Chapter 5 - CLUB DEWASA
Nigel yang sudah terbakar amarah segera menarik pelatuk pistolnya. Seketika satu tebakan melesat menuju sasaran.
Mata Theresa yang bulat semakin besar karena terbelalak. Seiring suara tembakkan itu, tubuh Theresa yang hanya berbalut gaun tudurnya yang pendek terhempas ke kasur.
Nigel hanya menaikan sudut bibirnya melihat Theresa. Wanita itu bergegas bangkit, lalu menurunkan pandangan ke bagian depan tubuhnya. Tangannya meraba-raba. Tak ada luka tembak di mana-mana.
Ekor matanya melirik pada vas bunga yang sudah berceceran di meja nakas. Masih dengan rasa terkejut, Theresa mengangkat sepasang matanya ke wajah Nigel.
"Kau pikir aku akan menghabisimu begitu saja? Tidak, Theresa ... Aku hanya akan menembakmu bersama selingkuhanmu. Katakan, di mana dia bersembunyi?!" Nigel berteriak di akhir kalimatnya.
Matanya memindai seisi kamar sebelum menghambur menuju kamar mandi dan walk-in closed. Rupanya dia masih berpikiran jika istrinya sudah membawa pria lain masuk kamar.
Melihat punggung Nigel nyaris hilang di balik pintu, Theresa bergegas beringsut dari ranjang.
"Aku sudah katakan padamu, tidak ada pria lain di sini. Kau tidak percaya? Aku bermain sendiri."
Nigel yang sedang memeriksa seluruh kamar mandi segera berhenti mendengar suara Theresa. Tubuh itu memutar dan wajah sayu istrinya menyambut.
"Aku memang sering pergi ke bar dan tidur dengan pria lain. Namun, aku tidak akan membawa mereka ke kamar ini. Kau tahu mengapa?" Theresa bicara dengan lirih dan rahut wajah yang dibuat sedih.
Nigel masih bergeming tanpa suara. Wanita itu segera maju dan langsung memeluk suaminya. Nigel tidak merespons pelukan itu.
"Aku kesepian dan butuh kehangatan. Kau sudah lama sakit dan lupa akan tugasmu sebagai seorang suami," ucap Theresa. Mata yang berkaca-kaca diangkatnya ke wajah Nigel. "Aku membutuhkan seks," lanjutnya.
Hati Pria 55 tahun itu teriris mendengar semua pengakuan istrinya. Pistol dalam genggaman jatuh tanpa ia lepaskan. Kedua tangan kekar berbulu itu perlahan terangkat ke punggung Theresa.
"Maafkan aku--"
Senyum penuh kemenangan merekah di bibir merah Theresa. Nigel memeluknya amat erat.
'Dasar pria bodoh!' Theresa puas sekali karena sudah berhasil memperdaya sumainya.
*
Club malam milik Madam Jojo begitu ramai malam ini. Di ruangan VIP terlihat dua orang pria yang sedang berbincang dengan pemilik club dewasa terlaris di San Mitero, Jojo Fernandes.
Madam Jojo berusia 55 tahun. Riasan tebal dan pakaian yang seksi tidak mampu menyembunyikan parasnya yang telah lapuk termakan usia. Meski begitu, dia tetap terlihat energik dan nakal.
Malam ini Madam Jojo amat senang. Bagaimana tidak? Pebisnis club nomor satu di San Milates datang mengunjungi club miliknya yang bisa dibilang hanya club kecil.
Selain mahir dalam berbisnis, pebisnis itu juga teramat tampan bak aktor film laga. Cara dia duduk dan membasahi bibirnya saat bicara, semua itu membuat Madam Jojo sangat terpesona.
Sean Caldwell, satu-satunya penerus perusahan club dan kasino terbesar di San Milates. Dia tampan, Macho dan agak mesum. Madam Jojo menelan liurnya saat menurunkan pandangan pada bagian depan celana kain Sean.
Bagian itu terlihat agak sesak. Sepertinya cukup besar dan panjang. Madam Jojo mulai berfantasi liar. Sean Caldwell adalah tipe idealnya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Club yang amat sempit dan terlihat berantakkan. Ada banyak sekali yang mesti aku rombak jika membeli club ini. Kurasa ... aku akan rugi banyak daripada untung."
Sambil duduk santai pada sofa panjang yang empuk, Sean mencibir dengan wajah bosan. Wanita tua berpanampilan bak Katy Perri di depannya itu menawarkan club miliknya.
Madam Jojo sudah mengirim banyak surel padanya. Juga menelepon sekertarisnya sampai sepuluh kali dalam satu hari. Namun, Sean amat kecewa setelah melihat club milik Madam Jojo.
Wanita dengan riasan glamour dan gigi depan yang maju 10 senti segera bicara. "Tuan Muda Caldwell yang tampan, kau jangan ngomong begitu. Aku jadi sedih. Club ini peninggalan ayahku. Sebenarnya aku tidak berniat menjualnya," ungkap Madam Jojo tanpa memadamkan tatapan kagumnya akan ketampanan Sean.
Pria dalam balutan jas hitam yang sedang duduk menoleh pada sekertarisnya. Mereka saling pandang heran mendengar ucapan Madam Jojo.
"Jika tidak mau menjualnya, lantas untuk apa menhubungiku setiap hari seperti Pinjol? Bahkan kau juga menulis banyak pesan di kolom komentar pada unggahanku di Sosmed. Apa maksudnya semua itu?" tanya Sean keheranan.
Madam Jojo yang gigi depannya agak kedepan menanggapi dengan tersenyum sipu. Sean dan sekertarisnya kembali saling pandang heran.
Senyuman itu membuat bulu kuduk Sean meremang. Seperti senyuman Zombie, sama sekali tidak manis.
"Tuan Muda Caldwell, mengapa kau masih bertanya? Sudah jelas aku mengikutimu di Sosmed dan selalu menyukai semua fotomu. Aku menyukaimu ..." Madam Jojo menjawab dengan kedua pipi yang bersemu merah dan rasa percaya diri yang tinggi.
Sean sangat terkejut mendengarnya. Sudah pasti. Tatapan Madam Jojo membuatnya ngeri. Dia segera menoleh pada sekertarisnya yang sedang terkikik geli. Sean segera memalingkan wajah jengahnya keluar jendela.
*
Satu jam berlalu setelah Madam Jojo mengungkapkan perasaannya pada pebisnis club termuda, Sean Caldwell. Kini wanita tua glamour itu sedang berdiri di depan teras club sambil melambaikan sapu tangan putih pada Sean. Wajahnya dibanjiri air mata melihat crush-nya pergi.
"Sial, buang-buang waktu saja!" Sean tampak amat kesal dan bergegas masuk mobil.
Dari dalam mobil dia melirik ke teras club. Dilihatnya Madam Jojo masih berdiri di sana. Wanita itu melambikan sapu tangannya sambil terisak-isak. Sean menolak cintanya dengan amat kejam! Madam Jojo jadi patah hati.
"Wanita itu ... ingin rasanya aku timpuk pakai sepatu. Astaga ..." Sean mengerang kesal, lantas menutup kaca mobil.
Sekertarisnya, Maxiime hanya mengulum senyum mendengar bosnya terus menggerutu. Dia segera melajukan mobil meninggalkan club milik Madam Jojo.
"Brandalku jangan pergi! Aku mau mati saja ... Seaaaann!"
Madam Jojo menjerit melihat Lamborghini merah yang membawa Sean melaju dengan kecepatan tinggi. Wanita itu jatuh pingsan seketika. Para pelayan menjerit kaget melihatnya.
Di malam yang sama. Emily terlihat sedang minum-minum di sebuah bar. Aaron menghilang entah kemana setelah dua temannya membawa pria itu pergi.
Emily yang mulai bosan menunggu akhirnya memutuskan untuk pulang. Setibanya di area basement, Emily baru sadar jika mobilnya dibawa oleh Aaron. Ya ampun ... bagaiman caranya dia pulang?
Menaiki taksi amat seram bagi Emily. Dia pernah mengalami kejadian buruk sewaktu SMA. Sopir taksi mesum nyaris memperkosanya. Beruntung saat itu Aaron datang menolong.
"Kirimkan mobil kesini, aku tunggu. Jangan lama, aku bosan di sini." Emily menutup panggilan ponselnya setelah menghubungi sopirnya.
"Huh! Menyebalkan sekali! Mengapa dia pergi begitu saja meninggalkan istrinya? Suami macam apa itu?" gerutunya sambil berjalan menyusuri area basement yang sepi.
Dari arah belakang terlihat seorang pria yang sedang mengincar Emily. Pria itu mengenakan pakaian serba hitam juga topi dan masker hidung. Dia semakin cepat melangkah menuju Emily yaang sedang sibuk dengan ponselnya.
Emily belum menyadari jika seorang pria sudah berdiri di belakang punggungnya. Pria itu mulai mengangkat kedua tangan yang kosong mau mencekik mangsanya dari belakang.
"Ya ampun ... mengapa hapenya mati? Sial!" gerutu Emily. Wanita itu lantas memutar tubuhnya. Dia sangat terkejut mendapati sosok pria yang sudah berdiri di depannya.
Emily menjerit dan hendak kabur. Namun, pria itu langsung mencekik leher Emily dengan kedua tangan. Emily berusaha berontak, tapi cengkeraman itu sungguh amat kencang dan berhasil memenggal laju napasnya.
Mata bulat Emily menatap mata pria asing yang mencekiknya. Dalam hati ia berpikir; siapa pria itu dan mengapa dia mau menghabisinya? Sepertinya dia tidak akan memperolem jawaban. Dia hanya akan mati penasaran.
"Aaakhhh!"
Emily nyaris pingsan kehabisan napas. Sementara pria itu semakin kencang mencengkeram leher Emily.
Di saat yang bersamaan, mobil Lamborghini merah muncul. Sean keluar dari sana bersama Maxime. Mereka saling pandang melihat apa yang terjadi pada Emily.
Mungkin hanya perampokan. Sean tidak tertarik untuk menolong Emily. Juga Maxime yang mempersilakannya berjalan memasuki bar. Bukan para Mafia jika masih punya rasa peduli pada sesama.
Sean bergegas melangkah. Matanya melirik ke arah Emily. Mata wanita itu pun sedang tertuju padanya.
Sorot mata Emily memohon agar dia menolongnya. Namun Sean hanya berdiri memandangi, dan Emily nyaris mati karena kehabisan napas.