# Saat Mereka Hampir Bertemu
“Dokter Citra. Sepertinya saya ada panggilan. Sebentar saya terima. Dokter duluan saja.”
Dokter Citra sempat terpana melihat Dokter Michele yang dengan cepat membalikkan badan. Sepertinya dokter tampan itu akan kembali ke ruangannya.
Wanita yang usianya hanya berselisih 2 atau 3 tahun dengan dokter berwajah bule itu lalu berjalan melanjutkan langkahnya menuju ke ruangan operasi.
“Kenapa mereka bisa berada di sini? Bersama pula! Ada hubungan apa Laluna dengan Keenan?”
Dokter Michele mengusap dahinya yang tiba-tiba berkeringat. Tak menyangka sama sekali kalau akan bertemu sepasang manusia yang sangat dikenalnya itu.
“Laluna pergi meninggalkan rumah sudah hampir setahun, Michael. Dia lebih memilih jalannya sendiri dan tak mau menurut pada peraturan kami. Maafkan Tante yang tak jadi menjodohkan kami dengannya.”
Pembicaraan hangat itu masih cukup jelas di telinga Michael beberapa bulan lalu. Keluarga Laluna memberitahukan bahwa perjodohan dirinya dengan Laluna batal dikarenakan gadis tersebut kabur dari rumah. Bahkan keluarga besar Laluna tak sama sekali peduli akan kepergian gadis tersebut.
Mungkin semua dikarenakan karena papa dari Laluna sudah berulang pada sang Esa. Dan ibu tirinya sama sekali tak peduli dan lebih menguasai harta dari peninggalan papa Laluna yang seharusnya menjadi milik gadis tersebut.
“Luna. Apa ini alasan kamu kabur dari rumah? Kamu lebih memilih pria itu?” Michele menarik napas berat.
“Kenapa dari dulu selalu bersaing denganmu, Keenan. Nggak masalah materi dan finansial. Atau masalah Clarissa yang lebih memilih mengakhiri hidupnya karena gak mau membuat persahabatan kita hancur. Dan kini kamu juga mengambil Lalunaku. Gadis kecil yang sudah dijodohkan denganku. Aku pastikan akan membuat perhitungan denganmu, Keenan!”
Entah setan apa yang merasuki pikiran Dokter Michele. Pria itu mengepalkan kedua telapak tangannya dengan kuat. Bahkan rahangnya terlihat mengeras saat merasakan emosinya memuncak.
Tak lama kemudian semua sudah berubah dalam waktu beberapa jam. Setelah mengoperasi nenek dari Laluna, Dokter Michele tak terlihat batang hidungnya.
“Terima kasih banyak, Dokter. Anda sudah menyelamatkan nenek saya.” Dokter Citra hanya tersenyum lantas mengelus pundak Laluna.
“Tuhan yang menyelamatkan mereka kami, Laluna. Bersyukurlah pada-Nya.” Laluna mengangguk.
“Sebenarnya ada satu dokter lagi yang ikut mengoperasi nenek kami tapi beliau ada urusan penting sehingga tidak bisa mengucapkan selamat atas keberhasilan operasi nenek kamu, Luna.”
“Tolong sampaikan pada dokter itu terima kasih saya, Dok. Kalian penyelamat hidup nenek saya.” Sekali lagi Dokter Citra tersenyum. Pandangan matanya beralih ke arah samping Laluna yang sudah berdiri sosok jenderal tampan.
Dokter Citra juga melayangkan senyum manisnya pada dokter tersebut. Lantas dia minta undur diri karena masih ada pasien yang harus dia operasi.
“Sudah tenang sekarang?” Laluna mengangguk sambil mendongak. Menatap pria tampannya.
“Jangan khawatir lagi, ya.” Laluna pun mengangguk patuh.
Jenderal itu mengusap lembut kepala Laluna lantas mengecup dengan sepenuh perasaan ubun-ubun sang gadis.
“Aku kembali ke markas dulu. Ada yang harus dikerjakan.” Laluna sekali lagi mengangguk lantas mengantar keluar kekasihnya.
Setelah melambaikan tangan gadis itu lalu berniat kembali ke dalam ruangan neneknya.
“Luna!”
Panggilan itu membuat langkah Laluna terhenti. Gadis itu lantas menoleh ke asal suara.
Alangkah terkejutnya saat dia melihat seseorang yang dikenalnya.
“Michele. Kamu kenapa ada di sini?” tanyanya sedikit gugup. Tak menyangka akan bertemu dengan pria itu.
“Iya. Aku baru saja pulang dari Kanada dan ke rumah sakit ini. Ada urusan yang harus aku selesaikan. Kamu sendiri sedang apa di rumah sakit? Apa ada yang sakit?”
Terpana sejenak, Laluna kemudian dengan cepat menggeleng. Sepertinya dia harus menghindari sosok pria yang mempunyai gelar dokter itu.
“Maaf, Michael. Aku harus segera pergi. Urusanku sudah selesai,” ucap Laluna mengambil langkah seribu. Namun sekali lagi langkahnya terhenti saat melihat Michael mengejarnya.
“Luna. Aku tahu kamu pergi dari rumah. Apa karena masalah perjodohan itu? Kalau memang iya kenapa kamu nggak menolak kalau tidak mau dijodohkan. Nggak harus pergi dari rumahkan? Sudah dengar Om Ferdinan meninggal?”
Keterkejutan Laluna tampak jelas dan nyata saat nama Ferdinand disebutkan oleh Michael. Sekilas teringat akan kematian papanya, Ferdinand. Tepat di hari di mana dia kabur dari rumah sosok papanya yang tak pernah membelanya itu terkena serangan jantung.
Ferdinand lebih memilih istri mudanya daripada dirinya. Bahkan ada anak yang jauh selisih usianya dengan dia. Mungkin saja sekarang ini seluruh harta kekayaan Ferdinan sudah diwariskan pada putera dari istri keduanya tersebut.
“Nggak usah dibahas, Michele. Mungkin memang semua sudah begini jalannya. Tuhan sudah mengaturnya.” Michele sedikit geregetan mendengar ucapan dari Laluna.
“Pulanglah. Sepertinya perusahaan yang ditinggalkan Om Ferdianan sudah seharusnya menjadi tanggung jawabmu.”
“Ada istri mudanya bukan? Aku lihat setelah papa meninggal dia sibuk mengubah semua aturan perusahaan. Lagi pula aku tak sama sekali dikasih wewenang untuk mengurus perusahaan tersebut. Sepertinya papa lebih percaya dengan istri mudanya dan memberikan seluruh harta kekayaannya tersebut pada wanita itu.”
Huft!
Ada hembusan napas kasar dan kejang dari Melichele.
“Aku minta maaf. Karena desakan perjodohan itu membuatmu harus pergi meninggalkan rumah. Sekarang kamu di mana? Apa yang bisa aku bantu. Katakan saja. Apalagi kalau masalah itu mengenai finansial.”
“Tidak, Michele. Aku tidak memerlukan itu. Aku bisa sendiri kok. Kamu jangan khawatir. Sepertinya pembicaraan kita sampai di sini saja. Semoga untuk ke depannya kita gak saling berjumpa lagi.”
Sebenarnya Michele sangat terkejut mendengar kalimat Laluna. Ingin mendebat dan mengekomplain kalimat itu tapi Laluna sudah pergi meninggalkannya. Padahal dia ingin sekali bertanya tentang hubungan gadis itu dengan Keenan dan juga nenek yang habis dia operasi itu.
Ingin menanyakan sesungguhnya siapa nenek itu. Karena Laluna sudah lama tidak mempunyai nenek. Neneknya sudah sangat lama meninggal. Jauh sebelum dia lahir.
Di ruang intensif, Laluna sudah memasuki tempat nenek tersebut. Napasnya tersengal dengan dada menggemuruh. Baginya bertemu dengan Michael adalah sebuah kiamat buatnya. Karena Laluna yakin Michele akan mengatakan di mana dirinya. Laluna cukup paham kalau keluarga Michael dengan ibu tirinya cukup akrab. Bahkan perjodohan itu juga ibu tirinya yang melatarbelakangi.
“Luna.” Panggilan lirih itu membuat Laluna terhenyak.
Matanya beralih ke atas pembaringan. Di sana terlihat sosok nenek tua sudah menatapnya.
“Kesinilah, Nak.” Laluna kemudian berjalan menghampiri sang nenek.
“Sampaikan pada kekasihmu. Nenek sangat berterima kasih karena dia sudah membiayai semua peratawan operasi nenek.”
Laluna lantas menatap sang nenek dan menyebutkan senyum tipisnya.
“Nenek jangan risaukan itu. Dia orang baik. Pasti akan menolong semua orang yang membutuhkannya.”
Ucapan itu terdengar begitu jelas di telinga seseorang yang sudah berdiri di dalam pintu jangan intensif nenek itu.
“Kamu belum tahu siapa dia, Luna. Kalau kamu tahu siapa laki-laki itu yang sesungguhnya. Aku yakin kamu akan sangat membencinya.”