Bab 5 Berteman
Bab 5 Berteman
Raya menunduk takut ketika Jaka yang mengomel hampir lima belas menit dengan Putra yang hanya sanggup geleng-geleng kepala. Tingkah abnormalnya tadi malam membuat Jaka dan Putra menghabiskan hampir dua jam untuk mencari Raya karena ternyata pesan yang dikirimkan Raya sama sekali tidak terkirim. Maka disinilah mereka, berakhir dengan mulut Jaka yang bergerak beserta suara yang membuat Raya hampir sakit kepala.
“Jak, sudahlah. Setidaknya Raya baik-baik saja,” Raya mengangguk mengiyakan penuturan Putra dan menatap memohon pengampunan pada Jaka, salah satu kelemahannya jika Raya sudah membuat ekspresi puppy eyes diwajah cantiknya.
Sambil menghela nafas pasrah, tangan yang berawal berada dipinggang perlahan turun, lalu berjongkok didepan Raya, mengusap kepala Raya pelan, jelas tersirat khawatir diwajah Jaka saat ini.
“Kami begini karena kami sayang padamu Raya. Kami mencemaskanmu,” ujarnya lembut.
“Aku tahu. Maafkan aku,” Raya semakin menunduk, merasa bersalah karena telah pergi secara tiba-tiba meninggalkan kedua sahabatnya dalam keadaan tanpa kabar sedikitpun.
Suasana kembali normal, Jaka yang membawakan satu kotak dimsum dari rumahnya langsung disambut senang oleh Raya. Putra juga membawakannya minuman penyegar untuknya. Karena ini adalah salah satu hal yang dilakukan untuk memecah kecanggungan setelah berdebat diantara ketiganya.
“Kau kemana tadi malam?” Tristan berkacak pinggang dihadapan Revan yang baru saja datang dan mengambil tempat untuk duduk.
“Aku sudah kirim pesan padamu jika aku ada urusan mendadak.”
“Ya aku tahu kalau itu. Tapi setelah aku langsung ke apartemenmu, namun kau belum kembali. Terjadi sesuatu?”
“Tidak.”
“Baiklah kalau begitu. Aku lega mendengarnya,” Tristan kembali ke tempat duduknya, tak melanjutkan memberi pertanyaan yang seperti menginterogasi Revan hari ini.
Raya menggenggam sapu tangan dari dalam tas ranselnya, sesampainya ia dikamarnya. Raya langsung membersihkan sapu tangan itu sebersih mungkin. Memberikan pewangi yang melebihi takarannya, lalu mengeringkannya menggunakan pengering rambut miliknya, ia juga menyetrikanya dengn hati-hati. Dia ingin mengembalikan sapu tangan milik Revan, namun ia tidak tahu bagaimana cara untuk menghubunginya. Dia baru ingat bahwa tidak memiliki nomor ponsel milik Revan, ataupun dimana kelasnya hari ini. Apakah laki-laki itu ada kelas atau tidak. Mengingat kampus dengan populasi mahasiswa yang tidak mungkin dihitung menggunakan jari. Raya menarik nafas frustasi.
“Kemarin adalah suatu kebetulan jika kami bertemu. Sangat tidak mungkin jika kami akan bertemu lagi hari ini,” gumamnya pelan, namun tak lama dia mengingat sesuatu perihal atap kampusnya—tempat mereka pertama kali bertemu. Raya berfikir, apa mungkin Revan pergi kesana, lantas berapa peluang kemungkinan untuknya untuk bertemu dengan Revan?
Entahlah, Raya hanya mempercayakan suatu ‘kebetulan’ sekarang, jika Revan tidak ada disana, mungkin dia akan mengembalikan sapu tangan itu lain kali, atau dia akan mengembalikannya ketika mereka bertemu di jalan secara tiba-tiba, siapa yang tahu takdir akan membawa mereka berdua kemana.
Jadi, setelah selesai perkuliahan hari ini yang kebetulan lebih cepat dari jadwal biasanya. Raya izin pamit pada Jaka dan Putra untuk pergi ke atap, ingin menikmati hari ini. Dan mereka tak membantah, membiarkan Raya dengan keinginannya. Karena hanya itu satu-satunya tempat dimana Raya tidak diganggu atau mendengar berita buruk tentang dirinya. Satu-satunya tempat paling aman untuknya.
***
Raya sampai ditangga darurat menuju atap kampus digedung utama universitasnya. Sedikit terperangah karena ia baru menyadari bahwa hari ini dia memiliki kelas di gedung yang letaknya sedikit jauh dari tujuannya. Namun itu tidak masalah baginya, jika dia tidak bertemu dengan Revan disini, setidaknya dia dapat beristirahat sejenak melepas penat dan menikmati angin yang berhembus serta melihat pemandangan kota Jakarta yang luas ini. Dan dengan langkah ringan Raya menapak anak tangga satu persatu tanpa terburu-buru, hingga sampai dianak tangga paling atas, Raya menarik knob pintu besi dan langsung disambut angin kencang yang berhembus masuk kedalam.
Raya menutup pintu dengan pelan, menghirup udara sebentar lalu tanpa sadar sudut bibirnya naik dan membentuk lengkungan, “Sehari tidak kemari. Rasanya seperti sudah lama sekali,” gumamnya. Raya berjalan sedikit kearah tumpukan kursi yang sudah tidak layak pakai dan terkejut ketika melihat ternyata ada seseorang selain dirinya dan lebih dulu datang kesini.
“Revan?” tanyanya spontan, karena dia tahu bagaimana rupa lelaki itu bahkan hanya melihat dari punggung belakangnya saja. Merasa dipanggil, Revan menoleh dan terkejut ketika melihat Raya yang berdiri tak jauh darinya sambil melambaikan tangan kearahnya. Raya mendekat dan duduk disampingnya, melepas tas ransel dan memangkunya.
“Aku tak menyangka jika kau juga datang kemari. Ku pikir aku tidak bisa bertemu denganmu hari ini,” ujarnya tanpa menoleh kearah Revan.
“Kau mencariku?” Raya mengangguk, membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah sapu tangan dan diberikannya pada Revan.
“Aku mau mengembalikan ini. Terima kasih banyak Revan,” ucapnya, Revan melirik lalu mengambilnya dan memasukkan kedalam saku celananya.
Setelah itu maka tak ada lagi obrolan, Raya yang bingung mencari topik, dan Revan yang tampak tak peduli dengan sekitar.
“Ah iya,” Raya mengambil ponsel disaku celananya dan memberikan pada Revan, “Boleh ku minta nomor ponselmu?”
“Untuk apa?”
“Untuk …” Raya tampak menimang sebentar, benar juga untuk apa ia meminta nomor ponsel Revan. Namun pikirannya juga tetap bersikukuh untuk memiliki nomor ponselnya.
“Untuk hal darurat. Kau tahu? Mungkin saja kejadian tadi malam terulang kembali,” Revan langsung menatap datar Raya disampingnya.
“Aku tidak mau berurusan lagi denganmu. Tadi malam adalah yang terakhir,”
“Benar juga,” Raya menunduk, tangannya melemas. Merutuki apa yang ada dipikirannya saat ini, siapa juga yang akan selalu menolongnya. Revan hanyalah sebuah kebetulan. Mungkin semesta masih belum melihatnya jatuh tak berdaya. Benar, tentu saja begitu.
Raya terkesiap ketika ponsel digenggamannya diambil dan langsung menoleh, dilihatnya Revan menekan layarnya sebentar lalu meletakkan kembali ponsel ditangannya.
“Aku tak perlu mengatakan kapan waktu jam kerja untuk bisa dihubungi kan?” Revan menatap Raya yang mengangguk sangat paham sama apa yang dikatakan Revan barusan.
“Dan aku tidak suka diganggu diatas pukul enam. Dan jangan berharap aku akan selalu membantumu. Kita masih orang asing, jadi tolong jaga sikapmu.” Raya mengangguk kembali, entah kenapa tapi dia merasa senang. Bukan karena dia mendapatkan nomor ponsel dari salah satu pria tampan dikampusnya, bukan pula dia mendapat teman baru selain Jaka dan Putra. Namun Raya memiliki alasan untuk mengawasi Revan. Tentu saja karena dia adalah satu-satunya orang yang mengetahui rahasia tentang dirinya yang sudah susah payah disimpan rapat oleh dirinya sendiri. Raya bukan orang yang cerdas, tapi tidak pula orang bodoh yang tidak memahami sesuatu.
Ingatannya kembali saat pertama kali mereka bertemu, lalu tak sengaja memperebutkan bakso bakar dan berakhir membuat kesepakatan untuk tidak saling mengenal satu sama lain. Namun Raya tidak peduli, dia harus mengawasi Revan bagaimanapun caranya. Dan kebetulan yang kerap terjadi beberapa hari ini benar-benar membuatnya menjadi manusia kesukaan semesta. Raya diberikan kesempatan untuk semakin dekat dengan Revan, tentu saja untuk mengawasinya. Rasa takut itu masih sama, Raya masih tidak bisa jika suatu saat Revan akan membocorkan rahasianya di depan umum. Dan itu tentu saja tidak akan dibiarkan.
Maka saat ini, dengan senyum kemenangan, Raya menjulurkan tangannya untuk berjabat dengan Revan. Sebagai tanpa pertemanan bagi Revan, dan sebagai sandera pengawasan bagi Raya.
“Omong-omong, kau sering kemari?”
“Tidak.”
“Tahu tempat ini dari mana?”
“Tidak sengaja.”
“Selain kau, siapa lagi yang mengetahui tempat ini?”
“Tidak tahu.”
“Apa temanmu mengetahui tempat ini?”
“Tidak.”
“Apa yang kau selalu lakukan ditempat ini?”
“Tidak ada.”
“Apa kau tidak ada jawaban lain selain tidak?”
“Tidak.”
Raya mendengus kesal, obrolannya berakhir begitu saja. Dia harus membuat otaknya bekerja ekstra untuk mendekatkan diri dengan Revan.
“Apa kau punya kekasih?”
“Tidak.”
“Apa kau sekarang dekat dengan seseorang?”
“Tidak.”
“Apa aku boleh mendekatimu?” Pertanyaan Raya sontak membuat Revan terkejut dan menoleh cepat kearahnya dengan tatapan tajam. Tanpa ada rasa bersalah, Raya menatap Revan dengan wajah bingung.
“Ada apa?”
“Kau!” Revan menunjuk wajah Raya dengan jari telunjuknya.
“Jangan lakukan apa pun lebih dari ini!” perintahnya lalu menarik tasnya dan pergi meninggalkan Raya yang masih kebingungan dengan perubahan sikap Revan yang tiba-tiba.