Bab 9 Malam Bersama
Bab 9 Malam Bersama
Kendaraan beroda empat dan berwarna hitam itu berhenti dihalaman kost milik Raya, angin malam menambah suhu disekitar Revan dan Raya yang basah kuyup malam ini. Membantu membuka pintu mobil, pun turut membuka pagar secara spontanitas. Raya yang sudah sadar sepenuhnya, sambil meremat jas yang tersampir ditubuhnya berkat pemberian Revan sebelum mengantarnya pulang.
“Terima kasih Revan.”
“Sama-sama. Kalau gitu aku pamit du- Hatchy!” satu suara bersin yang keluar membuat Revan terdiam.
“Mau masuk dulu? Ganti pakaianmu, sakit nanti,” kekehnya namun dibalas gelengan oleh Revan.
“Tidak usah, aku harus pulang-“ satu suara bersin kembali terdengar dan kini Raya hampir tertawa namun urung karena ditatap menusuk oleh Revan. Tidak membalas, Raya menarik tangan Revan untuk masuk kedalam kost-nya yang ditahan oleh Revan.
“Kau sudah tidak waras ya? Ini kost-“
“Kost puteri tentu saja, tapi kita tidak akan berbuat apa-apa. Aku akan lapor dengan ibu kost ku soal ini, tenang saja. Dan juga, Jaka dan Putra sering kesini, bahkan seingatku, sepertinya pakaian mereka ada beberapa yang tersimpan disini,” ujar Raya sambil berfikir, mengingat kembali apakah baju kedua temannya masih tersimpan di lemari pakaiannya atau tidak.
Revan tetap menolak, namun Raya tetap memaksa. Revan yang baru saja akan bersin kembali, namun Raya dengan cepat menariknya masuk kedalam kamar kost-nya.
“HEI!! Kau gila?!” Raya tidak menjawab melainkan membuka lemari pakaiannya dan memilah beberapa helai kaos didalam sana.
“Tidak. Nih pakai,” Raya melempar satu helai kaos dan celana, lalu berjalan keluar.
“Kau gantilah dulu, aku mau lapor kepada ibu kost-nya, dan berganti dikamar teman kost ku, jangan pergi sebelum aku kembali,” perintah Raya lalu menutup kamar kost-nya, membiarkan Revan yang masih tertegun memahami situasi yang terjadi saat ini.
Hampir dua puluh menit, setelah Revan dengan terpaksa mengganti pakaian didalam kamar Raya. Setelahnya ia duduk diatas kasur tipis yang terletak disudut kamar, memindai bagaimana rupa kamar seorang Raya, sebuah lemari kayu berwarna cokelat dengan meja kecil disampingnya yang penuh dengan buku tersusun meninggi. Lalu ada rak berbahan plastik yang berisi peralatan makan dan masak disana, juga dengan galon yang isinya tinggal setengah. Revan juga sesekali menghirup aroma kamar gadis ini beberapa kali, bau vanilla yang tidak menyengat dan ia sangat menyukainya. Revan tidak perlu berjalan untuk melihat-lihat, dengan duduk disatu sisi maka ia dapat melihat semuanya. Revan bahkan ingat di mana saja letak barang milik Raya.
Matanya kini mengarah sudut tempat tidur Raya yang terdapat satu buah boneka beruang berukuran sedang disudut ruangan, Revan mengambil dan melihat bagaimana bentuk boneka yang sudah sedikit usang, namun ketika disentuh bulunya sangat halus, dan tidak berbau. Pikirnya, mungkin Raya rajin untuk mencuci benda ini. Dia juga melihat dibalik pintu kamarnya yang hanya terdapat satu buah jaket yang diketahuinya merupakan jaket jurusan kampusnya.
Revan juga tak sengaja melihat sebuah figura kecil tepat disamping tempat tidurnya, mengambil dan melihat seorang anak kecil yang dengan riang gembira duduk diatas ayunan yang terbuat dari tali rami diatas dahan pohon yang besar. Sadar jika pintu dibuka, Revan buru-buru meletakkan figura ketempatnya asal dan berdiri.
Revan melihat Raya yang masuk dengan pakaian yang sudah diganti beserta dua mie instan yang diseduh penyajian dalam sebuah gelas, “Kau mau makan dulu? Aku hanya punya ini, tidak masalah kan?”
Revan yang kikuk hanya mengangguk menurut, kemudian mengambil satu miliknya dan ikut duduk menyusul Raya diatas keramik dingin. Revan yang belum menyantap makanannya melirik Raya yang sudah lahap menyeruput mie instan miliknya. Hingga Raya tak sengaja tersedak air kaldu, Revan secara spontan mengambil gelas yang sudah berisi air—bersamaan dengan Raya yang lebih dulu menggenggam gelas, hingga tangan Revan mengenggam tangan Raya yang menggenggam gelas. Revan yang kaget langsung melepas tangannya dan menyantap mie instan miliknya dalam diam.
Lima belas menit menyantap makan malam yang terbilang sederhana itu, kini Revan dan Raya hanya duduk tanpa ada obrolan yang berarti. Revan berdeham dan membetulkan posisi duduknya menghadap Raya, “J-Jadi, kau tinggal sendiri?” Raya mengangguk.
“Aku sudah tinggal disini sejak tahun pertama kuliah, bisa dibilang aku termasuk penghuni lama disini,” Revan mengangguk paham, kemudian tidak ada lagi obrolan.
“K-Kau masih dingin? Sepertinya kaosnya tipis sekali ya?” Raya menunjuk kaos polos yang dikenakan Revan, terlihat dari bahannya, Raya seharusnya memilih pakaian yang lebih layak. Salahkan Jaka atau Putra yang membawa pakaian ala kadarnya ke kost-annya, hal itu dilakukan mereka ketika mengantar Raya atau mengerjakan tugas, alternatif lain akibat kebasahan oleh air hujan, karena area kost Raya adalah yang terdekat dengan kampus.
“Tidak masalah. Bagaimana denganmu? Tadi kau tenggelam dikolam, tidak apa-apa?”
Raya mengangguk, “Aku tidak apa-apa, terima kasih,” Revan mengangguk menanggapi.
Ponsel milik Revan bergetar, ia mengambil dan melihat sebuah notifikasi masuk dilayar ponselnya.
Kau dimana? Papa di apartemenmu, tapi kosong.
Apa kau sedang bersama Tristan? Pulang sekarang! Kita perlu bicara…
Revan berniat mengabaikan namun ponselnya kembali bergetar, kali ini sebuah panggilan masuk muncul pada layar ponselnya. Raya yang tak sengaja melirik menatap Revan heran.
“Ada yang menghubungimu. Kenapa tidak diangkat? Butuh privasi? Aku bisa keluar?” Raya beranjak dari duduknya namun tangannya dihentikan oleh Revan.
“Apa aku boleh menumpang tidur di sini. Satu malam,” ucapnya sampai membuat Raya refleks melepas tangan Revan pada lengannya.
“Apa? Maksudmu menginap? T-Tapi ini kost puteri, kau sendiri yang bilang.”
“Aku tahu. Maaf sudah meminta hal yang tidak-tidak. Aku akan pulang sekarang,” Revan yang berniat berdiri ditahan oleh Raya. Entah kenapa, Raya dapat melihat ada yang tidak beres pada Revan, pikirannya tertuju pada orang yang menghubunginya, apakah orang jahat? Bagaimana jika Revan kenapa-napa di jalan? Ini bisa menjadi masalah besar, sebab Revan baru saja mengantarnya, otomatis namanya akan ikut terseret jika memang terjadi sesuatu pada Revan malam ini. Maka setelah menghembus napasnya berat, Raya meminta Revan untuk tetap diam di kamarnya, dan dia berjalan keluar kamar, “Tunggu di sini. Aku coba minta izin dengan ibu kost.”
