Bab 10 Hari Minggu
Bab 10 Hari Minggu
Raya yang baru saja keluar dari kamar mandi dikejutkan oleh Putri, penghuni kost yang sama dengannya, “Hei! Kau mengagetkanku Put, ini masih pagi,” Putri yang berdiri menyandar disisi pintu tak peduli, sambil bersedekap dada sambil memegang keranjang berisi peralatan mandi dan handuk yang tersampir dilengan kanannya.
“Kalian berbuat apa tadi malam?” pertanyaan yang dilontarkan Putri lantas membuat Raya bingung untuk sesaat, lalu baru menyadari bahwa dirinya menampung seseorang dikamarnya.
“B-Berbuat apa? Bicaramu itu.”
“Tapi pria yang kau bawa itu tampan juga, temanmu?”
“Iya.”
“Sudah punya kekasih?” Raya mengedikkan bahu acuh tak tahu menahu perihal kisah asmara Revan.
“Bagus kalau begitu, setidaknya kau tidak mendapat masalah karena membawa kekasih orang kesini,” Putri melenggang melewati Raya dan masuk kedalam kamar mandi, mendapat giliran untuk membersihkan diri setelah Raya yang baru saja selesai.
Raya kembali masuk kedalam kamar, terdiam mendapati Revan yang masih tertidur pulas diatas tempat tidurnya, diliriknya jam dinding menunjukkan angka delapan. Raya berkacak pinggang dan menatap heran pria yang masih bergelung dimimpinya itu.
Revan meregangkan kedua tangan dan tubuhnya lalu membuka kedua matanya, menyesuaikan pencahayaan yang tiba-tiba terang benderang. Alis menukik tajam melihat langit-langit ruangan yang terasa asing, Revan baru tersadar bahwa dia tidak sedang berada di apartemen miliknya. Lalu dengan secepat kilat dia bangun terduduk dan mendapati Raya yang duduk tak jauh darinya sedang memandang dirinya, “Selamat pagi pangeran tidur.”
Revan memalingkan wajah, mata berpendar mencari objek lain agar tidak bertemu dengan Raya. Dirinya malu setengah mati saat menyadari bahwa dia tidur dengan orang asing yang baru beberapa hari dikenalnya. Wajahnya memanas dan mungkin sedikit merah. Raya yang sadar suasana kian canggung, memberikan satu keranjang berisi sabun mandi dan shampo sachet dengan merk khusus pria—lengkap dengan sikat gigi dan odol untuk Revan, “Nih, mandi dulu. Pakaianmu masih belum kering, kebetulan pakaian Jaka berlebih disini. Pakai itu dulu, dan kamar mandi ada disebelah kanan di ujung. Aku akan menunggumu disini, kita akan mencari sarapan diluar sekalian aku mau olahraga.”
“Aku harus segera pulang-“ ucapannya berhenti ketika suara gemuruh dari perutnya berbunyi cukup keras, Raya yang sudah tidak sanggup menahan tawanya menggoyangkan keranjang yang masih berada ditangannya kearah Revan. Dan dengan gerakan gesit Revan merampas keranjang beserta handuk mandi dan pakaian bersih lalu berlari keluar kamar. Saat itu juga Raya tertawa sangat keras hingga terpingkal.
***
Kini Revan dan Raya sudah berada diteras depan kost, setelah meminta maaf karena menumpang dengan sang ibu kost—yang ternyata diterima sangat baik, bahkan beliau menawarkan sarapan dirumahnya, namun ditolak halus oleh Raya dengan alasan bahwa ia akan mencari sarapan diluar sekalian berolahraga pagi, rutinitas pagi setiap hari minggunya jika tidak ada tugas yang menanti. Berjalan santai sekitar tiga meter, sambil meregangkan kedua tangan, Raya menyikut Revan yang hanya diam mengikuti langkahnya.
“Hei! Kau tidak ikut berolahraga?”
“Di mana tempat sarapan?” mendengar jawaban Revan yang balik bertanya dengan dingin, Raya langsung menyipit tidak suka, diarahkan dagu kearah depan dengan sama angkuhnya.
“Diujung jalan, ada tempat jualan sarapan pagi disana,” Revan kembali diam dan terus berjalan, tidak peduli pada Raya yang sudah tersungut emosi pagi hari.
“Kau tidak biasa olahraga pagi ya?”
“Tidak juga.”
“Cuaca hari ini cerah sekali. Udara di sini juga belum terpapar polusi. Tidur ditempat tidur sederhana tadi malam pasti membuat tubuhnya sakit.”
“Tidak.”
“Jadi kau menikmati tidurmu tadi malam?” Revan yang melirik kearah Raya, tidak membalas.
“Y-Ya…” balasnya canggung sambil menggaruk tengkuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
“Syukurlah kalau begitu,” ucap Raya lembut, ada perasaan lega ketika Revan menikmati tidurnya tadi malam, itu artinya ia tidak mengingat sama sekali apa yang terjadi.
Kembali beberapa jam lalu, Raya terbangun ditengah malam ketika mendengar suara isakan samar disampingnya, melihat Revan yang sedikit berkeringat dengan raut wajahnya seperti ketakutan, pun bergumam kata ‘tidak’ walau sangat pelan, namun masih bisa didengar oleh Raya.
“H-Hei, kau kenapa?” tanya Raya sambil menepuk pelan lengan Revan, dirinya terkejut ketika tangannya digenggam erat oleh Revan, tanpa membuka kedua matanya.
“J-Jangan pergi…Jangan pergi…” kata itu yang terus diucapkan Revan dalam tidurnya, membuat Raya semakin kebingungan, dia tidak tahu bagaimana caranya menenangkan orang yang tidak nyenyak dalam tidurnya, namun ketika ia teringat pernah membaca novel ketika ada adegan seorang wanita yang menenangkan suaminya dari mimpi buruk, dengan mengusap lembut kepalanya, menepuk pelan tangannya, dan mengatakan ‘aku tidak akan pergi. Semuanya akan baik-baik saja.’
Maka Raya memperagakan hal serupa, dimulai dari mengusap lembut kepala Revan, mengusap keringat di keningnya, kemudian menepuk pelan tangannya, Raya dapat melihat kerutan di keningnya perlahan mengendur, cara yang dilakukannya berhasil. Kemudian Raya bergumam pelan kearahnya, “Aku tidak akan kemana-mana. Semuanya akan baik-baik saja,” Raya mengucapkannya dua kali, hingga hembusan nafas Revan yang mulai teratur, berikut genggaman yang mengendur, dilihatnya wajah Revan dengan seksama, perasaan Raya sedikit lebih tenang karena Revan sudah mulai tenang dalam tidurnya. Dengan pelan Raya melepas tangannya dari genggaman Revan, namun ternyata Revan kembali mengeratkan kembali genggamannya.
“Ternyata tidak berhasil ya?” Raya mendesah pasrah, namun dilihatnya Revan yang kembali tidur dengan tenang, mungkin dia sudah jauh lebih tenang tetapi genggamannya tidak boleh dilepas. Maka dengan wajah frustasinya, Raya terpaksa mendekatkan dirinya hingga ia tidur berada disatu tempat tidur dengan Revan. Karena jika ia tetap memilih untuk tidur di matras, tangannya akan sakit karena jarak yang tidak terbilang pendek.
Tangan yang digenggam Revan di arahkan ke wajahnya, kini Raya dan Revan tidur berhadapan dengan penyatuan tangan mereka sebagai pemisah. Raya menjadi tidak bisa tidur, matanya menatap lekat wajah Revan, meniti detail mulai dari alisnya, bulu matanya yang panjang dan lentik, hidung mancungnya, dengan tahi lalat yang terdapat dipuncak hidungnya, bibir tipis sedikit berbentuk hati juga tak luput dari pandangan.
“Ku mohon, jangan pergi…” lirih Revan, sangat pelan dengan kedua mata yang masih terpejam, seperti bicara dalam mimpinya. Maka secara refleks Raya tersenyum dan tangan terulur menyentuh garis wajah Revan lembut.
“Aku tidak akan kemana-mana. Semuanya akan baik-baik saja,” lirihnya, dan entah sejak kapan keduanya terlelap hingga fajar menyingsing menyambut mentari di ufuk timur.
***
“Selamat pagi paman, aku pesan seperti biasa ya!” Ujar Raya ceria ketika mereka sudah sampai di warung kecil pinggir jalan untuk sarapan pagi.
“Siap neng!” diliriknya Revan yang masih diam dibelakang Raya.
“Cie, hari ini datang dengan pacarnya ya,” goda sang pemilik warung dan Raya langsung menggeleng tertawa.
“Dia temanku paman,” Raya menoleh kearah Revan, “Kau mau pesan apa?”
Revan membaca daftar menu yang tertempel didepannya, berfikir sebentar, “Aku pesan ini,” Raya melihat daftar menu yang ditunjuk Revan lalu mengangguk mengerti.
“Paman, makannya jadi dua porsi ya,” Revan menoleh cepat, apa maksudnya jadi dua porsi?
“Aku juga biasa memesan ini, karena kau juga pesan menu yang sama, jadi ya aku bilang dua porsi,” balas Raya sambil menunjuk daftar menu bertuliskan ‘lontong sayur’ disana.
Hampir sepuluh menit mereka menunggu, Revan melihat suasana pagi hari yang jelas jauh berbeda dengan lingkungannya. Banyak yang berlalu lalang dipagi hari begini, ada yang lewat berlari atau menggunakan sepeda, ada sekumpulan anak kecil yang bermain sepak bola ditengah gang yang dekat dengan warung, Raya melihat Revan yang fokus melihat sekitar menyikutnya, “Kau suka suasana disini ya?” tak menjawab, Revan hanya balas mengangguk.
“Kau bisa datang kesini kapan saja kalau ingin melihat suasana seperti ini lagi,” ucapan Raya membuat Revan menoleh, matanya seperti mengisyaratkan apakah dia boleh kesini walaupun hanya untuk melihat hal seperti ini?
“Kau sudah cukup familiar dengan situasi ini, kau juga sudah pernah sarapan di warung terkenal disini, kau sudah kenal dengan ibu kost, jadi tidak akan ada rasa canggung jika kau kembali lagi, kan?” tak sadar Revan tersenyum menatap Raya, senyumannya hangat, sangat hangat hingga membuat jantung Raya tiba-tiba berpacu sangat cepat. Ketampanan Revan terpancar dipagi hari ini.
“Terima kasih, Raya,” ucapnya gamblang, sangat lembut, dan tulus. Membuat Raya yakin jika semesta sedang baik hati memberikannya hari yang sangat baik padanya.