Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

# Hampir saja

Laluna berusaha untuk berjalan dengan kaki pincang nya. Dia merasakan kakinya bengkak sebelah. Jalannya pun tak bisa normal lagi.

“Baa jalan nggak?” tanya jenderal itu sambil menatap Laluna yang menahan rasa sakit. Gadis itu akhirnya menggelengkan kepala dengan jujurnya.

Sang jenderal tanpa menunggu lama akhirnya mengangkat dan menggendong sang gadis yang tercekik karena kaget.

“Jangan berisik, Sayang. Kita harus secepatnya pergi dari tempat ini. Mumpung mereka baru persiapan salat subuh.”

Laluna mengangguk diam membiarkan sang kekasih membawanya setengah berlari. Beruntung badannya kecil dan berat badannya tak seberapa. Sehingga jenderal itu bisa dengan mudahnya menggendongnya.

Melewati beberapa pos dan titik penjagaan, sang jenderal harus berhenti dan berjalan merunduk agar tak terlihat oleh prajurit yang saat itu sedang berjaga. Kebetulan pagi itu mereka semua sedang mempersiapkan salat subuh.

“Jenderal!”

Bom!

Alangkah terkejutnya sang jenderal ketika ada yang memanggilnya. Tubuhnya yang terlihat hanya separuh itu berlindung pada pohon yang menggelap sebagian badannya. Dengan refleks pria tampan itu menurunkan Laluna.

“Kamu jalan pelan-pelan keluar dari sini, Sayang. Aku akan menghampiri mereka.” Laluna mengangguk lantas membiarkan sang kekasih meninggalkan dirinya untuk mendatangi anak buah yang sedang berjaga.

“Jenderal mau kemana? Sebentar lagi kita akan melaksanakan salat subuh berjamaah.” Sang jenderal mendekat lebih dekat lagi.

“Kalian salat subuh saja, ya. Aku ada urusan di luar yang harus segera diselesaikan. Ada nenek dari saudara masuk rumah sakit. Jadi harus ke sana untuk menjadi walinya.”

Prajurit itu mengangguk paham lantas membiarkan pria itu bersiap meninggalkan tempat tersebut. Namun tiba-tiba mata prajurit itu bergerak liar.

“Jenderal! Sepertinya ada bayangan di sana. Bayangan urang yang sedang berlari!” Jenderal muda itu dengan cepat menoleh.

Jantungnya berdetak dengan keras saat mendengar anak buahnya itu mengatakan hal tersebut. Takut kalau-kalau kekasihnya ketahuan.

“Mana, Daniel? Itu hanya perasaanku saja. Apa kamu masih mengantuk? Itu bayangan pohon!” Daniel, prajurit yang terlihat melihat bayangan orang berlari itu terpana dan terdiam.

Kemudian dia meminta maaf pada atasannya. Setelah memastikan semua baik-baik saja pria tampan itu segera berjalan dengan tergesa.

Sementara Laluna masih dengan kaki pincangnya berusaha melewati pintu gerbang setinggi langit itu. Di sana terlihat ada satu prajurit yang bertugas. Gadis itu sedikit kebingungan bagaimana caranya melewati tempat tersebut. Namun akhirnya dia menarik napas lega saat melihat pria yang sangat dia kagumi itu sudah berada di sana.

“Tolong kabulkan sebentar. Aku tunggu kamu di sini.”

“Laksanakan, Jenderal!”

Laluna segera berjalan setengah berlari saat melihat anak buah kekasihnya tersebut sudah beralih dari pos penjagaan. Jenderal itu melihat kekasihnya berjalan dengan cepat menggunakan kaki satu.

Ada rasa bersalah yang termuat sangat dari dalam hatinya melihat kondisi Laluna.

PIM! PIM!

“Terima kasih banyak. Selamat menjalankan tugas dan salat subuh.”

“Siap, laksanakan, Jenderal!” Dengan tegas prajurit itu memberi hormat pada atasannya.

Sang jenderal kemudian mengemudikan mobil yang dibawa oleh anak buahnya tersebut. Sedikit menarik gas agar cepat keluar dari markas besarnya.

Pria tersebut menoleh ke kanan dan ke kiri setelah sampai di luar markas. Ada perasaan khawatir saat tak menemukan gadis yang dia cari.

“Kemana Laluna?” tanyanya pada dirinya sendiri. Memutar mobilnya untuk melihat ke seluruh jalan raya yang masih dekat dengan sekitar markas tersebut.

Ingat pinselngemggamnya dengan cepat jenderal itu segera menghubungi ponsel genggam Laluna. Sayangnya ponsel genggam Laluna tidak aktif.

“Duh! Bikin orang khawatir saja anak ini. Ke mana dia? Padahal kakinya bengkak dan pincang seperti itu,” gumamnya dengan setengah kesal lalu kembali mengemudikan mobilnya. Berkeliling sekitar komplek markas.

Sementara Laluna terduduk bersimpuh karena merasakan sakit dan tidak kuat lagi berjalan. Dia meringis menahan rasa sakit. Namun demikian gadis itu merasa sangat lega sudah bisa keluar dari kandang macan itu.

“Gila! Apa yang sudah aku lalaikan ini? Bisa-bisanya aku masuk ke dalam perangkap markas harimau itu. Bodohnya kamu ini Luna,” kakinya pada diri sendiri di dalam hati.

Gadis muda itu mengedarkan pandangan matanya. Tak terlihat sosok lain di sekitar jalan raya tersebut. Terasa sangat hening dan sepi. Tiba-tiba Laluna merasakan bulu kuduknya merinding.

“Kenapa Jemderal lama banget. Aku merasa tempat ini sangat sepi. Jangan-jangan nanti ada penjahat lewat.” Dalam hati Laluna kembali berkata-kata sendiri.

Kepala gadis itu menoleh ke kanan dan keliru. Rasa takut saat inj sedang melandanya. Tak selang beberapa lama dia berusaha berdiri dan akan meninggalkan tempat tersebut. Rasa sakit di kakinya semakin menjadi. Hingga akhirnya setelah dengan susah payah gadis tersebut bisa berdiri meskipun dengan kaki gemetar.

“Sayang!”

“Arghh!

“Sayang. Ini aku. Jangan takut.” Laluna segera menoleh ke arah sosok yang saat ini sedang memegang pundaknya.

“Jenderal! Anda mengagetkan saja!” ucapnya dengan nada kesal dan wajah cemberut.

Mendapat serangan seperti itu sang jenderal hanya tersenyum lantas mengangkat tubuh snag gadis ke dalam mobil. Perasan lega menyelimuti hati Laluna karena saat ini dia sudah berada di dalam tempat yang aman bersama kekasihnya.

“Kenapa? Tadi takut?” Laluna mengangguk.

Gadis itu menyandarkan kepalanya di pundak kekar sang jenderal yang sedang mengemudikan mobilnya.

Tangan kekarnya mengusap dan mengelus kepala dan juga ubun-ubun kekasihnya.

“Tidurlah sebentar. Rumah sakit masih lumayan jauh.” Laluna hanya mengangguk pelan.

Dia selalu merasa sangat terlindungi kalau sudah berhubungan bersama dengan pria tersebut. Maka dari itu gadis itu lebih memilih jalannya sendiri daripada dia harus menuruti kemauan kedua orang tuanya.

Tak selang satu jam mereka sudah sampai di rumah sakit.

“Sus! Tolong kekasih saya. Kakinya bengkak dan tidak bisa berjalan.”

Beberapa suster itu lalu mendorong kursi tida untuk Laluna dan membawa gadis tersebut ke ruang pemeriksaan. Laluna seperti teringat sesuatu.

“Jenderal. Nenek juga dirawat di sini.”

“O, ya! Kebetulan sekali. Nanti kita sekalian jenguk. Yang terpenting kamu harus diobati dulu biar tidak infeksi.” Lagi-lagi Laluna mengangguk.

Pemeriksaan yang membutuhkan waktu lumayan lama itu membuat sang jenderal harus duduk di ruang peninggian dengan rasa kantuk yang menyerangnya.

Semalaman sudah dibuat geger dengan ulah gadis kecilnya itu dan sekarang dia harus menemani sang gadis di rumah sakit. Setelah menyelesaikan urusannya dengan kantornya jenderal tersebut memejamkan mata untuk mengobati rasa kantuknya.

“Clarissa!” Seketika matanya terbelalak dengan jantung yang berdebar keras.

Sekilas bayangan wanita bernama Clarissa itu muncul.

“Cuma mimpi rupanya.” Dalam hati dia berkata sekaligus menarik napas panjang. Merasakan dadanya tersengal sesak.

“Tuan. Anda sudah bangun? Kekasih Anda sudah menunggu di ruangan sana. Tepatnya di ruangan tunggu neneknya akan dioperasi. Silakan Anda mengisi formulir persetujuan.”

Jenderal tersebut sedikit kaget setelah mendapat teguran dan sapaan dari perawat tersebut. Lantas dia berjalan ke arah gang ditujukan oleh suster tersebut. Tak menyadari bahwa ada sepasang mata yang semenjak tadi sudah mengawasinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel