggema ke seluruh atap tetangga.
Kepala Anni muncul dari balik pintu, sementara Sergio keluar dari ruang kerjanya. Kemudian, semuanya berlalu dengan cepat. Telepon diambil alih oleh Anni. Ia berbicara dengan napas tersengal-sengal tidak karuan. Di belakangnya, Sergio mengelus pundak Anni, menyabarkannya.
“Bagaimana, Ibu?”
Anni mencengkram kencang pundak Dre, “Dre. Hari ini, Ibu dan Ayah harus pulang.”
“Nenek kenapa, Ibu?”
“Dia pingsan di depan rumah. Saat ini dilarikan ke UGD,”
Napas Anni kembang kempis. Ia gemetar cukup parah, kekhawatirannya berlipat ganda. Di satu sisi ibunya sedang dirawat dan di sisi lain, putra semata wayangnya harus sendirian. “Dre, kamu tidak apa-apa di rumah sendiri?” Dre mengangguk dengan cepat.
“Baiklah, kita-kita harus bersiap, Ayah,” Anni berputar.
Dia berjalan merambat karena masih gemetar. Berita pingsannya Selenna membuat Anni panik. Selenna adalah orang tua Anni satu-satunya. Ayahnya sudah meninggal beberapa tahun lalu, bahkan sebelum Dre masuk sekolah. Sepeninggal Rion, suaminya, Selenna tidak mau ikut bersama Anni atau keluarga yang lain.
Ia memilih hidup di kampung dengan mengenang kenangan selama hidupnya, saat Rion masih bersamanya. Anni dan Sergio selalu bersikeras untuk membawanya, mengingat usianya yang kian renta. Tetapi selalu ditolak.
Kini, Anni dan Sergio bersiap sangat cepat. Mereka mengemasi barang, berseliweran seisi rumah. Sampai akhirnya, mereka berdua sudah berada di depan mobil dengan tas-tas besar yang masuk ke dalam bagasi.
Masih dengan air muka cemas, Anni menggenggam erat tangan Dre, “Kau yakin tidak masalah di rumah sendirian?”
Dre mengangguk, “Iya, Bu, tidak apa-apa.”
“Kalau kau akan berangkat sekolah apa yang harus kaulakukan?”
Dre memutar bola matanya. Anni sudah mengingatkannya ratusan kali sembari menyiapkan perlengkapan. “Memeriksa kompor, menutup jendela, dan mengunci pintu.”
“Baik, anak pintar. Kalau sudah malam, apa yang kau lakukan?”
“Menyalakan lampu depan rumah. Astaga, Ibu. Ibu sudah menanyakan beberapa kali,” Anni berpesan padanya banyak hal. Pelajaran sekolahnya, ponselnya, sampai ke pesan kecil seperti jangan lupa mematikan dan menyalakan lampu.
Anni mengangguk, “Maaf, Ibu terlalu khawatir,” Anni menyentuh pipi Dre. “Makan dengan benar. Kalau kau tidak bisa memasak apapun, belilah di luar sana. Makan yang banyak dan jangan sakit. Telepon Ibu setiap hari dan jangan membuat Ibu cemas.”
Lalu Dre bersalaman dengan kedua orang tuanya. “Ibu dan Ayah pergi dulu, jaga rumah dan berhati-hati.”
Sepersekian detik setelahnya, Anni dan Sergio masuk ke dalam mobil. Mereka melesat cepat masuk ke jalan raya. Dre memandang jalanan di depannya dengan tatapan kosong. Ada perpaduan antara kebebasan dan perasaan lega.
Semoga, Neneknya baik-baik saja. Semoga. Pinta Dre dalam batinnya.
*Bersambung*