Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 12 Seekor Kucing yang Menghisap Darah

Bab 12 Seekor Kucing yang Menghisap Darah

Dusta besar kalau Dre mengatakan ia tidak takut. Bagaimana tidak, di hadapannya, ada seekor kucing dengan tubuh yang begitu besar. Kucing yang biasa melingkar dalam tasnya sekarang berdiri dengan raut kejam. Tubuh Hik membesar dan terus membesar setelah menghisap darah para penjahat hingga terkuras habis.

Para penjahat yang kini teronggok di lantai kamar Dre. Remaja itu meringkuk menatap mayat-mayat itu ngeri dan kengerian yang semakin membuncah ketika Hik menatapnya. Akal sehat Dre masih belum bisa menerima Hik yang ada di hadapannya saat ini. Dia datang dan pergi begitu saja tanpa celah sudah membuat Dre kehilangan akal. Dan kenyataan yang harus ia terima saat ini jauh lebih mengerikan.

Tatapan mereka bertemu, Hik menatap Dre seolah ia akan dijadikan mangsa. Oh, kekhwatiran Dre bukan tidak beralasan. Satu-satunya manusia yang masih bernafas di kamar ini hanyalah Dre. Dan Hik yang sudah berubah menjadi macan kumbang itu menatapnya seolah ingin mengulitinya hidup-hidup. Dre makin merapatkan tubuhnya ke pintu, bagian belakangnya terasa sakit karena ia terus menekan tubuhnya.

Dengan sedikit gemetar ia bangkit, meraih kenop pintu. Jantungnya berdebur kencang, bohong jika ia tidak ketakutan. Apalagi ketika Hik melangkah mendekatinya. “Jangan mendekat!” teriaknya panik. Binatang itu menatapnya dengan sangat tertarik dan berhenti sejenak.

“Sebelum kau membunuhku, ingatlah betapa aku sudah merawatmu selama ini. Kau mengenaliku bukan?” Ah, Dre. Itu bohongkan? Yang ia lakukan hanya mencari tahu tentang kucing itu. ‘Tapi aku membelikannya makanan, dasar dia saja tidak mau makan!’ pembelaan itu meronta-ronta dalam batin Dre.

Dengan pelan, kucing besar itu melangkahkan kakinya. Tangan Dre melorot dari daun pintu. Diletakkan kedua tangannya di depan. Semua yang diucapkan Dre tidak berpengaruh, Hik melanjutkan langkah.

“Hik, kau ingat, tidak, kau sangat menyukai tas berwarna hitam itu bukan? Itu tasku!” tukas Dre. Jari telunjuknya teracung pada tas sekolahnya.

Hik tidak menggubrisnya. Kaki-kakinya terus mendekat padanya. Selangkah demi selangkah. Dre memindai sekeliling. Ia mencoba mencari jalan keluar untuk mengambil kunci itu. Kalau dihitung, jarak antara Dre dan kunci itu tidak begitu jauh, hanya beberapa meter saja.

Akan tetapi, seluruh tenaga Dre menghilang tanpa sisa. Tungkai kakinya lemas. Rasanya, ia tidak bisa berdiri dengan seimbang. Itulah sebabnya, Dre tidak bisa melompat dan mengambil kunci itu.

Sekarang, sosok Hik sudah benar-benar membayang di depannya. Siluetnya membayang di mata Dre. Tubuhnya itu sangat besar. Dre melihat kilauan bulu-bulu Hik yang tertimpa cahaya rembulan. Bulu-bulunya sangat halus, begitu legam dan pekat.

Dre menggeleng cepat. Ia merutuk dalam hati. Bodoh, bisa-bisanya aku terpesona dengan bulunya. Dre meneliti sorot mata Hik. Ada yang aneh dalam sorot matanya. Sorot mata Hik jauh berbeda dengan sebelumnya. Hik menatapnya dengan –lembut? Entahlah, Dre hanya bisa menafsirkan hal itu.

“Hik?” panggil Dre dengan pelan.

Hik diam saja. Hewan itu tidak memberikan tanggapan. Pada detik berikutnya, pendar cahaya kemuning datang. Cahaya itu sangat menyilaukan mata. Dre menutup matanya. Saat cahaya itu mereda, muncullah seorang perempuan yang begitu cantik.

Perempuan itu memiliki kulit sehalus sutera, rambut lurus legam sepinggang, dan jemari yang lentik. Dre berani bertaruh, dari ujung kepala hingga ujung kaki, perempuan itu mirip seperti super model di televisi. Tiba-tiba, sebuah senyuman merekah di bibir tipis perempuan itu. Lalu, Dre berkedip. Ia terpana. Otaknya mendadak berhenti bekerja sebelum di detik berikutnya ia melihat lagi mata Hik yang bersinar seperti sorot lampu stadion.

“Kamu siapa?”

Perempuan itu melirik Dre sekilas. Ia meletakkan salah satu jemarinya di bibir. “Sssst….”

“Siapa kamu? Mengapa kau ada di sini? Apa yang kau inginkan?” Entah kekuatan dari mana, Dre berteriak pada wanita cantik yang masih tersenyum itu.

Ia menggeleng. Serentetan pertanyaan yang dilemparkan oleh Dre tidak terjawab. Ia memberikan seulas senyum misterius. Perempuan itu berjalan ke arah onggokan mayat di sisi kamar Dre. Selepas itu, perempuan cantik itu membawa ketiga mayat yang tergeletak di lantai rumahnya. Perempuan itu mengangkatnya begitu mudah, seakan-akan mereka hanyalah kapas.

