Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Berhutang Kembali

Bab 3 Berhutang Kembali

“Revan, yakin gak mau gabung sama yang lain?” Revan menggeleng tanpa menoleh kearah Tristan dan masih setia pada buku yang dibacanya, mendengus pasrah Tristan mengangguk lalu menepuk pundak Revan, “Kalau begitu aku duluan.”

Raya mengusap peluh di keningnya sebentar dan masih fokus mengerjakan tugas mata kuliah CNC yang sedikit lagi rampung hari ini, melirik jam tangan sebentar, ia baru menyadari waktu sudah menunjukkan pukul enam petang—ini sudah diluar jam masa kuliahnya. Ia berhenti dan mematikan mesin lalu melirik kesekitar ruangan praktiknya, “Astaga pantas saja tidak ada suara gaduh. Sepi rupanya,” kekehnya lalu melepas sarung tangan dan merapikan alat praktiknya. Raya mengambil ponsel yang ternyata kehabisan daya, mengambil tas ranselnya dan berpamitan kepada dosen praktik yang masih berada diruangan, Raya keluar dan menuju parkiran mahasiswa.

Sesampainya di parkiran, Raya memicingkan matanya—fokus dengan ban pada sepeda motornya yang terlihat kempis, berlari dan langsung berjongkok, ia memukul pelan bannya, “Yang benar saja?!” Raya menepuk keningnya kesal, bisa-bisanya dia merasakan kesialan hari ini. Pulang terlambat, daya ponsel mati, ban sepeda motornya kempis, lantas apalagi kesialan yang akan menimpanya.

“Sedang apa?” suara bariton yang terdengar didekatnya membuat raya menengadah kepalanya keatas, melihat Revan—orang yang tak ingin dilihatnya hari ini, sekarang berdiri menjulang disampingnya, Raya mengalihkan pandangannya.

“Kenapa bertemu dengannya disaat seperti ini?” batinnya, Revan mengulang kembali pertanyaannya membuat Raya menoleh lalu tersenyum.

“H-Hai?” sapanya kemudian berdiri dan mereka berhadapan sekarang.

“K-Kau tidak pulang?”

“Ini mau pulang. Kau sendiri?”

“Aku juga mau pulang kok” jawab Raya, Revan melirik sekilas ban sepeda motor milik Raya dan diikuti oleh Raya yang menoleh kebelakang.

“Ban sepeda motormu kempis.”

“Y-Ya yang seperti kau lihat.”

“Hubungi temanmu.”

“Ponselku kehabisan daya.”

“Kalau begitu cari taksi.” Jawab Revan yang membuat Raya menghembuskan nafasnya, “Yang jadi masalah adalah aku tidak memiliki uang sisa hari ini,” ujarnya.

Revan dan Raya saling diam. Revan yang sebenarnya ingin segera pergi dari sini, tapi entah kenapa otak dan tubuhnya tidak bisa sejalan. Raya pun sama, dia kehabisan kata-kata, mau meminta tolong untuk diantarkan pulang rasanya mustahil. Malam semakin larut berikut angin yang berhembus semakin kencang, ditambah kecanggungan yang dirasakan kedua insan saat ini. Sambil mengambil kunci dan dalam saku celananya, Revan mengarahkan dagunya kesebelah kanan, “Aku antar pulang,” ujarnya.

“K-Kau serius? Maksudku, kita?”

“Kemanusiaan. Tidak ada yang salah dengan itu kan?”

“Tidak ada,” Raya kemudian tersenyum, “Terima kasih.”

Raya mengikuti Revan yang langsung berjalan kearah sepeda motornya, sambil membawa helm miliknya. Raya meninggalkan sepeda motornya dikampus, besok dia akan meminta Jaka atau Putra untuk menjemputnya lalu mengisi angin untuk ban sepeda motornya, kalau dipaksakan diseret keluar kampus, Raya tak sanggup, sepeda motornya bukan seperti milik perempuan kebanyakan, Raya mengendarai sepeda motor 250CC berwarna hitam. Maka dari itu besok dia akan meminta Jaka dan Putra mengisi angin sepeda motornya di lab praktiknya yang memiliki kompresor disana.

“Kau tinggal di daerah mana?” tanya Revan sebelum memasang helm dikepalanya, setelah Raya menyebutkan alamat tempat tinggalnya, bunyi gemuruh terdengar dan Raya refleks melihat kebawah, “Sial. Aku lupa kalau belum makan.”

Revan yang ikut melihat kearah perut Raya menatap datar gadis didepannya, “Mau makan dulu?” Raya langsung menggeleng.

“Tak usah. Langsung pulang saja.”

“Aku tidak mau kau tiba-tiba jatuh diperjalanan,” ujarnya lalu memasang helm dikepalanya, menaiki sepeda motor miliknya, Raya masih diam ditempatnya hingga membuat Revan membuka penutup kaca helmnya.

“Kau tunggu apa? Aku tidak punya banyak waktu,” Raya langsung buru-buru memasang helm miliknya lalu ikut menaiki sepeda motor milik Revan yang tidak berbeda jauh dari miliknya.

Memutar kunci lalu menarik setang, sepeda motor yang maju secara mendadak membuat Raya refleks memeluk pinggangnya membuat Revan langsung melirik kearah bawah dan menoleh kebelakang, “Singkirkan tanganmu.” titahnya membuat Raya langsung melepasnya.

***

Selama perjalanan, baik Revan maupun Raya tidak ada yang mengeluarkan suara. Hanya dengung mesin yang berbunyi beserta kebisingan kota Jakarta. Revan yang fokus di jalan tiba-tiba merasakan punggungnya seperti ditimpa, “Hei! Kau tidur?” teriaknya setelah penutup kaca dibuka, namun tidak ada jawaban, dan ketika sepeda motornya berhenti karena lampu lalu lintas berwarna merah, kepala Revan langsung menoleh kebelakang.

“Hei! Apa kau tidur?” namun masih tidak ada jawaban, Revan yang bingung tak sengaja melihat kedua tangan yang menjuntai bebas diantara badan sepeda motornya.

“Yang benar saja!” decaknya, lalu menarik kedua tangan Raya dan dililitkan di pinggangnya, tak ada perlawanan dari gadis yang diboncengnya, Revan meyakini bahwa Raya ketiduran. Melihat lampur yang sudah berganti warna menjadi warna hijau, Revan kembali menarik setang dan kembali mengendarai sepeda motornya.

Perjalanan yang sedikit memakan waktu akhirnya sampai disebuah tempat makan pinggir jalan, lumayan dekat dengan area tempat tinggal Raya. Revan juga tidak bisa langsung mengantar gadis ini pulang karena tidak tahu dimana persis tempat tinggalnya. Sambil mematikan mesin, Revan menepuk tangan Raya dengan agak keras, membuat si empunya sedikit terkejut dan mendadak turun hingga hampir terjatuh kalau saja Revan tidak menahannya hingga membuat Raya memeluknya, “Kau gila?!” teriak Revan dari dalam helmnya.

Raya sudah mendapat kembali kesadarannya, lalu turun dengan hati-hati dan melepas helmnya lalu menoleh kebelakang, kaget melihat bukannya dia melihat tempat kost-nya, malah tempat makan pinggir jalan yang dia tahu ini karena berada di area tempat tinggalnya, “Kenapa kita disini?”

“Aku tidak tahu dimana letak tempat tinggalmu, karena kau tidur selama perjalanan,” sinisnya sambil menatap tajam Raya yang tiba-tiba menunduk.

“Maaf.”

“Sudah terlanjur kesini, makan dulu saja.”

“Eh?” Revan yang tak menjawab langsung meletakkan helmnya diatas sepeda motornya lalu berjalan mengambil tempat duduk yang terdekat dengannya, diikuti Raya setelah meletakkan helm miliknya diatas sepeda motor, menarik kursi dan duduk.

“Hei, aku tidak punya uang.” Raya mendekat dan berbisik, namun Revan tak menghiraukannya, memanggil pemilik tempat makan.

“Satu nasi goreng dan satu es teh manis,” ujar Revan yang langsung dicatat oleh pemilik, menoleh kearah Raya yang masih berusaha menjelaskan bahwa dia tidak memiliki uang untuk membayar makanannya.

“S-Sama dengannya,” jawabnya pelan, dan setelah mencatat pesanan, pemilik pamit undur diri.

“Hey, aku tidak mau berhutang lagi padamu.”

“Malam ini aku yang bayar.”

“Kenapa? Kau sudah mengantarkan kupulang. Kau juga mau membayar makananku? Kau mau membuatku berhutang terus ya?”

“Aku hanya membantumu. Coba kau pikir, aku mengantarmu pulang dalam keadaan kelaparan dan kelelahan. Selama perjalanan kau tertidur. Lalu ketika kau jatuh ditengah jalan karena pingsan, kau pikir siapa yang akan bertanggung jawab?”

“Tahu dari mana kalau aku kelelahan?” tak menjawab, tangan Revan menunjuk memutar diarea wajah Raya tanpa menyentuhnya.

“Berkacalah.”

Raya langsung mengeluarkan cermin saku dari dalam tasnya dan meniti wajahnya, terdapat beberapa polesan di beberapa titik diwajahnya yang menghitam, terlihat sekali dia habis melakukan pekerjaan bengkel. Raya menggosok wajahnya terburu-buru hingga tak sengaja menusuk mata dengan jarinya hingga mengaduh kesakitan. Revan menggeleng kepalanya melihat Raya dengan konyolnya menerka-nerka isi tasnya sendiri. Memanggil agar Raya mendekat, Revan mengulurkan tangannya untuk mengusap pelan kedua mata Raya, berlanjut dengan area kening dan sudut bibirnya.

“Aku tidak tahu kenapa ada tinta hitam bekas mesin yang kau kerjakan bisa tercetak dibibirmu. Kau habis makan mesin atau apa?” tangan Revan ditepis dan Raya menatapnya tajam.

“Diamlah. Kau tidak tahu apa-apa soal mesin. Jadi tutup mulutmu!”

Revan baru saja ingin membalas perkataan Raya ketika pesanan mereka datang, “Makan dan habiskan. Aku tidak mau berdebat,” ujarnya tanpa melihat Raya, mendengus kasar Raya menatap tajam Revan lalu makan tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun.

Sepeda motor yang dikendarai Revan sudah sampai didepan tempat tinggal Raya—sebuah kost kecil yang terlihat sedikit pencahayaan berikut sepi dikanan kirinya, Raya turun dan melepas helmnya, “Terima kasih. Besok aku akan membayar semua hutangku padamu.”

“Tidak perlu. Simpan saja uangmu untuk dirimu sendiri.”

“Tapi-“ belum sempat Raya selesai, Revan sudah menutup kaca helmnya dan menarik setang sepeda motornya lalu tanpa sepatah kata, Revan melesat pergi meninggalkan Raya dengan perasaan kesal.

“Apa-apaan dia? Mau jadi pahlawan? Cih.” ucapnya lalu langsung masuk kedalam kost-nya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel