Bab 6 Tanpa Sadar
Bab 6 Tanpa Sadar
Mengambil beberapa buku dari rak dan kembali ke meja tepat ditengah perpustakaan, Revan meraih earphone dari dalam sakunya. Dipasangkan dikedua telinganya dan memutar playlist kesukaannya dan menaikkan volume sedang. Revan siap untuk menikmati jam kosongnya dengan membaca, salah satu tempat kesukaannya dikampus ini. Sambil membolak-balik halaman, mata yang fokus memahami setiap kata yang tertuang disana, sesekali jarinya mengetuk lembaran buku mengikuti irama yang mengalun merdu dikedua telinganya. Revan menyukainya, sangat menyukainya.
Menyimpan kembali ponsel setelah membalas pesan singkat dari Jaka, Raya berjalan santai kearah rak yang tersusun buku teknik yang relevan dengan jurusannya. Kebetulan saat ini sedang ada jam kosong, Raya menyempatkan diri untuk menambah literasi pengetahuannya di perpustakaan kampus. Setelah mendapat apa yang dicarinya, Raya pergi mencari tempat kosong yang bisa ditempati hingga matanya tertuju kearah sebelah kanannya, terdapat kursi yang sepertinya belum ditempati. Dengan senang Raya menarik kursi lalu meletakkan tumpukan buku diatas meja.
Setelah duduk, Raya mengambil earphone dari saku jaket denimnya lalu memasang dikedua sisi telinganya, memutar lagu diinginkan lalu meletakkan ponsel diatas meja dekat dengannya. Sejujurnya Raya tak begitu peduli dengan sekitar, tanpa tahu bahwa dia duduk tepat disamping Revan yang juga tidak tergubris karena kedatangan seseorang, karena pikirnya ini merupakan tempat umum. Dia juga sedang mendengarkan lagu saat ini.
Selamat hampir tiga puluh menit membaca, Raya maupun Revan menghentikan bacaan, menutup bukunya dan menggeser hingga didepannya hanya meja kosong. Sama-sama menghembuskan nafas karena lelah, baik Raya maupun Revan menumpu kepalanya diatas lengan yang dibentang diatas meja. Revan menghadap ke kanan, dan Raya yang menghadap ke kiri. Masih tidak mengetahui siapa yang berada disampingnya, hingga ketika kepala sudah merasa nyaman dan membuka kedua mata. Baik Raya maupun Revan sama-sama terkejut, saling bertatapan. Bola mata keduanya membesar, niat hati ingin memutuskan pandangan, namun yang terjadi adalah mata yang saling menatap. Saling mengunci dengan musik yang masih berputar dimasing-masing ponselnya.
Seolah waktu berhenti, pun mendadak disekitar menjadi buram—hanya terfokus pada satu sama lain. Baik Raya maupun Revan tak bergeming satu barang pun. Degup jantung yang berdetak anomali, berikut dengan kelopak yang tak berkedip. Selama hampir dua menit mereka saling menatap tanpa ada niatan untuk memutus pandangan satu sama lain. Hingga suara derit kursi di depan mereka berbunyi, keduanya sontak memutus kontak dan duduk dengan tegap. Buru-buru melepas earphone masing-masing, Raya maupun Revan masih diam tak bersuara.
“K-Kau disini?”
“Ya.”
“Sejak kapan?” Raya gelagapan seperti ketahuan sesuatu.
“Satu jam?” Revan lalu menatap Raya datar, “Kau sendiri?”
“A-Aku?” Revan hanya membalas mengangguk.
“A-Aku juga hampir satu jam disini,” balasnya kikuk, sungguh bagaimana dia bisa tidak mengetahui kalau Revan juga sedang duduk sampingnya. Apa sebegitu apatis dirinya tidak mengenali mahasiswa dikampusnya sendiri? Namun melihat reaksi Revan yang tampak tidak peduli, Raya sedikit merasa lega.
Revan kembali memasak pengeras suara berkabel itu ditelinganya, membuka buku yang tadi sempat ditinggalkan. Raya yang kemudian mengerjap beberapa kali langsung tersadar dan duduk tegap di kursinya. Kembali mendengarkan lagu yang sempat berhenti, dan membuka kembali buku tekniknya, Raya berusaha tak terlalu memikirkan hal tadi. Namun entah kenapa jantungnya tak berdegup secara normal kembali.
“Tenanglah jantung … kau mau membuatku tampak bodoh didepannya?” gumamnya dalam hati sembari menepuk pelan dadanya, tak berani melirik Revan yang sudah kembali dengan dunianya.
Berbeda dengan Revan yang tangannya sedikit meremat buku yang dibacanya, memejam kedua matanya dan menghirup nafas kuat, lalu dihembuskan dan membuka matanya. Revan kembali membaca bukunya, sambil memaksa dirinya untuk menenangkan jantungnya yang berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya.
***
Menutup buku dan melakukan peregangan pada kedua tangan dan kepalanya, Revan melepas pengeras suara di telinganya. Melirik jam tangannya, “Ternyata sudah sangat lama aku disini,” gumamnya, tubuhnya tak sengaja menghadap kearah kanan dan terdiam melihat Raya yang ternyata tertidur diatas buku yang ia baca dengan menghadap kearahnya, dengan earphone yang masih terpasang, wajahnya tampak tenang. Tangan terulur melepas tali berwarna putih itu, dan ternyata si empunya tidak merasa terganggu.
“Habis ngapain dia? Tidurnya nyenyak sekali,” gelengnya sambil meletakkan kabel diatas meja dekat dengan ponselnya. Menumpu dagu dengan tangannya, Revan kembali menatap Raya yang masih tertidur pulas. Tak berekspresi apapun, ia hanya melihat, pun tidak berniat membangunkan—padahal sudah jelas ini adalah bukan tempat tidur. Namun bak tersihir, Revan juga tak bergerak, mata yang menatap lekat, Raya yang tidur dengan sangat tenang, terlihat dari hembusan nafas yang terdengar samar ditelinganya.
Tangan satunya merapikan rambut yang menjuntai bebas diwajah Raya, sangat pelan, benar-benar tak ingin gadis didepannya terusik satu barang pun. Hingga tanpa sadar sudut bibir yang tertarik di wajah tampannya, Revan tersenyum. Sungguh gila dengan hanya melihat orang tidur dia bisa tersenyum. Sungguh gila dengan apa yang terjadi padanya hari ini. Sepertinya Revan ingin terus menatap gadis didepannya tertidur didepannya, namun getaran pada ponsel yang dekat dengannya membuyarkan semua imajinasinya, Revan yang tersentak mengambil ponsel dan menggeser tombol terima.
“Kau dimana? Masih diperpustakaan?”
“Ya.”
“Cepat kembali, ada yang mencarimu.”
“Aku sibuk,” balasnya dengan mata yang enggan berpaling.
“Sibuk? Baiklah, aku akan-“
“Aku segera kesana,” Revan menutup panggilan sepihak dan bergegas berdiri dan pergi dari sana, setelah melihat Raya yang tiba-tiba bangun tanpa memberinya aba-aba. Dengan tergesa Revan mengembalikan buku ke tempat asalnya lalu pergi keluar perpustakaan.
***
“Sudah selesai?” Raya tertawa kikuk ketika dirinya telat datang hampir tiga puluh menit untuk menemui Jaka dan Putra.
“Aku tadi tertidur,” kekehnya lalu menyatukan kedua telapak tangannya dengan wajah yang dibuat seperti anak kecil, “Maafkan aku ya, teman.”
“Masih mengantuk?” tanya Putra dan dibalas gelengan oleh Raya.
“Sudah lebih baik. Tadi aku tidur nyenyak sekali, jadi aku bisa mengerjakan tugas malam ini.”
“Baguslah, ini minuman untukmu,” Jaka memberikan minuman berkafein dan diterima dengan senang oleh Raya.
Sambil menunggu jam kuliah selanjutnya, tiga sekawan bertukar cerita dan sesekali melempar candaan. Memori yang secara mendadak terlintas dipikirannya, Raya kembali memikirkan bagaimana dirinya dan Revan bertemu diperpustakaan tadi. Hingga dirinya malu dan tak sengaja tertidur ketika dengan serius membaca buku. Raut wajah berubah cemas, memikirkan apakah Revan sudah pergi sebelum dia tertidur atau tidak, pasalnya akan sangat memalukan jika dia melihatnya tidur pulas tidak tahu tempat itu.
“Ray? Kenapa? Memikirkan sesuatu?”
“Aku tidak apa-apa, tidak usah khawatir.” Putra mengangguk setelah melihat Raya yang tersenyum padanya, pun kembali meladeni guyonan yang dilakukan oleh Jaka.
Tristan terus memperhatikan Revan yang sejak datang tadi, mengikuti kelas dengan serius, dan selesainya jam perkuliahan pun, tidak berinteraksi seperti biasanya.
“Kau kenapa?” Revan menatap Tristan dengan bingung.
“Sejak kembali dari perpustakaan tadi, kau banyak diam. Apa yang terjadi disana?”
“Tidak ada.”
“Lantas?”
“Tidak ada apa-apa. Urus urusanmu sendiri.” Balas Revan kemudian memainkan ponselnya dan total mengabaikan Tristan yang sudah menatapnya emosi.
“Omong-omong, bagaimana tadi? Apa kau menerimanya?”
“Menerima apa?”
“Ajakan dari Lia, mahasiswi jurusan administrasi? Tadi dia mengajakmu jalan kan? Kau terima?”
“Apa aku terlihat punya banyak waktu untuk menerima ajakannya?”
“Tentu saja. Kau kan tidak punya kerjaan selain belajar,” jawaban Tristan yang terbilang santai membuat Revan kembali menatapnya tajam, seolah ingin membunuh.
“Apa? Kenapa kau menatapku begitu? Apa aku salah?”
“Menurutmu?”
“Sama sekali tidak. Ini hanya ajakan pergi, bukan ajakan nik- Aduh!” Tritan meringis ketika kepalanya dipukul oleh kepalan tangan kosong Revan.
“Kalau bicara itu disaring dulu. Dari pada buang-buang waktu seperti itu, kenapa kau tidak memikirkan rencana masa depanmu!”
“Tapi kau tidak perlu memikirkannya kan? Kau kan menjadi penerus tunggal perusahaan ayahmu.” Revan yang kini bungkam setelah mendengar jawaban Tristan kembali memainkan ponselnya, tak menjawab.
“Kenapa? Ucapanku benar kan? Kau akan menjadi penerus perusahaan ayahmu?”
“Tidak.”