Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 4 - HASRAT LIAR

Heels merah keluar dari pintu Bugatti Divo yang dibuka ke atas. Wajahnya tampak pucat saat Theresa keluar dari mobil Sean.

Pintu mobil ditutup kembali dengan rapat. Pria tampan dalam mobil tersenyum manis sambil mengedipkan mata genitnya pada Thersea, dan mobil pun melaju meninggalkan lokasi.

Theresa masih bergeming di tempat. Matanya menatap kosong ke depan. Senyuman manis Sean, itu adalah ancaman besar baginya. Pria itu mengatakan, akan menghabisinya jika dia tidak membayar semua utangnya pada Sean.

"Brengsek!"

Theresa meraung kesal mengingat semua ancaman Sean.

Hal itu dilihat oleh orang-orang yang kebetulan melintas. Apa yang terjadi pada istrinya Tuan Dolores? Mereka melempar tatapan heran dan ngeri saat melewati Theresa, dan Theresa hanya melontarkan tatapan penuh amarah pada mereka.

"Aku di depan salon, cepat kirim mobil kesini."

Setelah emosinya stabil, Theresa menghubungi sekertarisnya untuk mengirimkan mobil. Shit! Ancaman Sean masih meracuni pikirannya. Kepalanya mendadak jadi pening.

"Nyonya Theresa!"

Seorang pria berlarian menuju wanita yang sedang duduk pada bangku di tepi jalan. Juan, sekertaris Theresa bergegas setelah keluar dari mobil. Juan terkejut dan heran melihat kondisi Theresa yang tampak kacau.

"Pergi. Aku mau mengemudi sendiri," ucap Theresa lantas bangkit dari bangku. Wajah kuyu dan tampak dalam dilaema itu segera ia bawa masuk mobil.

Setelah menutup pintu mobil, Juan hanya berdiri memandang heran dan cemas pada Theresa. Namun, wanita itu segera tancap gas meninggalkan lokasi.

"Aku mau lelang mobil ini, kau bisa membantuku?" Theresa menemui seorang pria yang markasnya di pesisir pantai.

Nick, buronan curanmor yang sedang dicari-cari oleh para polisi. Theresa berniat menjual mobilnya pada bajingan itu. Benar-benar tak masuk akal! Bisa-bisanya istri seorang taipan kaya raya memiliki kenalan seorang pencuri.

Nick menghembuskan asap rokoknya ke udara. Kemudian dia berjalan mengelilingi mobil mewah yang Theresa tawarkan padanya. "Crazy! Kau mau aku ditangkap polisi karena mobil ini? Aku tidak mau membelinya," ucapnya kemudian.

Membeli mobil milik Babel Sonic, itu sama saja mencari mati. Tentu saja Nick tidak sudi. Namun, dia dan Theresa sudah berteman sejak lama. Bahkan, wanita itu juga yang sudah membantunya bersembunyi dari kejaran para polisi.

Theresa menatap geram. "Jangan jadi kacang yang lupa pada kulitnya. Aku sedang kesusahan saat ini, aku butuh uang secepatnya," ungkap Theresa.

Nick tersenyum miring mendengarnya. "Bukankah suamimu Bos Babel Sonic? Butuh uang katamu? Aku tidak percaya ini," ucapnya lantas membuang muka sambil menyesap batang rokoknya lagi.

Theresa berdecak jengah. "Aku terlibat utang dengan Sean Caldwell, Bos Mafia itu. Aku bisa mati kalau tidak buru-buru membayarnya."

Mendengar nama yang disebutkan oleh Theresa, Nick terbatuk-batuk. "Apa katamu? Sean Caldwell?"

"Ya, dia mengancam mau membunuhku."

Nick mendekat pada Theresa. "Mengapa kau tidak mencuri uang suamimu yang kaya itu?"

Theresa menggeleng. "Utangku pada Sean terlalu banyak."

"Berapa?"

"Lima puluh milyar."

"Hah? Itu utangmu apa utang negara? Banyak sekali!"

Setelah berbincang tiada hasil, Theresa segera mengemudikan mobilnya meninggalkan Nick. Pria itu tidak mau membantunya. Bahkan Nick amat takut berurusan dengan Sean.

Sial!

Sekarang kemana lagi dia harus mencari uang untuk melunasi utangnya pada Sean? Theresa yang frustasi memukul kemudi mobilnya penuh emosi.

Hanya ada satu cara untuk mendapatkan uang sebanyak itu. Ya, dengan mencuri brangkas Nigel lalu menjual beberapa aset Babel Sonic. Theresa tersenyum licik kemudian.

Hari muali petang saat mobil yang dikemudikan oleh Theresa melintasi pantai.

Angin yang hangat dan matahari yang mulai condong ke barat. Sepertinya lumayan asyik jika dia meluangkan waktu di pantai, pikir Theresa. Lagi pula dia terlalu suntuk untuk melihat wajah keriput Nigel di mansion.

Matahari mulai terbenam. Sinar jingganya menyoroti sepasang manusia yang sedang bercumbu mesra di balik batu-batu besar di tepian laut. Agak jauh dari orang-oarang. Aaron dan Emily sedang memadu kasih begitu mesranya.

"Kau suka, Sayangku?"

"Hu'um, dorong lebih kuat lagi, Sayang. Aargh!"

Suara lenguhan kenikmatan itu sampai ke telinga Theresa yang baru saja menginjakkan sepasang tungkainya di tepi laut. Sialan, siapa yang sedang berbuat mesum di sini? Pikirnya kepo.

Punggung polos Aaron bergerak-gerak di atas tubuh polos Emily. di atas batu besar, mereka bercinta dengan begitu liar. Theresa yang sedang kepo dibuat terkejut melihatnya.

"Ya ampun ..." Dia membungkam mulutnya dengan mata yang terbelalak.

"Ah, Sayang ... Oh! Oh!"

Emily tak henti berdesah-desah saat miliknya dihujam dengan begitu gencar oleh suaminya. Tubuh rampingnya dihimpit erat oleh Aaron. Dia mengejang sesaat kala mereka mencapai puncaknya.

Theresa meremas payudaranya sendiri melihat adegan panas yang tersaji di depan mata. Miliknya jadi basah dan berkedut-kedut ingin disentuh juga. Sampai Aaron dan Emily berpakaian lalu meninggalkan laut, Theresa masih mengintai pasangan pengantin baru itu.

Di mobil, Aaron dan Emily berciuman dengan amat gila. Pintu mobil yang terbuka membuat Theresa sebal. Lagi-lagi miliknya membanjir tanpa sebab. Dia harus segera pulang dan mencari pibratornya. Sial!

"Ayo kita kembali ke hotel," bisik Aaron seraya mengusap bibir basah Emily yang sedang menatapnya.

Wanita itu hanya mengangguk dengan pipi yang bersemu merah. Aaron tersenyum gemas seraya mengusap-usap pucuk kepala istrinya. Mobil segera dilajukan meninggalkan laut.

"Aah, Aaron ... Oh!"

Malam hari di kamar tamu, Theresa sedang bermain solo dengan sebuah alat seks. Tubuhnya yang hanya mengenakan lingerie tipis terlentang pasrah di tengah ranjang.

Tangan kanan memegang alat seks yang dimasukkan ke area intimnya, lalu mengocoknya agak kasar. Wajahnya merah dipenuhi gairah. Tangan kiri memainkan payudaranya yang besar-besar dan sudah mengencang.

"Aaaaah! Aaaah!"

Theresa berdesah amat gila.

Nigel yang sedang berjalan menuju kamarnya mendengar suara laknat itu. Dihentikan langkahnya, Nigel mencoba memasang telinganya lebar-lebar ingin menangkap suara itu lebih jelas.

Theresa?

Apa yang wanita itu lakukan di kamar tamu?

Nigel mulai curiga dan murka. Istrinya melenguh begitu cetar. Apa Theresa memasukkan pria lain ke rumah ini? Tangannya mengepal kuat-kuat. Pria itu segera berjalan cepat menuju kamarnya.

Lemari putih yang dia tuju setibanya di kamar. Tangannya menarik pegangan laci. Sebuah pistol diambilnya dari dalam sana. Wajah Nigel merah padam sambil memeriksa pistolnya. Kemudian dia bergegas pergi.

"Uh! Oh! Aaaah!"

Di kamar tamu, Theresa masih asyik bermain solo dengan seks toys-nya. Dia membayangkan alat yang dipegangnya adalah keperkasaan Aaron. Dimasukkan alat itu lebih dalam sambil menggigit bibir bawahnya.

Jiwa dan pikirannya sudah dipenuhi gairah. Theresa membuka kedua pahanya lebar lantas mendorong kuat. "Aaarghh!" pekiknya keras.

Cairan putih menetes saat Theresa mencabut alat seksnya. Tubuhnya lemas, napasnya terengah-engah dengan wajah horny yang parah.

Di saat yang bersamaan, tiba-tiba Nigel muncul.

Theresa yang amat terkejut segera bangkit sambil merapikan gaun tidurnya. Nigel masuk sambil menodongkan pistol ke arahnya. Tentu saja Theresa ketakutan setengah mati karenanya.

"Di mana bajingan itu?! Di mana kau sembunyikan pria itu?!" Bariton Nigel menggema seisi kamar.

Theresa menjerit saat satu tembakkan dilepaskan mengenai vas bunga di atas nakas. Dan Nigel maju mendekat ke depan dengan mata yang menincar kepala Theresa.

"Di mana kau sembunyikan pria itu, Theresa?!" gertaknya lagi tanpa menurunkan emosi dan pistol di tangan. Beraninya wanita tidak tahu diri itu membawa pria lain ke rumah ini, dia akan menembak mereka berdua!

Theresa menggeleng sambil menutupi kedua telinganya. "Tidak ada pria lain di sini," lirihnya. Sial! Pistol itu benar-benar membuatnya ketakutan setengah mati.

"Bohong!"

Duar!

"Aaaaaaaa!!!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel