# Kedatangan syakilla
“Laluna!”
“Eh, i-iya, Killa.”
Syakilla menatap heran dan bingung melihat perubahan sosok Laluna. Sahabatnya beberapa tahun silam.
“Apa perpisahan kita yang bertahun-tahun ini membuatmu berubah menjadi orang lain, Lun?” Laluna menelan salivanya.
Gadis itu menatap sosok Syakilla yang masih menatapnya dengan tajam. Syakilla adalah typical gadis yang spontan. Apapun yang menurutnya janggal akan segera diutarakan bahkan di komplainnya.
“Lun. Apa ada sesuatu yang terjadi saat kita berpisah? Kamu masih ingat betulkan hari ini aku akan kembali.”
Seakan tertampar dengan kalimat terakhir Syakilla yang mengingatkan tentang hari ini.
“Hari ini tepat 3 tahun kematian Clarissa. Dan aku sudah berjanji akan mengunjunginya di pemakaman.”
“Ya Tuhan!”
Seolah teringat sesuatu Laluna menutup mulutnya dengan telapak tangannya.
“Clarissa! Apa ini orang yang sama yang disebutkan Jenderal Keenan?” Hati Laluna bertanya hebat dan bertubi-tubi.
“Kamu masih ingatkan dengan kisah Clarissa. Sepupuku yang mati tragis bundir karena dia laki-laki dalam hidupnya.”
Dengan masih jantung yang menggelepar Laluna menganggukkan kepalanya. Memang beberapa tahun silam Syakilla pernah menceritakan kisah tragis yang menimpa sepupunya tersebut. Dilatarbelakangi dua laki-laki yang saling bersahabat akhirnya hancur lebur memperebutkan sosok Clarissa. Keputusan terakhir Clarissa adalah mengakhiri hidupnya agar semua masalah selesai.
“Kamu mau menemaniku, bukan? Aku butuh teman untuk ke pemakaman Clarissa.” Laluna pun mengangguk pelan. Hal itu membuat Syakilla tersenyum senang.
“Terima kasih, Laluna. Kamu memang dari dahulu kala sahabat terbaikku. Bagaimana kabar Om Ferdinan dan Tante Miranda?”
Laluna menghentikan langkah kakinya saat kalimat bernada pertanyaan itu terdengar di telinganya.
“Papa sudah meninggal, Killa.”
“Apa!”
Seperti tersambar petir di siang bolong. Syakilla menatap tajam ke arah Laluna.
“Kok bisa? Apa Om Ferdinan sakit? Kenapa bisa aku tak mendengar berita itu?”
“Itu sudah lama. Sekitar beberapa bulan lalu semenjak aku kekuatan dari rumah.” Lagi-lagi Syakilla terkejut.
“Kamu diusir?” Gelengan kepala itu membuat Syakilla semakin penasaran.
Ternayat banyak hal yang sudah terjadi saat kepergiannya beberapa waktu silam.
“Ceritakan apa yang terjadi?”
Akhirnya sambil mereka berjalan menuju ke pemakaman Clarissa, Laluna menceritakan semua yang sudah terjadi. Keterkejutan demi keterkejutan membuat dada dan jantung Syakilla berlomba agar tidak terkena serangan jantung mendadak.
Tak menyangka ternyata banyak hal yang sudah terjadi dengan sahabatnya itu.
“Maafkan aku, Laluna. Aku tidak ada di sampingmu saat kamu membutuhkanmu. Anya bagaimana dengan pria yang dijodohkan dengan kamu itu?”
Baru saja aku bertemu dengannya. Dia sama denganmu. Baru pulang dari Kanada. Dan masih menginginkan perjodohan itu.”
Syakila menoleh sekilas ke arah Laluna yang dengan serius menjawab apa yang dia tanyakan.
“Lalu__
“Tetap pada pendirian semula, Killa.”
Syakila kembali menoleh namun beberapa detik kemudian dia sudah fokus kembali pada kemudi setirnya.
“Apa kamu sudah mempunyai kekasih sampai kamu menolak perjodohan itu. Aku rasa pria yang dijodohkan denganmu itu dari keluarga yang tajir melintir.”
Laluna terdiam. Dia tidak berani menjawab pertanyaan Syakila. Hingga akhirnya kepalanya menggeleng dengan lemah. Pembicaraan itu terhenti saat mereka sudah sampai di parkiran pemakaman.
“Ayo,” ajak Syakilla yang diikuti oleh Laluna.
“Sepertinya sudah ada yang menjenguk Clarissa. Aku yakin salah satu dari dua laki-laki itu sudah ke sini. Rupanya mereka masih ingat akan hari ini.”
Laluna hanya terdiam mendengar kalimat yang diucapkan oleh Syakilla. Ada rasa penasaran di dalam hatinya. Siapa sesungguhnya dua laki-laki yang membuat Clarissa mengakhiri hidupnya . Laki-laki yang memperebutkan hati Clarissa. Wanita yang memang terlihat sangat cantik di mata setiap orang.
“Seharusnya Clarissa beruntung menjadi gadis yang sangat cantik dan primadona setiap laki-laki. Sangat disayangkan kenapa dia harus mengambil keputusan sependek itu.”
Yang terdengar hanyalah dengusan napas Syakilla. Wanita yang berbeda beberapa tahun dengan Laluna itu menghela napas lalu menghembuskannya perlahan.
“Semua sudah terjadi, Lun. Aku hanya berharap dua lali-laku itu bisa menutup masa lalu itu dan membuka lembaran baru untuk masa depan mereka.”
“Apa kamu mengenal dua orang laki-laki itu, Kill?” Jawaban Syakilla hanya gelengan kepala dan hal itu membuat Laluna kecewa.
Ada beberapa menit mereka berziarah di pemakaman Clarissa. Karena merasakan suasana sudah panas akhirnya kedua gadis cantik itu meninggalkan pemakaman tersebut.
Di rumah sakit di mana nenek Laluna dirawat tampak sosok sang jenderal sudah berada di ruang intensif sang nenek.
“Jadi Laluna belum ke sini, Nek?” tanyanya pada wanita tua tersebut.
Sang nenek pun hanya menggeleng pelan. “Laluna bilang tadi hanya ingin keluar mencari makan sore. Tapi sudah hampir satu jam dia belum kembali. Apakah jauh tempat mencari makannya?”
Mendapat pertanyaan itu jenderal Keena terdiam. Termangu bahkan terlalu. Karena memang satu hari ini Laluna sangat susah dihubungi.
“Tadi saya sudah mencoba menghubungi Khna, Nek. Tapi tidak bisa. Bahkan sepertinya ponsel genggamnya tidak aktif.”
“Nenek jadi khawatir. Tidak biasanya Luna ingkar janji. Dia bilang hanya sepuluh menit akan kembali.”
Mendengar itu Jenderal Keenan jadi ikutan khawatir. Seharian ini dirinya juga sangat sibuk di kantor pusat bersama dengan komisaris. Bahkan dia nanti amalan sudah tak bisa menemui kekasihnya tersebut karena akan memenuhi undangan sang pimpinan untuk makan malam.
“Kalau begitu saya akan mencoba mencari Luna, Mek. Akan terus menghubunginya. Semoga tidak terjadi sesuatu dengan gadis itu. Karena tak biasa juga dia menghilang seperti ini.”
Sang nenek hanya mengangguk pelan. Dia tahu laki-laki yang menjadi kekasih Laluna itu orang baik.
“Nenek jangan banyak pikiran ya, biar cepat sembuh dan bisa pulang ke rumah. Saya janji bawa Lima ke sini dalam keadaan baik-baik saja.”
Sekali lagi nenek itu mengangguk mendengar apa yang diucapkan oleh Jenderal Keenan. Lantas pria tampan itu segera meninggalkan ruangan tersebut. Dalam perjalanannya turun ke laut dari rumah sakit dia mencoba menghubungi ponsel genggam Laluna. Hasilnya tetap sama saja. Gadis kecilnya itu tak mengaktifkan ponsel genggamnya.
“Kemana kamu, Laluna? Kenapa selalu membuat ulah yang bisa bikin urang jantungan karena khawatir dengan keadaanmu!” Dengan geram Jemderal Keenan berkata sendiri sambil menuju ke pintu lobi dan akhirnya menaiki mobil pribadinya. Selanjutnya pria itu meninggalkan rumah sakit.
Tepat di pintu gerbang keluar rumah sakit tanpa sengaja dia berpapasan dengan mobil Syakilla. Namun mereka gak saling lihat. Padahal di dalam mobil tersebut ada Laluna. Gadis kecilnya yang dia cari. Jenderal Keenan hanya mengirim pesan. Dan ini adalah pesan ke sepuluh kali yang dia kirimkan pada Laluna.
“Lun. Aku tidak turun ya. Belum bisa menemui nenek kamu. Malam ini aku ada makan malam penting dengan calon jodohku.”
Seketika wajah Laluna berubah cerah. “Hei! Kok kamu nggak ngomong sich kalau sudah punya calon. Pulang dari Kanada ini selain berziarah mau nikah juga.”
Ada gelak tawa dari bibir Syakilla. Kemudian dia menurunkan gadis itu tepat di lantai lobi. Tanpaenkawab pertanyaan dari Laluna, Syakilla pun segera melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Tepat di lampu merah mobilnya berjajar dengan mobil sang jenderal.