Revan tak perlu menunggu lama, karena Raya sudah kembali dengan membawa sebuah matras tipis dan dibentangkan tepat disamping kasurnya. Revan yang ikut membantu, turut membersihkan sisa makanan mereka dan membuangnya ke tempat sampah, pun membantu menyiapkan tempat untuk tidur.
“Apa kau terbiasa tidur di matras?” Revan menggeleng polos, dan Raya mengangguk mengerti. Mengambil bantal miliknya sendiri dan boneka, lalu memberikan bantal yang baru dan diletakkan diatas kasur milik Raya.
“Kalau begitu tidurlah disini. Aku akan tidur di matras,” ucapnya sambil menunjuk tempat tidurnya dan matras secara bergantian. Revan yang mau menolak namun dihentikan oleh Raya, alhasil dia mengalah dan baring ditempat tidur Raya, dengan Raya yang lebih dulu merebahkan diri di atas matras sambil memeluk boneka miliknya.
“Apa kau terbiasa tidur dengan lampu padam atau menyala?”
“Padam.” Jawab Revan membuat Raya tampak berfikir sejenak, lalu berjalan kearah laci disamping lemari dan mengambil sebuah bohlam kecil dan memasangkannya disumber listrik didekatnya.
“Aku tidur dengan lampu menyala, tapi kalau ada lampu tidur tidak masalah. Aku beli ini untuk berjaga-jaga. Dengan begini adil,” ujarnya sambil menyalakan lampu tidur dan memadamkan lampu utama dikamarnya.
Revan masih diam tidak berkata apapun, bahkan ketika pencahayaan yang berganti sedikit temaram, dan Raya yang sudah kembali menyamankan dirinya dan membelakanginya untuk pergi tidur, Revan masih duduk diatas tempat tidurnya.
“Apa yang aku lakukan?” batinnya sambil menghembuskan nafasnya. Melihat ponselnya yang sudah dimatikan total sejak tadi. Revan belum juga pergi menjemput mimpinya. Namun angin yang berhembus melalui celah ventilasi udara membuat bulu kuduknya sedikit meremang merasakan dingin. Alhasil Revan ikut merebahkan tubuhnya dan menopang kepalanya dengan kedua telapak tangan yang terlipat. Satu jam sudah berlalu, namun Revan belum juga memejamkan kedua matanya. Pandangannya menatap punggung Raya, rambut panjang yang terurai didepannya, Revan dapat menghirup aroma strawberry dari shampo yang dipakai Raya malam ini. Jarak yang terbilang dekat, membuat Revan mengeratkan rahang. Takut-takut jika ia melakukan hal yang tidak diinginkan—sebab dia juga masih seorang pria yang normal, pun memiliki hormon seksual jika adanya kesempatan seperti ini. Namun pikirannya seketika buyar ketika tiba-tiba tubuh di depannya itu berbalik menghadapnya, Revan sempat hampir berteriak karena kaget, namun urung karena Raya masih memejamkan kedua matanya.
Tidak ada yang bersuara, Revan yang masih menatap Raya, dan Raya yang terlihat nyaman dengan tidurnya. Malam ini, bersama suara jarum jam yang berdetak, Revan masih menatap Raya. Pertama kali Revan melihat wajah tidur seseorang selain Tristan—lebih tepatnya seorang gadis.
“Aku tidak tahu kau ada masalah apa. Tapi aku berharap masalah itu cepat berlalu, sehingga kau bisa tidur dengan nyenyak setiap malamnya,” gumam Raya pelan dengan mata yang masih tertutup, namun suaranya jelas terdengar oleh Revan. Revan tidak menjawab, masih menatap Raya. Hingga kedua mata Raya terbuka pelan, keduanya saling mengunci. Baik Raya dan Revan saling memandang sendu satu sama lain.