Bab 2 Sepakat Untuk Tidak Saling Mengenal
Bab 2 Sepakat Untuk Tidak Saling Mengenal
“Bu, bakso bakarnya sepuluh ribu,” sahut suara bersamaan dari dua orang yang berbeda, Raya dan Revan menoleh bersamaan, tak begitu lama Raya langsung memotong,
“Saya dulu ya bu, ladies first,” ucapnya lalu Raya menoleh kearah Revan dan menjulurkan lidah mengejek, Revan yang kebingungan tak niat menanggapi, juga tak membantah apapun. Setelah pesanan siap, Raya langsung merogoh uang disaku celananya, dilihatnya satu lembar uang lima ribu, Raya menatap bakso bakarnya sedih.
“Hey! Boleh ku pinjam uang mu? Lima ribu aja. Nanti ku ganti,” Raya berbisik kearah Revan, rambut terurainya tersapu sekilas mengenai wajah Revan. Alis naik sebelah, Revan mengambil uang selembar dua puluh ribu dan diberikan ke penjual,
“Ini saya bayar sekalian punya dia ya bu,” wajah Raya langsung sumringah ketika Revan mau membayarkan pesanannya, mengambil bungkusan bakso bakar, Revan langsung pergi meninggalkan counter jualan, Raya pun mengikutinya.
“Hey tunggu!”
“Ada apa?”
“Nama.” Revan mengernyit bingung, apa maksudnya.
“Nama kamu siapa? Untuk memudahkanku mencarimu.”
“Untuk apa?” tak menjawab, Raya mengangkat bungkusan bakso bakarnya,
“Membayar hutangku,” Revan menggeleng lalu menurunkan tangan raya,
“Tidak usah diganti, anggap saja itu rejeki.”
“Rejeki dari mana kalau awalnya aku meminta? Kau aneh! Omong-omong nama ku Raya,” tangan kanan diulurkan di depan revan, “Raya Pradivani.”
“Revan,” ucapnya seraya membalas uluran tangan raya, “Revan Satria.”
“Aku seperti pernah melihatmu sebelumnya, tapi dimana ya?” tanpa sadar Raya mengikuti Revan berjalan, bersisian dengan Revan membuat mereka dilirik mahasiswa lainnya.
“Atap.”
“Atap?” Raya diam sebentar,
“Kau yang waktu itu ketakutan melihatku hantu ya!” Ujarnya sambil menunjuk Revan, jari diturunkan kembali, kini mereka sudah berhadapan,
“Aku bukan ketakutan karena melihatmu seperti hantu.”
“Lantas?” pandangan Revan tak sengaja menatap hidung Raya,
“Hidungmu,” ujarnya sambil menunjuk hidung Raya,
“Hidungmu sudah tidak apa-apa?” tambahnya, Raya yang semakin bingung dengan kata demi kata yang diucapkan oleh Revan langsung mengerti apa yang dimaksud, kepala langsung menoleh ke kanan dan ke kiri, Raya menarik Revan untuk mengikutinya menjauh dari keramaian.
Revan menghentikan langkah dan melepas kasar tangan Raya, “Apa-apaan kau ini.”
“Kau melihatku mimisan ya waktu itu?” tak menjawab, Revan hanya mengangguk yang langsung dibalas tepukan di keningnya sendiri oleh Raya.
Raya memegang tangan Revan seduktif—juga menatapnya lamat, Revan yang tentu saja terkejut berniat melepaskan kedua tangannya namun dicengkeram kuat oleh Raya, “Dengar, aku sebenarnya tidak mau berurusan sama orang selain Jaka ataupun Putra. Tapi karena kau sudah mengetahui rahasiaku, mau tidak mau, suka tidak suka. Kau sekarang dibawah pengawasanku,” penuturan Raya yang terdengar tidak masuk akal membuat Revan langsung menghempas kedua tangannya kasar.
“Apa maksudmu dibawah pengawasa?! Urus urusan mu sendiri. Aku pergi,” Raya menarik tangan Revan untuk kembali berdiri dihadapannya, cengkeraman tangannya tak sekuat tadi, namun Revan dapat melihat bagaimana perubahan air muka Raya yang berubah menjadi sendu.
“Aku tidak bisa membiarkanmu begitu saja. Aku takut jika kau memberitahu semua orang tentang ini,” ucapnya, sarat matanya yang memohon, wajah mereka yang hanya berjarak berpuluh senti.
“Ku mohon, jangan katakan sama siapapun tentang ini,” Revan dapat melihat dengan jelas bagaimana gadis di depannya ini memohon padanya, memangnya apa yang mau dia lakukan? Bahkan ini bukan urusannya.
“Aku tidak punya hak untuk memberikan tentang ini kepada siapa pun. Lagi pula aku juga tidak peduli. Anggap saja aku tidak pernah melihatmu diatap tempo hari. Selesai.”
Raya melepas tangannya, benar juga. Kenapa dia begitu takut bahwa ada orang lain yang mengetahui tentang ini selain dirinya dan dokter kepercayaannya. Tentu saja jika ia dapat berfikir jernih dan bersikap dewasa, dia akan menyuruh pria didepannya untuk menganggap semua ini tidak pernah terjadi. Raya merutuki dirinya sendiri. Kenapa dia begitu bodoh karena merasa takut. Mundur kebelakang tiga langkah, Raya tersenyum pada Revan, “Baiklah kalau begitu, anggap saja kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Dan maaf soal tadi, sepertinya aku mencengkeram tanganmu terlalu kuat,” Revan melirik kedua tangannya yang terdapat bekas berwarna merah samar dipergelangan tangannya.
“Kalau begitu aku pergi,” Revan berbalik, Raya yang mengangguk lemah menatap punggung Revan yang semakin menjauh. Tiba-tiba kakinya lemas, Raya terduduk dan bungkusan bakso bakarnya berantakan.
“Bodoh sekali aku.”
***
Beberapa hari setelahnya, sepertinya semesta sedang merencanakan sesuatu. Revan dan Raya kerap bertemu, entah itu dikantin, diperpustakaan, ataupun ditaman kampus. Seperti yang dikatakan sebelumnya, bahwa mereka saling melihat, namun tidak saling mengenal satu sama lain, padahal mereka sudah mengetahui nama masing-masing. Dan hari ini, semesta kembali mempertemukan mereka berdua, ditaman kampus yang kebetulan sedang ramai. Jaka berdecak kesal, “Sudah penuh. Kita ditempat lain aja ya.”
“Gak bisa begitu Jak, tempat ini enak buat nyantai. Gak ada tempat lain lagi,” jawab Raya yang sudah membuat wajahnya menjadi disedih-sedihkan.
“Tapi tempat ini hampir penuh Raya. Coba lihat, di mana lagi ada space untuk kita?” Jaka menunjuk kearah timur tempat mereka berdiri.
“Disana kosong, belum banyak orang. Ayo cepat nanti keduluan,” tanpa menjawab Raya langsung menarik Jaka dan Putra hingga berlari. Dan sesampainya disana, tak hanya mereka yang baru sampai, Revan dan Tristan juga sama. Mereka bertemu disatu titik untuk memperebutkan tempat ini.
“Sorry, kita duluan yang sampai di sini,” ujar Tristan yang langsung dibantah oleh Jaka.
“Kami juga lebih dulu sampai disini, dan kami lebih banyak orang. Jadi lebih baik kalian cari tempat lain saja yang cukup untuk berdua,” Tristan dengan wajah tak sukanya, tak mau kalah.
“Mau banyak orang atau tidak, kami tetap datang lebih dulu. Kalian mengalah saja,” Jaka yang mulai jengah ingin membantah namun dipotong oleh Putra.
“Kita sama-sama sampai lebih dulu, dari pada saling memperebutkan, kenapa tidak bergabung saja?” jawaban Putra membuat Raya kaget, matanya spontan melirik Revan yang sama sekali tidak terganggu.
“T-Tapi Put?”
“Kenapa Ray? Kau keberatan?” Raya total bingung sama apa yang harus dilakukannya, dia tidak mau bertemu dengan Revan, namun ia juga tidak mau merelakan tempat paling nyaman untuk mengistirahatkan diri setelah seharian kerja praktik. Jadi, dengan sangat pasrah Raya mengangguk lemah lalu duduk lebih dulu, dan diikuti oleh Putra. Tristan yang tidak mau membawa masalah sepele ini menjadi lebih besar, meminta Revan untuk ikut duduk.
Beberapa menit telah berlalu, mereka yang sibuk dengan urusannya masing-masing, Tristan yang mendengarkan lagu diponselnya menggunakan earphone, Jaka dan Putra yang tertawa sambil melihat ponsel milik Jaka, Revan yang sedang membaca buku, dan Raya yang bingung sama apa yang akan dia lakukan. Padahal rencana awalnya adalah dia ingin mengobrol dengan leluasa dengan kedua sahabatnya, namun melihat Revan yang duduk tepat didepannya membuat semua rencana yang tersusun rapi disudut otaknya hilang bak buih. Raya tahu betul jika mereka sepakat untuk tidak saling mengenal satu sama lain, ataupun membahas perihal insiden diatap kampus. Namun tak bisa dipungkiri jika Raya tidak bisa melupakan begitu saja. Diliriknya Revan diam-diam, menciptakan gelenyar aneh dihatinya.
Angin berhembus mengusik tatanan rambut Revan yang tampak seperti sedang melakukan adegan komersial dimata Raya, berikut dengan wajah serius membaca setiap kata demi kata dari buku yang dibawanya. Raya tak bohong jika pria yang dilihatnya diam-diam ini memiliki paras yang sangat rupawan. Kemana saja dirinya hingga tak tahu ada mahasiswa tampan di universitasnya?
“Ray?” Raya terkesiap saat Jaka memanggilnya berikut dengan tepukan dipundak, “Sedang memikirkan apa?” tambahnya.
Menggeleng cepat dengan tangan yang ikut dikibas ringan, “Tidak ada. Aku rasa aku sudah cukup bersantai hari ini. Aku akan kembali ke gedung fakultas. Kalian mau ikut atau tetap disini?”
“Bagaimana kau ini, tentu saja kami ikut,” Jaka menjawab lalu beranjak dan membersihkan celananya dari rerumputan yang menempel, melihat Tristan dan Revan bergantian, “Kami duluan.”
Setelah Raya, Jaka, dan Putra sudah menghilang dari pandangan, Tristan dengan cepat menyenggol Revan, “Hey! Kau kenal dengan gadis itu?” tanyanya, karena semenjak Raya duduk di depannya, ia dapat melihat Revan sesekali mencuri pandangan terhadapnya.
“Tidak.” Jawabnya datar lalu kembali membaca bukunya.
“Benar juga. Mustahil juga kau akan melirik seorang gadis. Apalagi itu dari jurusan mesin,” tambahnya sambil mengangguk dan memasang kembali earphone yang tadi sempat dilepasnya.
Revan tak bergeming, kembali membaca yang sama sekali tidak masuk kedalam otaknya. Tristan tidak salah, rasanya mustahil jika dia melirik seorang gadis—terlebih dia dari jurusan mesin. Namun Revan juga tak bohong jika dia sesekali melirik gadis itu, dan juga mengetahui jika Raya juga mengambil kesempatan untuk meliriknya. Entahlah, Revan ingin menganggap ini tidak terjadi sama sekali, dan mereka tetap pada kesepakatan sebelumnya untuk tidak saling mengenal satu sama lain. Namun, hati kecilnya tiba-tiba berkata lain. Dia merasa jika ia ingin mengenal gadis itu lebih jauh. Ingin mengetahui kenapa dia bersikeras untuk merahasiakan tentang hal itu. Dan wajahnya juga tak lepas dari pikirannya semenjak insiden bakso bakar beberapa hari lalu.