Bab 7 Sebuah Undangan
Bab 7 Sebuah Undangan
“Ray, hari ini datang ke acara ulang tahun Laras?”
“Tidak tahu.”
“Ikut saja, sekali-sekali berbaur dengan perempuan. Jangan dengan ku atau Putra terus,” Raya memicingkan matanya menatap tajam Jaka yang sedang menegak air minumnya.
“Kau mengusirku ya? Kau tidak mau berteman lagi denganku?”
“Bukan begitu maksudku, dasar bodoh!” Jaka mencubit kedua pipi tembam milik Raya hingga si empu meringis, dan Putra hanya bisa menggeleng menanggapi bagaimana kedua insan berbeda gender ini saling bertengkar tidak tahu waktu dan tempat.
“Apa yang dikatakan Jaka benar lho Ray. Sekali-sekali berbaur dengan lainnya, tidak masalah kan?” Raya tampak diam, berfikir lalu menghembus nafasnya berat.
“Benar juga,” ujarnya, “Baiklah. Aku akan datang, kapan sih?”
“Besok lusa,” Raya kemudian mengangguk.
Tristan memberikan ponselnya pada Revan, “Kau ikut kan?”
Revan membaca pesan diponsel Tristan lalu menggeleng.
“Tidak datang? Kenapa? Jarang sekali ada mahasiswi yang mengundang satu angkatan, semua jurusan untuk datang ke acara ulang tahunnya. Ayolah, sekalian mendekatkan diri dengan yang lainnya, kau tahu kan? Ada banyak sekali jurusan di kampus kita, tapi kita hanya mengenal beberapa diantara mereka, menyedihkan,” suara Tristan semakin pelan ketika menyadari realita yang terlambat disadarinya disaat tahun ketiga masa perkuliahannya.
“Kau saja yang pergi, kenapa?”
“Ya gak asik dong, Revan! Kau kira setibanya aku disana aku langsung mendapat teman, begitu?” Tristan tertawa sarkastis tepat didepan Revan lalu menepuk pundaknya beberapa kali.
“Kau tahu, aku tidak bisa melakukan apapun tanpamu temanku, alias aku ini ibarat sebuah kentang, kau tahu kan?”
“Kentang juga enak kalau bisa mengolahnya.”
“HEY!!!” Tristan berteriak frustasi, guyonan yang dilontarkan Revan dengan ekspresi datar seperti itu sama sekali tidak lucu, sangat tidak lucu.
“Kapan acaranya?”
“Besok lusa. Aku akan mengingatkanmu tenang saja. Kau hanya perlu membawa tubuhmu dan berpakaian yang bagus, maka semuanya akan baik-baik saja.”
“Aku tidak janji.”
“Kau bilang begitu pun, aku tetap akan menyeretmu pergi tuan muda.”
***
Raya membuka lemari pakaiannya, menatap sebentar beberapa pakaian yang digantung rapi didalamnya, menelisik sambil berfikir konsep seperti apa yang akan dipilihnya. Mengambil satu dan mencocokkan dengan tubuhnya di depan cermin, Raya menggeleng meremehkan, “Astaga! Jelek sekali,” lalu memilih kembali dan mencocokkannya lagi ke tubuh rampingnya. Hingga hampir lima belas menit berlalu namun ia masih belum menemukan pakaian yang cocok untuk dikenakan ke acara ulang tahun teman sejawatnya itu.
“Aku menyerah!!” teriaknya setelah merebahkan diri diatas tempat tidur kecilnya, mengambil ponsel yang bergetar disamping kepalanya, Raya membuka pesan dari Putra yang ternyata sudah berada di depan kost-nya.
“Kenapa kau datang cepat sekali?” Putra tidak menjawab melainkan memindai penampilan Raya yang dia yakini belum ada perubahan yang lebih baik untuk pergi ke acara ulang tahun temannya itu.
“Kau belum bersiap juga?”
“Aku belum menemukan pakaian yang cocok. Sepertinya aku tidak jadi datang, maafkan aku ya. Sampaikan maafku pada Laras.”
Putra yang sudah menduga hal ini akan terjadi menarik Raya keluar dari halaman kost-nya, dan Raya yang sontak terkejut buru-buru menutup pintu dibelakangnya.
“K-Kau mau apa Putra? Hei!”
“Kita akan membeli pakaian untukmu, dan merubah sedikit penampilanmu.” Ujarnya yang selanjutnya mendapat penolakan oleh Raya namun tetap dipaksa Putra hingga Raya menyerah.
Putra membawa Raya ke sebuah butik disekitar kediamannya. Raya menelan ludahnya kasar, pasalnya butik yang mereka datangi sangat mewah, Raya semakin tertegun ketika melihat kedatangan satu wanita berseragam rapi yang cantik menyambut mereka berdua.
“Ada yang bisa saya bantu?”
Putra mendorong Raya sedikit kedepan, “Tolong pilihkan gaun yang cocok dengannya, hari ini kami akan pergi ke acara pesta. Tolong jangan terlalu terbuka ya, dan pastikan dia nyaman memakainya,” wanita itu mengangguk mengerti lalu mengajak Raya untuk ikut dengannya, Raya menatap Putra, menggeleng dengan ekspresi meminta pertolongan, namun Putra hanya tersenyum sambil mengacung dua ibu jarinya.
“Semoga berhasil.”
“Sialan kau Putra!” Raya mengumpat dalam hati sambil menatap tajam Putra yang kini hanya terkekeh sambil melambaikan tangannya.
Menunggu sekitar hampir dua puluh menit, akhirnya Raya selesai memilih pakaian yang dipilihkan untuknya. Suara derap langkah berat memecah keheningan hingga membuat Putra menengadah kepalanya, wajahnya terkejut ketika Raya mendekatinya dengan balutan gaun pendek selutut berwarna merah muda yang terkesan lembut dengan bahan satin membungkus tubuh rampingnya secara sempurna, ditambah dengan aksesoris anting berbentuk hati dengan detail berlian disana, semakin lengkap dipadukan dengan tas jinjing kecil berwarna putih dan sepatu hak tinggi yang menghiasi kaki jenjangnya dengan warna serupa. Putra hampir melupakan fakta bahwa Raya adalah seorang gadis yang berteman lama dengannya.
“B-Bagaimana? Aneh kan? Aku tahu ini akan menjadi-“
“Cantik.” potong Putra cepat, “Kamu sangat cantik Raya.”
Wajah Raya seketika memerah, jarang sekali dia puji seperti itu, walau itu keluar dari mulut temannya sendiri, “B-Benarkah? Kau tidak bercanda kan Putra?” tanyanya kikuk sembari menatap dirinya sendiri dari ujung kakinya.
“Apa wajahku terlihat seperti sebuah candaan untukmu Raya?”
“Tidak sih.” Raya sungguh malu sekarang, Putra menatapnya intens sekali, apa dirinya memang secantik itu?
“Kau nyaman Ray? Kalau itu tidak membuatmu nyaman, kita bisa mengganti dengan yang lain,” Raya menggeleng, melihat kembali penampilannya sendiri.
“Ini nyaman untukku, aku memang sudah lama sekali tidak memakai gaun seperti ini, dan …” Raya melirik kebawah—melihat sepatu hak tinggi yang dipakainya.
“Aku juga sudah lama tidak menggunakan sepatu hak tinggi. Tapi ku rasa, aku akan baik-baik saja.” Putra mengangguk paham, lalu berjalan kearah kasir untuk membayar, dan tak lama kembali lalu menggenggam tangan Raya.
“Kita mau kemana?”
“Pemberhentian selanjutnya adalah tempat untuk menata rambut dan merias wajahmu, temanku” ujar Putra dan Raya hanya diam mengikuti.
***
“Hei Revan!! Bangun!!” Tristan memukul Revan yang masih bergelung nyaman diatas tempat tidurnya, seperti yang diucapkan Tristan bahwa jika dia akan menyeret Revan untuk membawanya pergi ke acara ulang tahun temannya. Revan tinggal sendiri di apartemennya, dan salah satu orang yang mengetahui kata sandi apartemen selain orang yang bertugas untuk membersihkan apartemennya, adalah dirinya.
Tristan dan Revan berteman sangat lama, dan Tristan adalah satu-satunya teman terdekatnya yang memiliki kepercayaan penuh oleh Revan. Maka seperti sekarang, Tristan yang datang bertamu ke apartemen Revan, masuk tanpa permisi setelah menekan kata sandi lalu berjalan santai kearah kamar dan menemui Revan yang masih terbaring sangat nyaman ditempat tidurnya. Maka tanpa aba-aba, Tristan mengambil bantal yang berlebih disekitarnya dan memukul Revan dengan sangat keras.
“Bangun!!!”
Revan yang terganggu akhirnya bangun dengan mata yang menusuk tajam, benar-benar sepertinya dia ingin membunuh Tristan saat itu juga.
“Kau apa-apaan sih!! Sudah tidak waras ya?!!”
“Lihat ini pukul berapa? Ayo kita tidak ada waktu, nanti terlambat.”
“Mau ke mana?” demi Tuhan Tristan rasanya ingin menghantam kepala Revan ke dinding saat itu juga, tetapi Tristan adalah makhluk Tuhan yang sabar. Maka dengan kesabarannya, dia menarik tangan Revan hingga berdiri dan membawanya ke kamar mandi dan mendorongnya sedikit.
“HEY!! Apa maksudmu, buka pintunya Tristan!!” Revan berusaha membuka pintu namun Tristan lebih dulu menahan knob pintu dari luar.
“Cepat bersihkan tubuhmu!! Jangan sampai terlambat!!” teriak Tristan dari luar hingga mendengar umpatan yang tak berhenti dari Revan dari awal hingga dia keluar dari kamar mandi.
“Sudah?” tanyanya santai dan Revan hanya berdecak kesal padanya.
“Brengsek!”
***
Kini Revan dan Tristan sudah berada di apartemen paling atas milik Laras, kerabatnya yang mengadakan acara ulang tahunnya dengan semeriah ini. Kedatangan mereka berdua, terkhusus Revan merupakan hal yang terbilang langka. Baru beberapa langkah mereka datang, namun sudah disambut hangat oleh teman mahasiswi lainnya, hingga membuat Tristan secara ajaib bisa tersingkirkan dari yang awalnya berada disamping Revan.
Tak ambil pusing, Tristan berjalan kearah Laras yang sedang melihat mereka dengan senyum hangatnya, “Selamat ulang tahun ya Laras,” ujarnya sambil menyerahkan sebuah bingkisan kado kecil dan diterima dengan senang hati oleh Laras.
“Terima kasih Tristan. Dan terima kasih juga sudah mau datang ke acara ulang tahun ku,” balasnya lalu melirik kembali kearah Revan, “Sepertinya acara malam ini akan sangat meriah.” Tristan yang berbalik lalu mengangguk setuju dengan ucapan Laras.
“Tentu saja. Bintang utamanya sudah datang.” Laras yang mengangguk setuju kemudian terdiam ketika maniknya melihat tepat kearah pintu masuk.
“Aku rasa bintang utama sebenarnya baru saja datang,” tambahnya sambil mengarahkan dagu dan diikuti oleh Tristan yang juga terkejut.
Revan masih berdiri disekitar pintu masuk, mengernyit ketika salah satu wanita di depannya terkejut menatap kearahnya—lebih tepatnya kearah belakangnya. Maka, kemudian Revan berbalik dan matanya tepat bertemu dengan milik Raya yang berdiri seorang diri diambang pintu masuk.
Revan dan Raya saling menatap, lebih tepatnya Revan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Seorang Raya yang kerap ditemuinya disetiap keadaan tidak disengaja, dengan penampilan yang hanya menggunakan kaos kebesaran atau dilengkapi jaket denim, dan celana denim lainnya. Kini Revan diharuskan terpukau dengan penampilan Raya yang jauh dari biasanya, tentu saja kearah yang lebih baik. Lebih tepatnya, Raya terlihat cantik dimata Revan malam ini.