Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 13 Ambang Batas Mimpi dan Realita

Bab 13 Ambang Batas Mimpi dan Realita

“Astaga! Aku mengira semalam itu mimpi buruk!” Dre menyeru seorang diri.

Ia mengerjap beberapa kali. Walaupun otaknya berkoar-koar berusaha memahami serentetan kejadian semalam, tangan Dre membereskan kekacauan di kamarnya dengan terburu-buru. Mengambil buku-bukunya yang berserakan, menyusunnya kembali di rak. Lantas, ia juga mengembalikan alat tulisnya kembali di atas meja. Ketika Dre merapikan kamarnya kembali, beberapa kali matanya terantuk pada Hik tanpa sengaja.

Kucing yang sudah kembali ke ukuran semula itu sedang menikmati tidurnya yang nyaman di atas kasur, tidak bergerak sedikitpun. Kalau peristiwa semalam nyata, itu pertanda bahwa Hik adalah makhluk jadi-jadian. Dre ngeri memikirkannya. ‘Cih dasar otak konyol,’ Dre memaki dirinya sendiri.

Ia mengalihkan otaknya untuk berhenti berpikir demikian. Ia keluar dari kamar dan menuju ke kamar mandi. Betapa terkejutnya Dre sesampainya di anak tangga terakhir. Ia menatap tas dan koper yang tergeletak di sana. Mata Dre melebar. Koper dan tas?

“Dre! Sayang!”

Sorot mata Dre memandang lekat-lekat seorang wanita yang berjalan di hadapannya. Seorang wanita bertubuh cukup tambun itu berjalan tergopoh-gopoh ke arah Dre. Anni memburu tubuh Dre. Ia memeluk tubuh putra semata wayangnya dan di detik berikut, ia melepaskan pelukannya dan memegang pipi Dre.

“Astaga, anak Ibu. Kamu baik-baik saja?”

“Ayah dan Ibu kapan kembali?” tanya Dre mengabaikan pertanyaan sang ibu.

Dre melongok ke belakang, di sana, Sergio tengah menyeret koper ke dalam kamar utama. Anni melepaskan pelukannya pada anak semata wayangnya. “Ayah dan Ibu sampai tadi pagi.”

“Nenek, bagaimana?”

Anni mengalihkan pandangannya dari Dre. Ia melintasi Dre dan mengarah ke dapur. Sementara Dre, mengekor di belakang sosok sang Ibu.

“Kondisi Nenekmu membaik.” Anni membuka isi kulkas dan almari yang berada di atas meja dapur. Ia memeriksa segala persediaan yang tersisa. Dre memperhatikan aktivitas Anni dengan melayangkan beberapa pertanyaan terkait kondisi neneknya yang jatuh sakit itu.

“Apa yang terjadi Bu? Mengapa Nenek bisa pingsan, Bu?”

“Dokter bilang Nenek stress. Mungkin Nenek rindu pada kita, Dre. Salah Ibu jarang sekali pulang,” ujar Anni dengan nada menyesal. Dre menatap ibunya dan tersenyum untuk membesarkan hati sang ibu.

Dre menimpali dengan cepat, “Lalu, bagaimana Nenek sekarang? Siapa yang menjaga Nenek?”

“Kondisi Nenek sudah membaik, karena itu Ibu dan Ayah kembali. Ayahmu juga harus bekerja. Ibu sudah meminta nomor telepon dokter yang ada di sana. Ibu dan Tantemu akan bergiliran menjaga Nenek nanti. Mungkin Ibu akan sering meninggalkanmu dan Ayah,” suara Anni terdengar sedikit gelisah.

Dre mengalungkan lengannya sejenak di bahu sang ibu. “Ibu, kami tidak akan kekurangan makan jika Ibu harus menjaga Nenek di sana. Tapi, kenapa kita tidak membawa Nenek ke sini?” tanyanya. Pertanyaan yang Dre sendiri sudah tahu jawabannya, Nenek tidak akan pernah mau.

Tapi untun saat ini setidaknya Dre bisa mengembuskan napas lega. Ia turut khawatir saat mendengar kabar neneknya yang pingsan tiba-tiba. Setelah mendengar kabar itu, Dre bisa sedikit lebih tenang sekarang. Ia mengambil handuk yang tersampir, lalu mengalungkannya di leher.

Tepat ketika ia akan masuk ke dalam kamar mandi, Anni memanggil namanya. “Dre!”

Dre berbalik. “Ya Bu?”

“Selama kami pergi, kamu ini makan apa?”

Dre melihat ibunya yang mengumpulkan segala makanan dari dalam kulkas, Dre meringis, lalu buru-buru menutup pintu kamar mandi, sebelum Anni memberikan kultum pagi yang panjang kali lebar. Ah tidak perlu ditambahkan kali tinggi Dre, tidak usah menghitung volume balok di pagi hari.

*

Tetapi sejak kepulangan orang tuanya dari rumah Nenek, Dre merasa sikap overprotektif ibu dan ayahnya sedikit berkurang. Keduanya tidak keberatan dengan keinginan Dre untuk naik bis ke sekolah. Sesuatu yang sudah ia idam-idamkan sejak lama tapi tak pernah mendapat restu. Perubahan ini jelas membuat Dre senang sekalipun itu berarti ia harus membawa Hik yang masih betah melingkar dalam tasnya melewati perjalanan tidak menyenangkan setiap hari.

Sudah lama sekali, ia disebut sebagai pecundang kelas, salah satunya karena ia termasuk ke dalam golongan ‘anak mama’ versi mereka. Setidaknya, alasan mereka membully Dre sudah berkurang satu.

Yang masih tetap sama hanyalah Hik, kucing yang sekarang lebih banyak manisnya itu masih ngotot menjadikan tas Dre sebagai wilayah favoritnya. Kadang kala, mereka juga melakukan drama pagi. Dre menarik-narik tubuh Hik agar keluar dari tasnya, tetapi kucing itu bandel ingin ikut bersamanya.

Awalnya, Dre takut menghadapi Hik. Saat kucing itu melingkar di hari pertama pasca kejadian itu, Dre malah ketakutan membuka tas sekolahnya. Ia takut kalau ia membuka tas sekolahnya, Hik terbangun dan AUM! Ia menggigit Dre dengan taringnya yang mematikan itu. Kadang ia berkhayal kucing itu akan muncul sebagai macan kumbang dari dalam tasnya.

Tetapi, setelah beberapa hari ketakutan itu semakin meninggalkan Dre. Ia mulai terbiasa kembali dengan Hik. Setidaknya kucing itu tetaplah kucing tidak berubah besar atau haus darah. Dan perlahan Dre menganggap kalau peristiwa itu bagian dari alam bawah sadarnya. Mimpi atau semacamnya. Padahal, sebagian hatinya yang lain bersikeras kalau itu nyata, mengingat beberapa luka di tubuhnya.

Dre meletakkan tas sekolah sedikit lebih keras dari biasa, ia yakin Hik yang melingkar nyaman dalam tasnya pasti terbangun. Dan Lewis yang di pagi begini sudah tenggelam dalam mimpinya, membuka mata.

”Hei, perlukah kau meletakkan tasmu begitu keras? Kau pikir itu akan membuat bukumu menjerit?” kesalnya dengan bibir maju persis para gadis yang kesal karena kencan mereka diganggu hujan deras.

“Setidaknya itu bisa mengganggu mimpi jorokmu di pagi hari kan?” ujar Dre cuek.

“Wah, dia sudah kembali?” Lewis mengamati Hik yang keluar dari tas sekolah Dre. Kucing mungil itu melompat ke pangkuannya sebagai batu loncatan serta melompat lagi ke dalam laci.

“Tentu saja, dia tidak akan menemukan majikan sebaikku di luar sana,” ujarnya songong. Lewis ingin sekali melempar sebelah sepatunya ke wajah sahabat sebangkunya yang menyebalkan itu.

“Kapan dia kembali?”

Dre berpikir, “Umm beberapa hari yang lalu,” dustanya. Lewis bangkit dari kursinya lalu berjongkok di sebelah Dre, mengulurkan tangannya. Dre bertanya-tanya sejenak. Haruskah ia turut jongkok, sebelum tersadar tangan Lewis mencoba untuk menggapai Hik.

“Ck, kau membuatnya takut. Hentikan. Dia bahkan tak mau kusentuh,” kata Dre. Di dalam laci, mata Hik berkilat-kilat. Tatapannya jelas tidak suka pada jemari Lewis yang berusaha mengelusnya.

”Sayang sekali. Padahal kalau dia sedikit jinak aku mau memberikannya tuna kalengan kualitas impor.” Dre tertawa dalam hati dengan kalimat itu. Hik tidak peduli dengan tuna kalengan kelas apapun. Hanya akan jadi tuna basi di tempat sampah.

“Setidaknya aku bersyukur kalau dia kembali padamu,” ujar Lewis, ia kembali ke bangkunya. Setelah menatap mata kuning cerah Hik yang melebar menatapnya.

“Sudah kukatakan bukan? Dia tidak akan menemukan majikan terbaik selainku.” Lewis melempar pandangan melecehkan pada Dre, kesal dengan sikap angkuh pura-puranya yang menggelikan itu.

Ia berkomentar, “Terus berkhayal Dre,” sungutnya.

Dre membungkukkan badannya, ia melongok kucing di dalam laci. Hik benar-benar ada dan kembali ke sisinya. Benar-benar nyata. Sejatinya, Dre ingin sekali bertanya pada Lewis tentang kejadian itu. Mulutnya gatal memintanya untuk bercerita. Tetapi, tiap kali ia hendak membuka mulutnya, Dre bingung harus memulainya dari mana.

Itu bukanlah cerita biasa, Lewis belum tentu mempercayainya. Ini bukan seperti cerita yang membahas video game, komik, atau cewek impian. Ini cerita tentang seekor kucing yang menyedot darah manusia sampai habis! Kucing vampir, julukan itu diberikan Dre diam-diam dalam hati untuk Hik.

“Apa?” ujar Lewis mendadak.

“Apanya yang apa?” ulang Dre tidak mengerti. Lewis mengembuskan napas jengah.

“Kau memandangiku seperti itu, mengerikan tahu. Semua orang bisa salah paham padamu,” sungutnya.

Dre mendecih dalam nada penuh kengerian. “Kau berkhayal. Aku masih waras. Jangankan aku yang laki-laki sejati, satu gadis pun di sekolah ini tidak akan ada yang tertarik denganmu,” celanya. “Kau fikir aku fujo?” ia mendelik pada Lewis yang turut mendelik.

“Lalu mengapa kau menatapku seperti itu? Membuat merinding saja,” sungutnya.

Dre menggeleng. “Kau terlalu jauh berpikir. Ataukah, aku harus mencobanya?”

Lewis makin bergidik, “Kau mulai gila Dre!”

Dre tergelak. “Kurasa, aku harus mencobanya.”

“Woy! Hentikan!”

Mata Dre mengerling pada Lewis, “Kau mau mencobanya bersamaku?”

“Kau menjijikkan Dre!” Lewis menggeser bangkunya beberapa senti dari Dre yang terkekeh melihat wajah temannya.

“Aku hanya bercanda, mengapa wajahmu jadi merah begitu? Sepertinya aku yang harus khawatir,” kekehnya.

“Kalaupun aku gay, aku tidak akan memilihmu, Dre,” ketus Lewis.

Keduanya tertawa, membuat beberapa orang teman mereka yang selalu menganggap keduanya pecundang menatap tidak suka. Terserah, Dre tidak peduli semua orang menganggapnya apa, baginya persahabatan dengan Lewis sudah lebih dari cukup.

Tetapi tawa riang mereka mengusik Ava, gadis yang tengah berbincang dengan para dayang dan pengawalnya itu bangkit. Melenggang dengan gaya sok anggung menuju Dre dan Lewis, diiringi pasukan lengkapnya. Ella dan Bastian. Ketiganya berdiri mengelilingi Dre dan Lewis, tetapi mata mereka nanap pada Dre yang meluruskan punggung begitu mereka hadir. Menatap pada Dre seakan-akan ia baru saja berbicara bahwa ia adalah tersangka pembunuhan.

Ava menyibak rambutnya yang diwarnai separuh itu dengan gaya angkuh, sengaja memperlihatkan kukunya yang terawat dengan menikur itu. “Kau bahagia sekali bisa tertawa begitu riang di pagi hari? Kalian mendapatkan emas?” tanyanya dengan tatapan menyelidik. Dre menyeringai menyebalkan ke arahnya.

*Bersambung*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel