Bab 4 Alun-alun Kota
Bab 4 Alun-alun Kota
“Ray, minum dulu,” Raya menghentikan aktifitasnya lalu mengambil botol air dari tangan Putra, sedangkan Jaka yang kepalang gerah dengan rambut panjang yang terurai milik Raya mengambil sebuah karet disekitarnya dan mengikat rambut Raya yang sebelumnya mengaduh sakit karena tiba-tiba. Mereka sedang berada di taman kampus, mengerjakan tugas yang membutuhkan suasanya rerumputan dan kebetulan cuaca lagi sangat mendukung. Tidak seperti biasanya, hari ini mereka dapat dengan mudah mendapatkan tempat untuk bertiga. Sampai Jaka bisa selonjor kaki dan ditimpa oleh Putra dan Raya.
“Hai, kak! Kami boleh gabung?”
“Silahkan,” mendengar jawaban Revan, kedua mahasiswi yang tingkat dibawahnya mengangguk senang, kemudian duduk disebelah kanan dan kiri Revan. Revan juga duduk di taman itu, berada tak jauh dari tempat Raya berada. Otomatis Raya juga melihat percakapan barusan. Revan pun tampak enggan berkomentar banyak, pun tampak tak terganggu oleh dua gadis yang sedang mencuri perhatian padanya. Menjawab seadanya, namun juga mengabaikannya.
“Aku heran, sudah tahu orangnya dingin. Tapi masih juga ada yang mendekati. Kekuatan good looking memang tidak main-main, benarkan Putra?” Jaka menyenggol Putra yang dibalas tepisan kesal hingga membuatnya menggerutu karena diabaikan.
“Ray, hari ini mau makan di alun-alun?”
“Mau dong!”
“Tapi kita bertiga bawa sepeda motor, ada yang mau ditinggal salah satunya?”
“Kenapa tidak bawa dua-duanya? Seperti biasanya,” Jaka menggeleng cepat, berikut kedua lengan yang dibentang menyilang didepan dada.
“Hari ini ramai, habis waktu dijalan untuk mencari satu sama lain nanti. Raya, kau saja yang tinggalkan sepeda motor milikmu, lalu ikut antara aku atau Putra. Bagaimana?”
“Yang mana saja tidak masalah. Toh hanya kalian saja”
“Baiklah. Kalau begitu ayo kita main batu-gunting-kertas Put,” Putra langsung menatap heran Jaka yang sudah bersiap dengan kepalan tangan yang diangkat.
“Seperti anak kecil saja. Biar nanti malam Raya yang putuskan sendiri.” Jawab Putra membuat Jaka kembali merasa kesal.
***
“Revan! Ikut ke alun-alun tidak?”
“Tidak. Kau saja.”
“Kau ini! Besok itu weekend. Bersenang-senanglah sedikit. Dasar!”
“Dirumah juga bersenang-senang kalau kau mau tahu.” Jawab Revan kembali membuat Tristan yang duduk disampingnya mendengus kesal. Mereka sekarang duduk ditempat tinggal Revan yang terbilang mewah, semua hal lengkap. Tristan mengangguk mengerti, pantas saja dia betah berada di apartemennya, namun masih ada yang kurang, tidak ada siapapun selain dirinya dan si empunya apartemen yang bernafas disini.
“Hei!” senggol Tristan membuat Revan menoleh.
“Ayo ikut ke alun-alun!” Revan kembali menggeleng, namun Tristan tidak kehabisan akal.
“Kalau kau tidak mau ikut, akan ku cium- ADUH!” sebuah pukulan keras dikepala Tristan mengaduh sakit.
“Jaga mulutmu! Kau pikir aku apa hah!”
“Ya sudah kalau begitu ayo ikut. Hanya pergi sebentar, dan ini bukan ke club dude. Hanya ke alun-alun kota.”
Revan yang mulai jengah memutar matanya malas, lalu beranjak.
“Hei! Mau ke mana?” Revan yang tidak memperdulikan Tristan berjalan kearah pintu.
“Pakai mobilku.” Mendengar jawaban Revan membuat Tristan spontan berdiri dengan ekspresi seperti mendapat kemenangan telak.
Berbeda dengan Revan, Raya sudah lebih dulu berada di alun-alun. Mengambil tempat duduk yang sedikit jauh dari keramaian. Mengunyah bakso bakar yang baru saja dibelikan oleh Putra. Diselingi canda tawa yang hanya mereka bertiga yang mengerti, dilanjut dengan adegan pukul-memukul dan cemooh ringan yang menambah suasana senang diantara ketiganya.
Tak jauh dari sana Revan sudah sampai setelah memarkirkan mobilnya, sedikit menyesal karena seharusnya dia membawa sepeda motor saja setelah melihat suasana alun-alun yang sedang ramai malam ini.
“Kau mau beli apa?” Tristan sedikit berteriak kearah Revan setelah memilih kedai minuman yang mereka tuju pertama kali.
“Apa saja terserah kamu.” Tristan mengangguk lalu berjalan mendekat kearah kedai.
Sambil menunggu Tristan yang masih mengantre, Revan melihat-lihat suasana alun-alun malam hari ini. Melihat pasangan dari yang muda hingga tua, ada yang bersama anak kecil, ataupun peliharaan seperti kucing dan anjing. Alunan musik juga menambah euforia malam ini. Hingga netranya tak sengaja bertemu dengan tiga orang yang sedang duduk dan tertawa bersama disana, dan Revan mengenalinya. Pandangannya yang fokus pada gadis dengan rambut yang diikat ekor kuda, semuanya menjadi blur—hanya gadis itu yang terlihat jelas.
“Hei!” panggil Tristan yang langsung membuat Revan memutuskan kontak sepihaknya dan menoleh kearah Tristan.
“Ini minumanmu.”
“Terima kasih.”
“Jadi sekarang kita harus cari tempat duduk, dimana ya” ucap Tristan sambil melihat sekitar, berharap ada tempat kosong untuk mereka berdua, Revan yang melakukan hal lain—melihat kembali Raya yang tiba-tiba berdiri dan pergi meninggalkan kedua temannya dengan tangan yang menutup hidungnya membuat Revan refleks bergerak namun ditahan Tristan.
“Kau mau kemana?”
“Kau cari tempat disebelah sana, aku cari disebelah sana,” balas Revan sambil menepuk pundak Tristan lalu pergi sedikit berlari.
***
Raya yang sudah berada didepan toilet umum langsung menahan tubuhnya yang hampir limbung pada dinding disampingnya, “Aduh! Bisa-bisanya disaat seperti ini,” gumamnya sambil mengusap area bawah hidungnya, hingga sebuah sapu tangan secara tiba-tiba berada didepannya membuat Raya menengadah kepalanya dan melihat seorang laki-laki yang berdiri membelakanginya.
Merasa sapu tangannya tak diambil, pria itu menggerak-gerakkan tangannya, “Ambil. Bersihkan darah dihidungmu.”
Tanpa membantah lebih, Raya mengambil lalu mengusap bagian bawah hidungnya.
“Sapu tangan ini wangi, bersih. Sapu tangan baru?” batinnya sambil melirik kearah pria yang masih berdiri membelakanginya.
“Terima kasih. Aku akan mencucinya dan mengembalikannya dengan cepat,” Raya memegang pundak pria itu namun tak ada pergerakan, “Maaf, tapi bisa berbalik sebentar? Aku mau mengucapkan terima kasih dengan pantas,” tambahnya.
Revan berbalik dan seketika mata Raya membola lebar. Raya langsung melepas tangannya karena kaget, “K-Kau?” belum sempat Raya melanjutkan dan darah mengalir kembali dari lubang hidungnya, membuat Revan tersentak dan tubuhnya melemas, buru-buru dia berbalik.
“B-Bersihkan hidungmu. Aku pergi.” Raya menahan tangan Revan, menahan beban tubuhnya.
“Tunggu dulu! K-Kau mau kemana? Tolong antarkan aku pulang.”
“Pulang dengan teman-temanmu. Aku sibuk.”
“Aku tidak bisa kembali dengan keadaan seperti ini. Ku mohon tolong antarkan aku pulang.”
“Tidak.”
“Aku akan mati disini.” Ucapan Raya membuat tubuh Revan menegang, memori tentang sesuatu membuat jantungnya berdetak anomali lebih cepat dari biasanya, tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, Revan menarik Raya menuju mobilnya diparkirkan.
Raya melihat bagaimana Revan menarik tangannya begitu erat dan sedikit bergetar, tak menoleh, pun enggan mengeluarkan obrolan apapun. Revan hanya berjalan cepat didepannya. Beruntung Raya dapat mengimbangi langkahnya, jika tidak mungkin dia akan terjatuh karena tersandung.
“Masuk.” Titahnya setelah mobil miliknya berbunyi, dan Raya langsung masuk dikursi samping kemudi. Revan tak lantas segera masuk kedalam, mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan sebuah pesan kepada Tristan bahwa dia harus segera pulang karena ada urusan mendadak. Bersamaan dengan Raya yang langsung mengirimi Jaka dan Putra pesan jika dia harus segera kembali dan dijemput dengan teman kost-nya.
***
Selama perjalanan, tidak ada obrolan sama sekali. Revan yang fokus pada stirnya, dan Raya yang harus siaga jika darah menetes jatuh dari bawah hidungnya, lagi. Karena sebelum Revan mengantarkannya pulang, dengan tatapan tajamnya dia memberi perintah pada Raya dan mau tidak mau, suka tidak suka Raya harus menurutinya.
Jangan sampai satu tetes darah itu jatuh atau kau kuturunkan ditengah jalan!
Maka, hingga mobil sudah terparkir apik didepan kost Raya, lagi. Raya harus sedikit membungkuk sopan untuk berterima kasih lagi.
“Aku tidak tahu kenapa akhir-akhir ini kau selalu muncul dalam keadaan ku yang menyedihkan begini. Tapi, terima kasih Revan. Aku sekali lagi berhutang padamu,” ujarnya lembut.
“Dan sapu tanganmu akan aku cuci malam ini juga dan akan segera ku kembalikan besok.” Revan tak menjawab melainkan mengarahkan dagunya kearah pintu mobil, menyuruh Raya untuk segera turun.
“Terima kasih sekali lagi Revan,” ucap Raya dengan sedikit menunduk sembari memegang daun pintu mobil sebelum ditutup, tak lantas menunggu sebentar untuk mendengar sepatah kata dari Revan, Raya menutup pintu mobilnya dan segera masuk kedalam kost-nya.
Revan tanpa menoleh satu barang pun langsung menarik tuas rem tangan dan pergi meninggalkan kediaman Raya.
Lampu lalu lintas berwarna merah, Revan meremat stirnya kuat. Berkecamuk dalam benaknya apa yang baru saja dia lakukan, bertindak tanpa berfikir, dia yang lebih dulu membuat kesepakatan untuk tidak saling mengenal—namun ia juga yang secara anomali bertindak seenaknya.
“Sial! Apa yang terjadi padaku?” gumamnya yang disusul oleh suara klakson dari kendaraan dibelakangnya karena lampu sudah berganti warna menjadi hijau.