Pustaka
Bahasa Indonesia

From R to R

100.0K · Tamat
Romansa Universe
85
Bab
569
View
8.0
Rating

Ringkasan

Revan dan Raya dipertemukan disebuah tempat yang dinamakan ‘atap’ kampus yang tak pernah dikunjungi oleh mahasiswa manapun. Dan Raya yang ingin membuka pintu yang tertutup rapat dan hampir berkarat dihati Revan.Berawal dari Raya yang mendekati Revan karena mengetahui rahasianya, dan berakhir dengan perasaan yang tumbuh lebih dulu dihati Raya. Revan yang sama sekali tidak peduli dengan presensi Raya, tak menggubris apapun yang Raya lakukan padanya, pun tak menghentikan Raya yang kerap mendekatinya.Hari-hari yang mereka lewati berdua menjadi salah satu hal yang disukai Revan sekarang, melupakan apa yang terjadi pada Raya. Revan mulai menyukai Raya. Sampai ketika Raya mengalami sesuatu hal, saat itu juga Revan seperti akan merasakan ‘kehilangan’ kembali.

RomansaKampusSweet

Bab 1 Prolog

Bab 1 Prolog

Jaka dan Putra saling bertatapan, kemudian dagu Putra diarahkan pada sebuah buntalan disudut meja kantin untuk makan siang,

“Lihatlah dia, menyendiri. Seperti tidak tahu bahwa ada dua manusia tampan yang sedang berbicara. Hey manusia! Ini kantin bukan tempat kos. Bangun!” Putra memukul kepala Raya dengan ponselnya, mengaduh sakit Raya menatap tajam Putra di depannya,

“Diamlah Putra, aku sedang berfikir,” gumamnya sambil merapikan rambutnya yang berantakan,

“Punya otak juga rupanya, mikirin apa?” tanya Putra sambil bertumpu dagu,

“Bagaimana rasanya memiliki uang banyak terus pergi ke antartika bertemu dengan dewa Krisna,” ucapan Raya dengan ekspresi datar membuat Jaka yang tersedak minuman berikut dengan Putra yang menganga, tangan kembali terulur untuk memukul kembali, dengan kecepatan kilat Raya bergegas pergi.

“Hei! Jangan kabur kau Raya! Kembali.”

Tersengal lalu tertawa, Raya berlutut mengatur nafasnya yang digunakan untuk berlari, meregangkan tubuh lalu diikat kembali rambut panjang yang hampir terurai. Raya melirik jam tangan yang tersemat dipergelangan tangannya, “Masih ada banyak waktu. Lebih baik aku-“

Raya terkejut ketika merasakan ada yang mengalir lambat diantara hidung dengan bibir atasnya, mengusap dengan ibu jari—Raya mendengus pelan. “Istirahat dulu saja kalau begitu, benarkan tubuh?” ucapnya sambil menepuk-nepuk pundaknya simpati.

Revan mendengus ketika ponselnya berdering dengan satu notifikasi pesan oleh Tristan yang menyuruhnya kembali ke kelas, melempar malas ponselnya, Revan menutup wajahnya dengan lengan kanannya. Hampir tertidur namun suara dentingan pintu besi yang terbuka kasar membuatnya spontan beranjak duduk, “Hey, kau bisa pelan-“ suara Revan tercekat ketika melihat seorang gadis yang berdiri diambang pintu dengan hidung yang mengeluarkan darah,

“K-Kau!! D-Darah!!” kaki Revan melemas hingga dirinya terduduk lesu, dengan tangan yang menunjuk kearah Raya yang mengernyit bingung.

“Ada apa dengan mu? Aku masih manusia omong-omong, bukan hantu. Lagi pula ini tengah hari. Jadi jangan berharap bertemu hantu disaat seperti ini,” jawabnya santai lalu berjalan melewati Revan kemudian membaringkan dirinya di area yang tidak terkena panasnya matahari,

“Jangan bangunkan aku ya, aku ingin istirahat sebentar,” gumamnya lalu tak ada balasan lagi. Revan yang masih mencoba berfikir jernih hanya diam menatap gadis yang santainya berbaring dengan darah yang masih tercetak jelas hidungnya.

***

“Hey! Dari mana saja kau?” Jaka menjewer telinga Raya yang baru saja datang setelah setengah jam menghilang dari pandangan,

“Aku bersemedi,” ditepisnya tangan Jaka lalu menumpu kepalanya diatas meja kelas. Jaka yang baru saja mau menarik pipi Raya ditahan oleh Putra, mengambil kursi di depannya, Putra menumpu dagu dengan tangannya.

“Pulang kampus nanti mau jajan di alun-alun?” Raya langsung mengangkat kepalanya, senyum terpatri di wajah cantiknya, sambil mengangguk Raya menangkup wajah Putra dengan kedua tangannya,

“Kau memang sahabat terbaik ku Putra! Sepertinya aku hanya punya satu sahabat mulai sekarang,” cibirnya sambil menatap sinis Jaka yang sudah duduk disamping Putra, “Hey!”

“Jadi, kemana pergi kemana tadi?”

“Atap.”

“Sering sekali pergi kesana, tidak ada hantu?”

“Siang-siang mana ada hantu Putra! Lagi pula aku hanya tidur siang sebentar,” Raya kembali menjejalkan gumpalan bakso kedalam mulutnya, Putra dan Jaka mengangguk, tak berniat bertanya lebih jauh.

Sembari makan dengan lahapnya, terdengar sayup-sayup cibiran halus yang tak jauh dari sana,

“Ada kak Putra, kesana yuk!”

“Enggak ah, kau tidak lihat ada pawangnya disana?”

“Aku heran kenapa kak Putra selalu menempel sama kak Raya ya?”

“Mereka pacaran?”

“Tentu saja tidak bodoh! Kak Raya itu urakan. Berbanding jauh dari tipe kak Putra.”

“Ah! Benar juga. Ya sudah, yuk kita pergi”

Raya yang mendengus pasrah, Putra yang geleng-geleng kepala dan Jaka yang tak peduli. “Resiko menjadi pria tampan memang sulit ya put,” Jaka menepuk-nepuk pundak Putra simpati, Raya yang terkekeh lalu meneguk minumannya hingga tandas,

“Ah kenyangnya~ Ayo balik, hari ini aku mau istirahat untuk besok kerja praktik.”

“K-Kak Revan, ini untuk kakak,” sebuah kotak hadiah lucu disodorkan di hadapan Revan, beberapa menit lalu ada notifikasi pesan yang masuk di ponsel Revan, memintanya untuk bertemu ditaman kampus. Seorang mahasiswi tingkat dibawahnya berdiri sambil tersenyum, dan menyerahkan sebuah kotak untuknya,

“Ini apa ya?”

“Kue kak, aku membuatnya hari ini. Enak kok kak, aku sudah mencicipinya. Diterima kak” Revan mengangguk lalu mengambil kotak itu, “Terima kasih.”

“K-Kalau begitu aku boleh memberikannya lagi tidak kak?” tanya gadis itu malu-malu, Revan menggeleng sopan,

“Tidak perlu, ini yang pertama dan terakhir ya. Ada lagi?”

“T-Tidak kak.”

“Kalau begitu aku duluan,” ucapnya datang lalu berbalik dan meninggalkan mahasiswi itu sendirian.

“Yo! Dari mana?” Tristan merangkul Revan yang baru datang, tak menjawab melainkan menyerahkan sebuah kotak yang diterimanya tadi pada Tristan, “Hadiah hari ini?” Revan mengangguk,

“Hahaha … Revan … Revan … kaku sekali kau ini, sekali saja coba buka hati mu itu.”

“Makan saja itu dan diamlah. Jangan ikut campur urusanku!” sinisnya, Tristan refleks mengangkat kedua tangannya tanpa rasa bersalah, “Baiklah.”

Melihat Tristan makan, Revan tiba-tiba teringat dengan kejadian tadi siang yang membuatnya seketika mual. “Perempuan seperti apa yang membiarkan darah mengalir begitu saja dari hidungnya?” batinnya.

Sesampainya ditempat kos, Raya langsung membersihkan diri. Mengambil botol kapsul dari laci disamping tempat tidurnya, mengambil segelas air putih. Raya menatap nanar beberapa butir kapsul ditelapak tangannya, “Miris sekali,” ucapnya lalu menegak habis obat beserta minumannya hingga tandas. Sambil berbaring nyaman, Raya teringat pria yang ditemuinya diatap tadi, “Dia itu siapa? Tidak pernah lihat di atap sebelumnya. Apa dia penghuni baru ya?” gumamnya pelan, perlahan hingga tak sadar dia tertidur akibat efek samping dari obat yang diminumnya tadi.

Membasuh wajahnya beberapa kali, lalu mengambil handuk kecil dan menggosok pelan ke wajah. Revan melihat wajahnya dari pantulan cermin sebentar lalu berjalan kearah tempat tidurnya. Merebahkan tubuh dengan tangan kanan sebagai tumpuan kepala, Revan memejamkan kedua matanya, bayangan seseorang yang tak pernah hilang dari memorinya kembali datang, menyeringai kecil, Revan mendengus samar, “Sampai kapanpun aku tidak akan pernah bisa melupakannya, sama sekali,” lirihnya lalu badan bergerak menyamping kearah nakas, matanya tertuju pada sebuah figura kecil dibawah lampu tidurnya, dua pasangan yang dimabuk asmara yang berpose lucu di dalam sebuah photo box.

Revan mengambil figura itu lalu mengusap pelan dengan ibu jarinya, “Aku merindukanmu, sangat.”

***

“Raya, tolong ambilkan obeng plus disana” tanpa menjawab Raya mengambil benda yang disuruh Jaka dan memberikannya,

“Kau benar-benar langsung tidur ya setelah sampai di kos?”

“Tentu saja. Kenapa?”

Jaka menggeleng lalu kembali fokus terhadap pekerjaannya, “Ku kira kau pergi kelayapan entah kemana,” Jaka meringis ketika sebuah tangan memukul kepalanya,

“Kau pikir aku cewek apaan, aku juga butuh istirahat dasar bodoh!”

“Iya-iya maaf, ini kembalikan lagi obengnya,” Raya mendengus seraya mengambil kembali obeng dan dikembalikan ke tempatnya semula.

“Hey Raya, nanti siang mau makan bersama?” Raya menoleh ketika namanya dipanggil,

“Tentu saja.”

“Tapi hanya kita berdua ya,” ucapan pria itu membuat Raya mengernyit kebingungan, namun segera dipotong oleh Jaka,

“Kami juga lapar, kami ikut bergabung ya,” pria itu menatap malas Jaka,

“Kau sudah sering bersama Raya, sekali-sekali Raya bergaul dengan yang lain dong. Kau tahu tidak berita yang tersebar di kampus? Kalian seperti bermain threesome sa-“ ucapannya terhenti ketika satu pukulan telak mendarat di sudut bibirnya, hingga terhuyung kebelakang, merasa tak senang pria itu bangun dan menarik kerah seragam wearpack lawannya,

“Kau mau mati, hah!”

“Jaga ucapanmu, brengsek!” Jaka balik menarik kerah seragam dan menatap tajam,

“Hentikan omong kosongmu kalau kau tak mau mati ditanganku!” sinisnya lalu menarik Raya meninggalkan pria itu dan keluar dari ruangan praktik.

“Kau ini bodoh atau apa sih Jaka? Kenapa kau ladeni dia,” Raya mencubit pipi Jaka hinga mengaduh kesakitan,

“Kau ini santai sekali dikatakan seperti itu?”

“Sudah resiko, kalau aku bergabung dengan mereka juga pasti mendapat berita seperti itu kan? Tidak ada bedanya.”

Putra menepuk pundak Raya, “Resiko menjadi perempuan satu-satunya di jurusan kita memang tidak mudah ya, aku salut padamu.”

“Sudahlah, aku lapar, melihatmu bertengkar seperti tadi membuat perutku bunyi,” Raya menarik Jaka dan Putra menuju kantin.