HMT 4 - PIKIRAN MESUM
Malam yang cerah. Bintang-bintang bertaburan di langit yang hitam. Kelap-kelip meredup sinar bintang melukiskan perasaan Alex Spencer malam ini.
Stelan jas hitam membalut tubuh yang atletis. Jahitan rapi dari hasil karya perancang busana ternama di Salvador Barat.
Tracy memesan khusus jas mahal itu untuk suami tercinta. Mereka teramat jarang pergi dinner atau sekedar duduk dan minum bersama di sebuah kelab malam.
Ini malam yang bermakna bagi Tracy. Dia ingin melihat suaminya, Alex Spencer yang rupawan dalam busana berkelas.
Sambil menutup kancing lengan jasnya, Alex berdiri di depan standing miror. Penampilan yang wah! Bibirnya tersenyum miring mengamati siluetnya pada cermin.
"Kau kelihatan sangat tampan malam ini, Sayang."
Jari-jemari lentik dengan nail kuku warna merah mengambil alih pekerjaan Alex mengikat simpul dasinya.
Sepasang manik Tracy terangkat ke wajah Alex. Dia tersenyum manis menanggapi tatapan pria itu.
"Kurasa, jas ini terlalu sempit di tubuhku. Aku lebih suka penampilan yang casual saja," gumam Alex. Matanya tak luput dari siluet yang muncul di depannya.
Benar, jasnya memang bagus dan mahal. Namun, dia tetap tak nyaman mengenakannya. Why? Karena stelan jas brandeed ini dibeli dari uang Tracy.
Wanita dalam balutan gaun malam warna merah menghentikan aktifitasnya sesaat, Tracy menatap dalam ke mata Alex.
"Apa kau tak nyaman memakai stelan jasnya?"
Alex segera memalingkan wajah dari tatapan Tracy. Dia berusaha keras untuk tidak kontak mata dengan sang istri. Entah apa sebabnya.
"Ya, kurasa aku lebih suka pakai stelan jasku saat wisuda," ucapnya dengan asal.
Tracy menahan napasnya barang sejenak, lantas dia mundur satu langkah dari hadapan Alex. Wajah bosan Alex cukup memberinya jawaban. Bukan, bukan jawaban Alex yang sebelumnya.
"Alex, aku tak mau ribut denganmu. Ini malam yang indah bagiku. Aku ingin mengajakmu dinner. Kuharap kau mengerti aku. Paling tidak, untuk malam ini saja."
Dengan lirih, Tracy bicara seperti itu pada Alex. Dia berharap sekali malam ini Alex mau pergi dinner bersamanya.
Alex dan wajah bosan itu hanya menarik napas panjang. Manik birunya melirik satu kali ke arah Tracy sebelum akhirnya menolehkan kepala, pergi.
Tracy menghela napas panjang seraya memejamkan mata sesaat. Alex, pria itu membuatnya kesal. Namun, ini benar-benar bukan saatnya untuk bertengkar mulut.
Mobil Bugatti silver menunggu di pelataran. Alex sedikit tercengang melihat sportcar itu. Ini bukan mobil Tracy! Dia menoleh langsung pada wanita di samping.
Tracy tersenyum tipis. "Mobil ini aku dapatkan dari hasil proyek kontruksi perusahaan. Proyek yang aku kerjakan gol. Mereka memberiku mobil ini."
Tenggorokan Alex serasa tercekat. Mobil semahal itu Tracy dapatkan dari bonus perusahaan?
Sial!
Untuk kesekian kali dirinya kalah dari Tracy. Alex mengepalkan buku-buku jemarinya sambil memejamkan mata menahan emosi.
"Kau suka mobilnya? Mulai sekarang mobil ini akan menjadi milikmu." Tracy bicara pada pria di samping yang sedang mengemudikan mobilnya.
Dia tersenyum manis saat Alex menoleh. Pria itu tak mengatakan apa-apa. Tracy tahu, Alex tidak begitu senang.
Perjalanan menuju restoran memakan waktu sekitar dua puluh menit.
Bugatti silver melaju dengan santai. Alex menyukai sportcar itu. Begitu ringan dan enak saat dikemudikan. Pantas saja. Produck Bugatti tak pernah gagal.
Tracy tersenyum puas melihat Alex. Syukurlah jika Alex menyukai mobilnya. Dia sedikit lega karena sudah menyenangkan hati suaminya. Namun, ibunya pasti tidak akan suka jika mengetahui hal ini.
"Tracy!"
"Hei!"
Seorang wanita seumuran Tracy melambaikan tangan. Alex melihat istrinya yang tampak tersenyum lebar menanggapi.
Sudah dirinya duga. Ini bukan dinner sederhana. Tracy mengajaknya makan malam bersama rekan kantornya. Alex jadi kesal. Mengapa Tracy tidak jujur sejak awal?
"Hai, Alex. Wah, kau kelihatan tampan sekali malam ini!"
Haley, teman kantor Tracy tersenyum menggoda Alex. Namun, hanya tatapan dingin yang dia dapatkan dari pria itu. Haley segera mengatupkan bibirnya lalu duduk kembali.
"Maaf, jika aku datang telat." Tracy tersenyum pada semua orang di meja. Kemudian dia mengajak Alex untuk duduk bergabung.
Ada delapan orang di meja VIP itu. Semuanya teman kantor Tracy. Hidangan lezat dan minuman mantap tak mampu menyingkirkan rasa canggung Alex.
Dia sangat tak nyaman berada di antara orang-orang itu. Entah apa yang sedang mereka bahas, Alex tak mengerti.
"Alex, kau tahu? Kau sangat beruntung memiliki istri genius seperti Tracy! Dia memenangkan proyek besar perusahaan! Kami saja sangat tercengang!"
Pria bernama Damian, teman kantor Tracy yang bicara. Dari caranya memuji Tracy, Alex tidak suka. Damian masih muda dan tampan. Bisa saja pria itu menyukai Tracy.
"Kau ini mulut besar saja! Ini proyek pertamaku yang gol. Sedang kau, entah berapa banyak proyek yang kau menangkan." Tracy tertawa kecil usai bicara seperti itu pada Damian.
"Kalian berdua memang partner yang hebat!"
Yang lain turut menimpali. Kemudian semuanya tertawa kecil. Hanya Alex yang tampak tidak senang. Pria itu memalingkan wajah saat Tracy tersenyum padanya.
"Kau suka dinnernya?" Sambil duduk di sofa dan melepas heels-nya, Tracy bertanya ada Alex.
"Aku lelah mau tidur." Alex melempar dasinya ke sofa dengan acuh. Tanpa mau menjawab Tracy, dia segera bejalan menuju ranjang.
Dari sofa, Tracy memandangi dengan wajah heran.
Alex tak menyukai dinnernya, itu jawaban yang ditunjukkan wajah Alex. Diusap rambut sebahu itu ke belakang. Tracy meraung pilu dalam hati.
Hari berikutnya.
Tessa baru saja kembali dari pusat perbelanjaan. Ada banyak kantong belanjaan yang dibawanya saat keluar dari mobil taksi yang mengantar sampai depan rumah.
Setelah membayar tagihan taksi, Tessa berjalan gontai sambil menenteng barang belanjaan menuju rumah.
Hari mulai gelap saat itu. Titik-titik gerimis pun mulai turun bersama tiupan angin kencang.
Tessa tidak mau kebasahan karena hujan, dia segera mempercepat langkahnya.
Akan terapi, kantung belanjaan yang banyak membuatnya kerepotan. Tessa nyaris saja jatuh saat kakinya tersandung salah satu kantung belanjaan.
"Kau tak apa-apa?"
Manik kebiruan Tessa terangkat ke wajah pria yang menahan tubuhnya.
Alex?
Matanya enggan berkedip menikmati ketampanan pria itu.
"Nona Tessa?"
Alex mengernyitkan dahi heran melihat wanita di depannya yang bengong saja.
Tessa pun tersadar dari lamunannya. "Ah, iya! Aku baik-baik saja. Terima kasih," ucapnya disertai senyuman yang garing.
Alex tersenyum tipis. "Sini, biar aku membantumu."
"Terima kasih."
Tessa tersenyum senang. Alex membawakan sebagian besar kantung belanjaannya.
Mereka berjalan bersisian menuju rumah Tessa, dan hujan pun mulai turun mengiringi.
"Bajumu basah, sebaiknya kau ganti saja dengan pakaian Leo. Kurasa postur tubuh kalian hampir sama." Tessa bicara sambil merapikan semua kantung belanjaan ke atas meja makan.
Sambil membantu Tessa, Alex menjawab,"Tidak perlu. Aku akan segera pulang."
"Kau sudah membantuku, apa aku tak boleh membantumu juga?" tanya Tessa dengan memaksa. Kali ini dia fokus pada pria di depannya.
Hanya meja makan bundar yang menjadi jarak keduanya.
T-shirt ketat Alex yang tipis basah karena air hujan. Otot-otot Alex yang kekar menyembul sempurna karenanya.
Hal itu menjadi daya tarik sendiri bagi seorang Alex Spencer. Tessa tertegun sesaat dibuatnya.
"Hm, baiklah. Aku ambilkan pakaian Leo untukmu, ya?"
Sebenarnya, Tessa masih ingin terus memandangi apa yang tidak seharusnya dia lihat. Namun, dia akan malu jika sampai Alex mengetahuinya.
Alex memandangi punggung Tessa menjauh. Dress tipis Tessa juga basah. Akibatnya, lekuk tubuh wanita muda itu tercetak sempurna.
Alex sempat menelan ludah kasar saat melihat kedua payudara Tessa. Wanita itu memiliki ukuran yang jauh lebih besar dari milik Tracy. Entah seperti apa rasanya saat diremas, pikirnya mulai mesum.