Bab 11 Sakit
Bab 11 Sakit
“Kantin?” Tristan memutar posisi tubuhnya kebelakang dan mendapati Revan yang sedang merapikan buku perkuliahan kedalam tasnya.
“Duluan saja, aku masih ada urusan.”
“Ke atap?” Revan mengangguk dan tetap melanjutkan memasukkan kembali buku kedalam tasnya.
“Akhir-akhir ini kau sering ke atap. Ada sesuatu disana?”
“Tidak.”
“Lalu?” Revan yang baru saja menutup ritsleting tasnya dan beranjak dari kursinya.
“Aku akan menghubungimu lagi. Aku duluan,” ucap Revan sembari melambaikan tangannya dan menjauh pergi meninggalkan kelas, membuat Tristan hanya geleng-geleng kepala.
“Hi, kak,” Revan mengangguk juga tersenyum tipis ketika beberapa mahasiswi dibawah tingkatnya atau yang seangkatan dengannya menegurnya sepanjang selasar kampus, sampai dirinya melewati koperasi kampus dan berhenti.
“Apa aku beli beberapa cemilan dan minuman dulu hari ini?” gumamnya dalam hati, dan melangkah masuk kedalam koperasi, Revan berjalan diarea rak makanan ringan, susunan biskuit mulai dari ukuran kecil hingga ukuran besar terpampang rapi didepannya, hingga pandangannya tertuju pada biskuit perisa cokelat didepannya—Revan berhenti dan mengambil dua bungkus, lalu melangkah pindah ke area rak minuman, kemudian mengambil lagi dua botol berukuran sedang, dan akhirnya berakhir di kassa pembayaran.
Revan kembali berjalan kearah tangga darurat untuk naik keatas atap dan bertemu dengan kedua teman Raya yang sering bersama.
“Selesai mata kuliah ini mau menjenguk Raya?”
“Iya, mau beli buah dulu?”
“Iya lah, Raya juga titip makanan tadi,” ucapan terakhir yang terlontar dimulut Jaka tepat membuat Revan menjadi berjalan lambat—nyaris berhenti.
“Dia ... sakit?” gumamnya pelan, dan Revan terus berjalan kearah tangga darurat menuju atas.
Butuh sekitar lima belas menit untuk Jaka dan Putra membeli semua pesanan teman perempuannya itu, ditambah perjalanan hingga mereka baru sampai sekitar tiga puluh menit kemudian, Jaka keluar duluan dari mobil milik Putra dan mendapat sambutan selamat datang oleh gadis dihalaman depan, “Hi, Put,” sapa Jaka sambil melambaikan tangannya dan gadis yang sedang menyapu dihalaman itu tersenyum mengangguk membalas.
“Raya di kamarnya tuh, suruh makan dulu, udah waktunya makan siang, tadi makannya hanya sedikit,” Jaka mengangguk mengerti lalu permisi masuk ke dalam dan disusul oleh Putra yang juga sempat menyapa Putri. Bertemu dengan sang pemilik yang disambut baik dan ditawari minuman, Jaka dan Putra melanjutkan langkahnya ke kamar milik Raya.
Knob pintu dibuka pelan, Jaka dan Putra mendapati Raya yang sedang duduk menyandar dengan laptop di depannya, sadar akan kedatangan seseorang Raya mendongak dan tersenyum kemudian melambai untuk mendekat, “Sudah datang?”
“Bagaimana keadaanmu sekarang?”
“Sudah lebih baik, mungkin besok aku akan masuk kelas,” Putra dan Jaka mengangguk lalu diletakkan makanan dan minuman serta buah-buahan disamping Raya.
“Putri bilang kau belum makan? Makan dulu, nih sudah kita bawakan,” Raya mengangguk lalu merangkak kearah rak peralatan makan untuk mengambil piring beserta sendok dan gelas plastik miliknya.
“Kalian sudah makan belum?”
“Sebelum datang kami makan dulu sebentar, makanya agak sedikit terlambat,” Raya mengangguk lagi lalu menyiapkan makanan yang dibungkus dengan rapi untuk disalin ke atas piring. Jaka melirik laptop milik Raya, “Kau nonton apa?”
“Frozen 2, sepertinya sudah mau selesai.”
“Aku cari film lain ya, kita nonton,” dan Raya mengangguk lagi sambil menyantap makan siangnya.
***
Revan duduk dengan kedua tangan sebagai tumpuan, pandangannya menghadap keatas bertemu dengan birunya langit beserta burung kecil yang beterbangan dan juga merasakan semilir angin yang berhembus menusuk pori-pori. Kantong yang berisi makanan dan minuman yang ia beli tadi diletakkan disampingnya, selama hampir tiga puluh menit namun Revan merasakan ada yang belum lengkap. Kepalanya refleks menghadap ke arah pintu sesekali seperti mengharapkan sesuatu akan datang, pun indera pendengarannya pun ikut berhalusinasi seolah ada yang tertawa di sampingnya atau dengusan napas teratur. Sadar ada yang tidak beres dengan dirinya, Revan menggeleng kepala dengan cepat beberapa kali, “Aku sudah gila. Lebih baik aku pulang sekarang,” gumamnya lalu beranjak dan pergi dari sana.
Ponsel berdering ketika Revan baru saja menarik tuas, “Halo?”
“Kau di mana? Tidak masuk kelas?” Revan terdiam ketika baru menyadari jika dirinya masih ada kelas hari ini.
“Aku akan bolos hari ini.”
“Apa? Tapi kenapa? Tumben sekali.”
“Aku ada urusan, sampai bertemu besok,” Revan mematikan sambungan telefon secara sepihak, melempar asal ponsel dikursi penumpang depan, lalu menarik tuas dan meninggalkan area parkiran mahasiswa.
“Terima kasih ya sudah menjenguk,” Jaka mengangguk sambil membersihkan kembali sampah makanan dan membuangnya di tempat sampah, Putra juga menyusun buah dan makanan ringan disamping tempat tidur Raya.
“Kalau butuh apa-apa kau bisa hubungi aku atau Jaka, buahnya dimakan ya,” ucap Putra dan Raya mengangguk patuh, membuat Putra tersenyum dan mengusap kepala Raya lembut.
“Kalau begitu kami pamit dulu. Sampai bertemu besok dikelas!” Jaka melambai tangannya diambang pintu dan disusul oleh Putra. Raya kembali merebahkan dirinya ketika kamarnya kembali sepi, menutup wajah dengan lengannya sambil mengepal kuat. Merutuki dirinya sendiri karena telah membohongi kedua temannya, tidak mungkin jika ia mengatakan alasan tidak masuk adalah karena kekebalan tubuhnya yang melemah dan mimisan hebat tadi malam. Itu tidak boleh terjadi, maka sekarang Raya kembali mengkonsumsi obatnya yang tidak dikeluarkan, menegak beberapa butir lalu meneguk air disampingnya. Kini ia ingin istirahat.
Revan terus menatap kedepan, membelah jalan, juga memutar stirnya kearah kanan, jalan yang bukan kearah kediamannya, hingga beberapa menit kemudian ia baru menyadari bahwa mobilnya terparkir dihalaman tempat tinggal Raya, maka setelah mematikan mesin mobilnya, dia menyandar lalu menghembuskan nafasnya berat, “Apa yang aku lakukan.”
Cukup lama Revan berada didalam mobil miliknya yang terparkir dihalaman depan, tersadar ketika kaca mobil diketuk beberapa kali dan Revan langsung membukanya, “Kau tidak mau turun?” seorang gadis bertanya dengan raut bingung dan Revan masih diam bingung jawaban apa yang bisa dia berikan.
“Sepertinya aku mengenalmu, sebentar,” gadis itu berpikir sejenak lalu senyum mengembang setelah mendapatkan jawabannya, “Kau kekasihnya Raya kan?”
“Apa?”
“Kau yang pernah menginap di kamar Raya kan?” ujarnya antusias dan dibalas gelengan cepat oleh Revan.
“Aku bukan kekasihnya!”
“Oh begitu. Kau mau menjenguk Raya ya?” lagi-lagi Revan tidak menjawab.
“Masuk saja, sekalian tolong lihat bagaimana keadaannya dan bilang padanya aku pergi sebentar ke depan, di rumah sedang tidak ada orang, aku khawatir padanya.” gadis itu berdiri dan menyuruh Revan untuk keluar dari mobilnya, kemudian mengulurkan tangannya.
“Kita belum sempat berkenalan. Namaku Putri, penghuni yang sama seperti Raya. Namamu?”
“Revan,” Putri pun mengangguk, lalu melepas jabatan tangan duluan.
“Baiklah Revan, aku akan menitip Raya padamu. Jadi tolong jaga dia sebentar ya, aku akan segera kembali,” Putri berbalik dan berjalan kearah sepeda motor miliknya lalu pergi meninggalkan Revan yang masih bingung dengan situasi sekarang.
Namun seperti diperintahkan, Revan masuk ke dalam dan berjalan ke arah kamar milik Raya. Mengetuknya beberapa kali namun tidak ada balasan dari dalam, “Apa dia tidak di dalam?” diketuknya pintu beberapa kali lagi, namun masih tidak ada jawaban hingga Revan akhirnya membuka memutar knob pintu dan melangkah kedalam, mata berpendar melihat sekeliling, tidak ada siapa pun di dalam.
Raya baru saja membasuh wajahnya, membersihkan hidungnya yang kembali mengeluarkan darah, “Untung saja keluarnya setelah mereka berdua sudah pulang, kalau tidak bisa bahaya,” batinnya dan kembali membasuh wajahnya. Raya melangkah kaki keluar untuk kembali kekamarnya, ketika ia melewati dapur kepalanya terasa berat, Raya meringis sambil memegangi kepalanya. Berusaha berjalan dengan sangat pelan, sampai kesadaran kian menghilang. Raya terjatuh dan tangannya tak sengaja menyenggol sebuah panci memasak di sana dan tergeletak jatuh diatas lantai.
“Ke mana dia?” gumamnya lalu mendengar suara benda jatuh dari arah belakang, membuatnya langsung berjalan ke arah sumber suara. Hingga ia sampai di dapur, matanya menelisik sampai retinanya melihat Raya yang terkapar diatas lantai, Revan buru-buru menghampiri dan menepuk pelan wajah Raya, “H—Hei, kau kenapa?” namun tidak ada jawaban, Raya tak sadarkan diri. Revan langsung menggendongnya dan kembali kekamar Raya dengan cepat.