Lagi-lagi, Dre terperanjat dengan keajaiban itu. Ia mundur lagi ketika perempuan jelita itu mendekatinya. Mencondongkan tubuhnya pada Dre sehingga jarak hidungnya hanya beberapa senti dari hidung Dre.

“Jaga dia…,” ia menunjuk Hik yang menggelengkan kepala dan terdengar seperti mendengkur.

Setelah mengucapkan itu, si wanita cantik berlalu. Ketika perempuan itu melintasinya, semerbak aroma harum bunga lavender tercium. Lalu, perempuan itu menghilang begitu saja seperti tersedot di dalam lubang hitam.

Hanya ada Dre dan Hik yang tersisa di dalam kamarnya. Setelah kepergian perempuan itu, Dre kembali ketakutan. Seluruh peluhnya sudah membanjiri tubuh, beriringan dengan tangannya yang mendingin. Untuk saat ini, mata Dre merunduk ke bawah. Ia tak berani melihat Hik.

Dre melihat bayangan tubuh Hik dari lantainya. Lambat laun, tubuh Hik mengecil. Tubuhnya yang semula sebesar seekor macan kumbang, berangsur-angsur menjadi normal. Ia kembali menjadi kucingnya yang lucu.

Dre tetap pada posisinya. Ia meringkuk di pojok kamar di depan pintu. Kaki mungil Hik melangkah mendekatinya, mengendusnya dengan suara mendengkur yang manja lalu melingkar nyaman di kaki Dre.

Dre ingin mengusir Hik dari sisinya. Namun, ia tidak berani. Jangankan untuk mengusir Hik, untuk bergerak saja, Dre tidak mampu. Karena saking takutnya dengan sosok mungil ini. Dada Dre bergemuruh cepat. Jantungnya berdetak abnormal.

“H-hik… bisakah kau sedikit menjauh?” lirih Dre. Ia meminta Hik untuk pergi dari sisinya. Sebab, Dre baru merasa aman kalau Hik sudah tidak berada di dekatnya. Setidaknya di radius dua meter darinya.

Tiba-tiba, Dre mendengar suatu suara. Dre menengok ke kanan dan kiri. Ia mencari sumber suara. Tidak ada apapun di sekelilingnya. Hanya ada Hik yang meringkuk nyaman di sisinya.

“Akhirnya aku bisa terhubung dengan alam pikiranmu, Dre.”

Dre merinding mendadak. Kalimat itu merangsek masuk ke dalam pikirannya. Dre mengamati sekelilingnya. Tidak ada seorangpun di sana. Namun, apa yang barusan ia dengar adalah suatu hal yang nyata. Bukan hanya ilusi atau halusinasi.

“Siapa kamu?”

Tanpa sadar, Dre bangkit dari sana. Ia mengarahkan tangannya ke depan. Lalu berputar. Mata Dre melirik ke seantero kamar. Suara itu terngiang lagi di telinga Dre. “Dre, tenanglah.”

“Siapa kamu?!” ulang Dre. Kali ini, nadanya berjengit meninggi.

“Aku meminta padamu untuk tenang, Dre,” suara itu begitu lemah lembut. Napas Dre memburu. Mana bisa aku tenang?! sungut Dre dalam batinnya.

Coba saja kamu jadi aku. Dalam hitungan jam, banyak peristiwa aneh menggelepar di tertangkap mata telanjangnya.

“Dre, aku tidak akan menyakitimu.”

Dre terpaku. Matanya terantuk pada sosok Hik yang berada di sudut kamarnya. Sejenak, Dre bertanya-tanya, apakah seharusnya ia menanyakan padanya. Dre menggeleng cepat. Tidak mungkin seekor kucing bisa bicara. Tetapi, belum sempat Dre menanyakan kepada Hik, Hik sudah mengerjap padanya.

“Itu kau? Benar-benar kau?” tanya Dre pelan.

Dre menghalau skenario yang merangkak masuk dalam otaknya. Otaknya terlalu usang untuk menerima semua gulir peristiwa yang terjadi. Ia pasti bermimpi. Ya, ia pasti bermimpi. Esok harinya, ia akan bangun dalam kondisi fresh dan mengingat kalau ini bagian dari mimpi teranehnya sepanjang masa. Dre masuk ke dalam selimutnya. Ia bergelung di dalam selimut.

*

Keesokan paginya, Dre terbangun dalam keadaan yang ironis. Badannya remuk redam. Matanya menghitam dengan kantung mata yang mengerikan. Tidak cukup sampai di situ, Dre mendapati kamarnya yang berantakan. Banyak buku-buku terhampar di lantai kamarnya. Benda-benda dari atas meja belajarnya juga berserakan.

“Semalam bukan mimpi?” Dre terhenyak.

Ia turun dari tempat tidurnya. Tangan Dre memungut buku-buku yang berserakan di lantai kamarnya. Mengembalikannya ke rak. “Apabila semalam bukanlah mimpi, kemudian, kejadian tadi malam itu apa?”

Dre menanyakan hal itu pada dirinya sendiri. Benaknya memutar kilas balik beberapa adegan semalam. Akal sehat Dre menyangkal dengan cepat. Semua yang terjadi tadi malam mirip dengan adegan di film yang pernah ia tonton. Itu terlalu mustahil untuk terjadi di dunia nyata. Namun, kini, kamarnya adalah saksi bisu realita itu.

“Jadi, semalam bukan mimpi?”

Untuk kesekian kalinya, Dre melontarkan pertanyaan itu. Meskipun Dre tahu, tidak ada satupun orang yang mampu menjawab pertanyaannya.

*Bersambung*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel