Chapter 3 - BOS MAFIA
Sepasang mata dengan bulu hitam yang tebal mulai bergerak-gerak halus. Secara perlahan ia mulai terbuka, menampilkan iris cokelat hazel yang menawan.
Theresa, wanita itu baru saja terjaga setelah tidur bak orang koma. Matanya memindai ke sekitar ruangan di mana ia masih terbaring di tengah ranjang. Ranjang itu amat berantakkan seperti terkena badai Tsunami.
Theresa ingin membawa tubuhnya yang ringkih untuk bangkit. Namun, ia tak bisa bergegas saat ini. Sekujur tuuhnya terasa sakit semua seperti tertimpa satu truk batu bara.
Di mana gigolo sialan itu?!
Theresa meradang dalam hati mengingat apa yang dirinya lalui tadi malam. Niat hati ingin menjelajah seks dengan BDSM yang nikmat, tapi yang dia dapatkan justru perlakuan kasar dari Luca.
Entah berapa usia pria muda itu. Tebakan Theresa, Luca baru berusia 25 tahun, tapi mengapa dia bercinta seperti seorang gembong Mafia. Benar-benar menyakitkan seperti di perkosa!
Dia harus menghubungi Madam Jojo. Ya tentu saja wanita itu harus bertanggung jawab atas apa yang dia alami semalam.
Theresa bangkit dengan perlahan. Dalam hati masih merutuki perbuatan Luca. Sial! Gigolo itu sampai membuatnya kesakitan saat buang air kecil. Ini kekrasan seksual dan tindak kriminal, bukan? Tentu. Dia bisa laporkan hal ini ke polisi.
Hei, tunggu dulu ... jika dia lapor polisi, bagaimana kalau Aaron mengetahuinya?
Tidak, tidak, pria incarannya itu tidak boleh sampai tahu jika dia suka memesan gigolo.
Huff ... sekarang dia harus apa? Rasanya tidak terima sekali jika Luca si gigolo amatiran itu tidak mendapatkan hukuman atas perbuatannya.
Theresa masih berpikir sambil berendam dalam bathtub berisi air hangat. Matanya dipejamkan dengan wajah yang mendongkak ke atas dan kepala yang bersandar di tepian bak air besar itu.
'Oh, Aaron ...'
Mengapa tiba-tiba wajah pria itu yang muncul dalam fantasinya?
Fantasi liar yang acap kali membawanya dalam deburan gairah yang memanas tanpa ada habisnya.
*
Pagi yang cerah di penghujung musim panas. Emily sudah berdandan cantik di kamarnya. Gaun musim panas selutut warna biru muda membalut tubuhnya yang seksi bak seorang super model.
"Kau terlalu cantik, Emily Dolores! Hei, kau sudah lancang akan kecantikanmu itu--"
Terdengar Emily yang bicara sendiri pada siluetnya. Bahkan dia tersenyum-senyum sendiri seolah amat kagum akan anugerah yang Tuhan berikan padanya.
Wajah yang tirus tanpa bedah plastik, amat sempurna bak boneka barbie. Tubuh yang ramping dan pinggang semutnya. Pakaian apa saja yang dikenakan, Emily selalu terlihat pantas dan cocok.
Aaron yang baru terjaga dari tidurnya bergegas bangkit setelah mendengar sayup-sayup suara istrinya. Tangan kekar berbulu meraih celana boxernya yang terpulai di bawah ranjang. Tubuh tinggi kekar beringsut dari ranjang menuju walk-in closed di mana Emily berada.
"Pagi, Sweetie ..."
Satu kecupan mendarat pada bahu terbuka Emily. Suara bass Aaron yang khas membelai telingannya. Dua tangan berbulu melingkar ke sekitar perutnya. Wanita muda itu tersenyum sipu melihat siluet mereka pada cermin.
"Hei, mengapa sudah bangun? Bukankah kau masih cuti?" tanya Emily pada Aaron. Kemudian dia memutar sampai berhadapan dengan suaminya.
Aaron menyambut dengan senyuman manis dan tatapan penuh gairah. "Aku ingin menghabiskan sisa cutiku denganmu. Kita akan mengunjungi laut hari ini," bisiknya dengan tatapan kagum akan kecantikan sang istri.
Emily selalu membautnya terbakar. Gairahnya tak henti mendidih saat bersentuhan dengan istrinya. Bahkan saat mereka masih berpacaran, Aaron selalu mencari cara untuk bisa bercinta dengan Emily.
Pria itu amat playboy saat sekolah menengah. Aaron pandai menjinakkan para gadis. Terlebih dia memiliki banyak kesempurnaan sebagai seorang pria. Sudah tampan, memiliki postur tubuh yang bagus dan kaya raya.
Gadis mana yang mau melewatkannya begitu saja?
Entah berapa banyak mantan pacar suaminya, Emily tidak mau menghitung dan tak mau tahu semua itu. Dia hanya ingin Aaron tetap menjadi miliknya saja. Seutuhnya.
"Laut?" Wajah Emily tampak berbinar.
Aaron mengangguk sambil tersenyum. "Ya, kita akan bercinta di laut!"
"Waw!" Emily memekik senang. Tangannya segera melingkarkan pada tengkuk leher Aaron lalu menariknya turun. Emily mencium bibir suaminya dengan amat rakus.
"Ini yang aku suka darimu, Sayang. Liar dan nakal," bisik Aaron usai ciuman panas itu berakhir. Ibu jarinya mengusap-usap bibir basah Emily disertai seringai tipis.
Emily hanya tersenyum sipu mendengarnya. Dia senang jika suaminya puas akan dirinya.
"Aaron, aku sangat mencintaimu. Kumohon jangan pernah mencampakanku," bisiknya kemudian. Kedua tangan merangkum wajah tampan suaminya dengan tatapan yang amat lembut.
Aaron hanya mengangguk kecil meanggapi, dan Emily bergegas memeluk pria itu seeratnya.
"Besenang-senanglah, Emily Sayangku." Nigel melepaskan pelukannya dari sang putri saat mengantar Emily dan Aaron menuju mobil yang menunggu di pelataran mansion.
Bulan madu yang singkat. Emily dan Aaron telah kembali setelah mendapat kabar tentang ksehatan Nigel yang memburuk pekan lalu.
Sebagai ayah, Nigel merasa bersalah karena sudah mengacaukan acara honeymoon mereka.
"Jaga kesehatanmu, Dad. Kami akan menginap di hotel selama dua hari," ucap Emily seraya menatap sang ayah dengan sendu.
Emily agak cemas meninggalkan ayahnya di rumah bersama ular betina itu. Namun, saat ini Aaron jauh lebih berhak akan dirinya daripada Nigel. Dia tidak mungkin menolak keinginan suaminya untuk melihat laut.
Nigel tersenyum simpul pada Emily lalu menoleh pada Aaron.
"Jangan cemaskan Daddy. Di mansion ini ada banyak pelayan, dan ada Theresa juga. Mereka akan menjaga Daddy dengan baik. Jangan pikirkan apapun, cepat pergi dan buatkan cucu untuk Daddy."
Emily dan Aaron tersenyum sipu mendengarnya. Nigel segera menggiring mereka masuk mobil. Dua orang itu melambaikan tangan pada Nigel saat mobil mulai melaju. Pria tua hanya tersenyum manis menanggapi.
"Di mana Theresa? Apa seemalam dia tidak pulang?!"
Selang dua jam setelah kepergian Emily dan Aaron, Nigel marah-marah di kamarnya.
Dua orang pelayan wanita berdiri di belakang punggung pria itu. Keduanya hanya menunduk setelah membawa berita yang membaut Nigel mengamuk.
"Cepat hubungi Jacob, suruh dia menyeret Theresa ke sini!" perintah Nigel kemudian.
Dua pelayan wanita mengangguk cepat. "Baik, Tuan." Mereka bergegas mundur dari punggung Nigel, dan berlalu meninggalkan ruangan itu.
Theresa yang sedang duduk-duduk santai di dalam pusat kecantikan dibuat terkejut saat tiga orang pria datang dan menyeretnya keluar dengan kasar.
Tentu saja wanita itu marah-marah dan meronta-ronta tidak terima, tapi orang-orang itu tetap membawanya menuju mobil Bugatti Divo yang menepi di depan salon.
"Bajingan! Apa yang kalian lakukan pada istri Presdir Babel Sonic, hah?! Apa kalian sudah bosan hidup?!" Theresa tak henti memaki saat mereka memaksanya masuk ke mobil sport di sana.
Di dalam mobil seorang pria dengan stelan jas hitam sudah menunggunya. Theresa cukup terkejut melihat pria itu.
"Sean?"
Pria dalam mobil menyeringai tipis. "Hai, Nyonya Dolores. Apa kabar?" sambutnya dengan tatapan yang dingin.
Theresa menelan ludah kasar menanggapi.
Pintu mobil segera ditutup rapat. Pria bernama Sean merangkul bahu Theresa dengan akrab. Wanita itu tampak merinding dibuatnya.
"Sudah lama kau tidak main poker di bar kasino milikku. Jangan bilang jika kau juga sudah melupakan semua utangmu padaku," desis Sean dengan dingin. Telunjuknya menjelajahi wajah licin Theresa. Tatapannya tajam disertai senyuman reh.
Theresa tampak ketakutan. "Tentu saja aku masih ingat utangku padamu. Aku tidak ke San Milates beberapa tahun ini, jadi aku tidak berkunjung ke bar casino milikmu," jawabnya dengan tergugup.
"Begitu rupanya." Sean tersenyum miring sambil menurunkan tangannya dari bahu Theresa. Kemudian dia meraih pistol yang tergeletak di sampingnya.
Theresa amat terkejut saat pria itu menodongnya dengan pistol tersbut.
"Kau pikir aku bodoh, hah?! Kau meninggalkan banyak utang di San Milates sebelum menikah dengan taipan itu. Aku enggan banyak bicara, cepat banyar semua utangmu padaku lalu kau kulepaskan." Sean sedang mengincar kepala Theresa dengan ujung pistolnya.
Menembak istri Bos Babel Sonic, esok pagi pasti wajahnya akan muncul di beberapa Breaking News dan bisa saja menjadi tranding berita pekan ini. Namun, jika dia mau membunuh Theresa pasti sejak lama sudah dia lakukan.
"Ja-jangan tembak! Aku akan menyiapkan uanganya, aku janji--" Theresa mau menangis ketakutan.
Bagaimana tidak takut?
Sean Caldwell bukan pria sembarangan, dan juga bukan seorang dept kolektot seperti dugaan kalian. Dia bos para Mafia di Milan yang sedang memperluas jaringan bisnis gelapnya di San Mitero. Menghilangkan nyawa orang sudah menjadi hobinya.
Lantas, ada hubungan apa Sean dengan Theresa?