Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 6 - ISTRI ORANG

Malam yang mantap bagi Aaron. Pria itu asyik minum-minum bersama teman-temannya. Dia bahkan melupakan Emily yang dia tinggalkan di bar sendirian.

Teman SMA-nya yang bernama George memaksanya ikut pada party yang dia adakan di unit apartemennya. George bilang, jika pesta itu hanya untuk para pria. Dia melarang saat Aaron mau mengajak Emily.

Ternyata di sana tidak hanya ada para pria saja! George menyiapkan beberapa wanita penghibur untuk mereka semua. Aaron tidak masalah. Asal George tidak mengatakannya pada Emily.

"Jangan canggung begitu. Ayo nikmati pestanya, Kawan!" George merangkul bahu Aaron sambil memegang gelas winenya. Dia tertawa amat senang bersama teman-temannya di pesta.

Aaron hanya tersenyum tipis dan langsung menenggak gelas winenya sampai tandas. Bahkan dia tidak menolak saat George menyodorkan ganja padanya.

"Semua wanita di sini sudah aku booking. Jangan lupa pakai pengamanmu, Bung!" George menepuk punggung temannya yang sudah teler dan pergi bersama seorang wanita berpakaian seksi.

Pesta seks dan ganja, tak ada pesta yang lebih mantap dari itu. George yang baru kembali dari San Pedero membawa banyak ganja kering dan sabu-sabu. Dia membaginya dengan semua orang, termasuk Aaron.

"Hei, ngapain minum sendiri di sini? Cepat pergi ke kamar bersama wanita itu. Kurasa dia terus memperhatikanmu sejak tadi." George menepuk bahu Aaron yang sedang minum sendiri.

Hanya pria itu yang masih di wilayah pesta. Temannya yang lain sudah masuk kamar sambil membawa wanita yang sudah disediakan oleh George.

Aaron tampak bosan. "Aku memikirkan Emily. Dia pasti bosan sendiri di bar. Aku harus pulang."

"Apa, pulang?" George tertawa melihat Aaron bangkit dari kursinya.

Pria berkemeja hitam yang lengannya dilipat sampi ke siku itu menatap George dengan wajah jengah.

Melihat Aaron tampak tidak senang, George segera menghentikan tawanya, lantas meremas satu bahu pria itu.

"Bro, aku pernah berkata padamu bahwa pernikahan itu tidak asyik. Waktumu untuk bersenang-snang akan terbatas. Apa yang aku bilang benar, bukan?" ucapnya. George tersenyum tipis usai bicara.

Aaron terdiam lalu memalingkan wajah sesaat. Apa yang dikatakan oleh George benar juga. Jika boleh jujur, sebenarnya dia juga belum ingin menikah. Namun, saat itu ayahnya terus mendesaknya.

Melihat Aaron murung, George tersenyum tipis. "Hei, maaf jika kau tersinggung karena ocehan recehku. Minumlah lagi, aku mau ke sana dulu. Oh baby ... baby ... Oh ..."

Aaron menoleh pada George. Pria itu pergi darinya sambil bersenandung begitu konyol. Menggeleng sesaat, Aaron kembali duduk dengan perasaan gusar.

Diputar-putar gelas koktail dalam genggaman. Butiran es dalam gelas beradu-radu menimbulkan bunyi. Lamunannya melesat jauh pada dua bulan yang lalu.

"Perusahaan terancam bangrut. Kita membutuhkan suntikan saham secepatnya. Jika tidak, terpaksa Group Mecco harus tutup."

"Tidak adakah jalan lain? Sangat memalukan jika sampai publick dan Media mengetahui hal ini. Apalagi jika Mecco sampai tutup."

"Sebenarnya ada jalan untuk menyelamatkan Mecco."

"Apa itu?"

Malam itu di pertengahan musim dingin. Aaron yang baru pulang dari club malam tidak sengaja mendengar perbincangan ayahnya dengan sekertarisnya.

Perusahaan ayahnya sedang di ambang kebangrutan, itu yang dia dengar. Aaron yang saat itu masih amat muda, tidak begitu peduli dengan perusahaan. Hingga di hari berikutnya, sang ayah menemuinya di kamar.

"Kita akan pulang ke San Milates dan mulai bertani, apa kau siap menjalani hidup di daerah pegunungan yang tidak ada jaringan internet?" Begitu kata ayahnya.

Aaron sedang duduk menghadap meja belajar. Ibu jarinya sibuk menyukai beberapa foto wanita seksi yang melintas di beranda sosial media. Dia dibuat heran mendengar ucapan ayahnya.

"Maksud Daddy?" tanyanya seraya menoleh pada pria dengan stelan jas hitam yang sedang berdiri di samping.

Tuan Dalbert menarik napas panjang sebelum mejawab pertanyaan putranya. "Mecco akan bangrut. Kita jatuh miskin dan akan kembali ke kampung."

"Apa?" Aaron amat sangat terkejut mendengarnya.

Tuan Dalbert mengangguk lesu dengan wajah yang kuyu. Diusap kepala putranya lalu berkata. "Semua itu bisa dicegah jika kau mau menuruti permintaan Daddy."

Aaron hanya menatap heran pada sang ayah tanpa membuka suara.

Tuan Dalbert melanjutkan,"Menikahlah dengan Emily. Selamatkan Mecco-kita."

Aaron memejamkan matanya rapat-rapat, lantas menggeleng. Dia memang mencintai Emily tapi saat itu dia masih amat muda dan belum siap untuk menikah. Namun, semuanya sudah terjadi.

Group Mecco milik ayahnya kini semakin berkembang pesat setelah mendapat suntikan saham dari Babel Sonic. Aaron tak ingin mengingat semua itu lagi, dia segera menyesap pada gelas winenya.

Dari kejauhan, George tersenyum penuh misteri melihat Aaron. Bagus. Akhirnya pria itu meminum wine yang sudah dia campur dengan obat horny. Semua itu George lakukan karena perintah seseorang.

Sementara itu.

Emily sudah pasrah jika malam ini akan menjadi malam terakhirnya di dunia. Pria di sana sepertinya tidak mau menolongnya dari kematian yang sedang mengincar.

Tubuhnya mulai melemas karena kehabisan oksigen, dan keparat itu terus saja mencengkeram leharnya dengan kuat. Perlahan, mata bulat Emily terpejam. Dia sudah tidak kuat lagi.

Jedak!

"Aarkh!"

"Shit!"

Tubuh Emily terdorong sampai jatuh ke lantai. Dia sangat terkejut saat tangan penjahat itu melepaskannya. Dilihatnya seorang pria dengan stelan jas hitam sedang memukuli pria yang mencekiknya tadi.

"Dasar mesum! Bisanya mengganggu wanita saja! Rasakan ini!"

Bug!

Bug!

Sean menghajar pria bertopi hitam dengan brutal.

Maxime hanya memandangi dari agak jauh sambil memegang koper kerja milik bosnya itu. Sungguh di luar nalar. Sean menolong seorang wanita? Ini amat konyol, pikir Max.

Lima tahun dia menjadi sekertaris, bodyguard sekaligus pengacara Sean. Tidak sekali pun dia melihat sikap heroik yang Sean tunjukkan. Baru malam ini. Penulis tegaskan lagi, baru malam ini dia melihat Sean menolong orang!

"Jangan bunuh aku, Tuan..." Pria bertopi mundur sambil menyeret tubuhnya. Sean menodongkan pistol ke wajahnya, dia amat ketakutan.

Sean menatap bosan. "Pergilah," ucapnya lalu membenahi pistolnya ke balik jas.

Pria bertopi kabur dengan terpincang-pincang. Sementara Emily bergeagas menghampiri Sean yang sedang mengusap wajahnya dengan sapu tangan putih yang Maxime sodorkan.

"Tuan, terima kasih atas bantuanmu. Aku Emily Dolores, kau siapa?"

Sean menoleh pada wanita muda yang kini berdiri di sampingnya. Wajah cantik bak boneka barbie menyegarkan penglihatan. Senyuman yang manis dari bibir merah yang ranum. Juga postur tubuh ideal bak model majalah dewasa.

"Tuan?" Emily heran melihat pria di depannya malah bengong.

Sean segera sadar. "Ah, ya. Aku Sean. Apa kau terluka, Nona Manis?" ucapnya lantas meraih jemari Emily lalu mengecupnya dengan santai.

Emily agak terkejut akan perlakuan pria asing itu. Namun, Sean sudah menolongnya. Hanya kecupan di tangan, tak apa baginya meski membuatnya tidak nyaman.

Mata Sean terangkat ke wajah Emily. Wangi lavender dan lily dari tubuh wanita itu membuatnya di mabuk kepayang. Wangi yang amat segar dan menggetarkan hati, dia enggan melepaskan jemari Emily yang halus bagai Sari India.

Emily tersenyum canggung. "Hm, sekali lagi terima kasih, Tuan Sean--" ucapnya terputus.

Masih memandang dengan ekpresi kagum Sean menyela, "Sean Caldwell. Panggil saja Sean, biar lebih akrab."

Emily mengangguk sambil tersenyum simpul. Pria di depannya lebih dewasa dari Aaron sekitar dua tahun. "Nama yang keren," gumannya pelan.

"Seperti orangnya yang ganteng." Sean buru-buru menyela.

Emily bengong sesaat, lantas mereka tertawa bersama. Maxime hanya tersenyum tipis melihatnya.

"Sudah larut malam, mengapa masih keluyuran di luar? Gadis cantik sepertimu bisa memancing para buaya keluar loh!" Sean bicara pada Emily sambil berjalan bersisian dengan wanita itu.

Gaun malam selutut dengan bahu terbuka begitu kontras membalut tubuh proporsional Emily. Menutup sebagian kulit putihnya yang memukau dalam cahaya remang.

Sean menyukai cara wanita itu berpakaian. Sepertinya Emily menyukai fashion dan selalu mengikuti trend kekinian. Terlebih gaun dan asesories yang ia kenakan, semuanya warna hitam. Warna kesukaan Sean.

Emily berjalan lamban, dan Sean agak kesusahan mengimbangi. Sementara Maxime mengekor di belakang sambil memeluk koper kerja milik Sean.

Emily tersenyum manis lalu menjawab, "Tadi aku kesini dengan Aaron. Namun, dia pergi bersama teman-temannya. Karena bosan menunggu, akhirnya aku putuskan untuk pulang. Aku juga sudah menelepon ke rumah untuk menjemput, tapi sopirku belum datang."

Sean manggut-manggut mendengar cerita Emily. "Aaron itu pacarmu?" tanyanya penasaran.

Emily menggeleng. "Bukan, tapi dia suamiku."

"Suami?" Sean terkejut setengah mati.

Emily hanya mengganguk meanggapi. Sean segera membuang wajah kecewanya dari Emily. Sementara Maxime hanya mengusap wajahnya lalu menggeleng lesu.

Kasihan bosnya. Sepertinya Sean telah jatuh cinta pada pandangan pertama pada Nona Dolores, pikirnya miris.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel