Bab 12 Menjaganya
Bab 12 Menjaganya
Revan sampai di dapur, matanya menelisik sampai retinanya melihat Raya yang terkapar diatas lantai, Revan buru-buru menghampiri dan menepuk pelan wajah Raya, “H—Hei, kau kenapa?” namun tidak ada jawaban, Raya tak sadarkan diri. Revan langsung menggendongnya dan kembali kekamar Raya dengan cepat. Membaringkan tubuh lemah gadis digendongannya diatas tempat tidur miliknya, memukul pelan kedua pipi Raya dan menyeka sedikit keringat dipori-pori kulitnya. Revan berusaha untuk tidak panik, ia mencari ponsel milik Raya untuk menghubungi temannya, Jaka? Putra? atau gadis tadi? Maka tangannya meraba benda pipih itu disekitar tempat tidur lalu mengambilnya, suatu kebetulan ada panggilan masuk maka Revan langsung mengangkatnya.
“Halo?”
“Hal—sebentar, ini bukan Raya. Kamu siapa?”
“Aku Revan, Raya—“
“Ah…kamu pria tampan yang tadi. Tapi kenapa kamu yang angkat panggilannya? Raya kemana?”
“Raya…pingsan,” gumamnya pelan tapi cukup membuat suara diseberang sana terkejut.
“Aduh…Aku baru bisa pulang sekitar tiga puluh menit lagi. Begini, kau coba ambilkan minyak diatas nakas disamping tempat tidur Raya, biasanya dia selalu sediakan minyak disana. Apa kau menemukannya?” Revan langsung mencari minyak yang dimaksud diatas nakas kecil disamping tempat tidur.
“Aku menemukannya,” jawabnya sambil menggenggam botol kecil berwarna hijau tersebut.
“Bagus, sekarang kau gunakan minyak itu untuk membangunkannya. Kau tahu caranya kan?” mendengar penuturan suara diseberang membuat Revan terdiam bingung, sebab ia tidak pernah menggunakan minyak ini sebelumnya. Bagaimana caranya minyak ini dapat membangunkan Raya? Apa yang harus ia lakukan?
“Hey…kau dengar aku? Kau tahu caranya kan?” terdengar suara interupsi kembali menyadarkan lamunan Revan.
“Tidak. A—Aku tidak tahu bagaimana cara menggunakannya,” jawabnya polos sambil menggeleng yang hanya ia ketahui sendiri hingga terdengar suara desahan panjang dari seberang sana.
“Ternyata kau hanyalah orang kaya biasa ya,” gumaman yang terdengar putus asa dapat didengar Revan, “Baiklah, aku akan beritahu caranya, kamu harus mengikut apa yang ku perintahkan ya,” lanjutnya dan Revan mengangguk polos.
“Pertama, teteskan minyak itu diujung jari telunjukmu. Tidak usah terlalu banyak, secukupnya saja,” Revan mengikuti apa yang diperintahkan, mengeluarkan cairan dari botol itu secukupnya.
“Sudah ku lakukan.”
“Baiklah, sekarang gosok sekali dengan ibu jarimu lalu usapnya perlahan dibagian lubang hidung Raya. Dan lakukan itu beberapa kali, sampai dia bangun.”
“Kalau dia tidak bangun juga?”
“Lakukan hal sama sekali lagi.”
“Baiklah,” Revan menggosok jari telunjuk dengan ibu jarinya, lalu mengusap pelan bagian lubang hidung Raya yang masih terbaring lemah, diusapnya beberapa kali namun belum ada tanda-tanda Raya akan bangun.
“Bagaimana?”
“Raya masih belum siuman.”
“Kalau begitu, lakukan hal yang sama sekali lagi, kali ini coba tahan jarimu pas dilubang hidungnya, biarkan dia menghirupnya,” Revan mengangguk lalu melakukan hal yang sama sekali lagi, menuangkan cairan ke jari telunjuknya, lalu digosok dengan ibu jari dan ditahan pada lubang hidung Raya. Cukup lama sampai akhirnya Revan melihat kerutan samar dari kening Raya, berikut mata yang terbuka perlahan.
“Berhasil, Raya sudah bangun,” Revan tersenyum spontan melihat Raya sudah membuka kedua matanya walaupun masih sedikit sayu dan masih linglung.
“Baiklah, kau tolong jaga dia sebentar, aku akan kembali,” lalu sambungan terputus, Revan masih melihat Raya yang meringis memegangi kepalanya dan berniat untuk bangkit namun ditahan oleh Revan.
“Jangan bangun dulu, kau baru sadar,” Raya terkejut melihat Revan berada disampingnya, bola matanya terbuka lebar.
“R—Revan? K—Kenapa kau disini?” tanya Raya cepat sambil melihat sekelilingnya untuk memastikan ia berada ditempat tinggalnya sendiri.
“Aku….” Revan menggaruk belakang kepalanya, memikirkan jawaban yang tepat, dia baru menyadari kalau tidak memiliki alasan kenapa ia bisa berakhir disini.
“Terima kasih,” Revan menatap Raya yang tersenyum padanya.
“Kau pasti yang membawaku ke kamar dan menolongku,” ucapnya seraya melirik botol minyak yang masih digenggam oleh Revan hingga membuat laki-laki tampan ini buru-buru mengembalikan ketempatnya semula.
“Kau masih lama disini?” tanya Raya kikuk, sebab ia tidak tahu kenapa Revan bisa berada dikamarnya dan apa yang akan dilakukannya.
Revan berdeham sebentar lalu membenarkan posisi duduknya sedikit menjauh, “Temanmu menyuruhku untuk tetap disini sampai dia kembali.”
Kening mengkerut bingung, namun kemudian Raya memahami, “Ah…kau sudah bertemu Putri rupanya. Baiklah kalau begitu,” gumamnya lembut, “Kalau begitu sebentar ya, biar kubuatkan minuman untukmu,” ucap Raya lalu beranjak dari tempatnya namun ditahan oleh Revan.
“Tak usah, aku membawa minuman. Kau baru saja sadar, kepalamu masih sakit,” ucapnya datar dan Raya mau tidak mau kembali duduk, menurut dan dilirknya kantong plastik disamping Revan lalu mengangguk.
Suasana setelahnya menjadi canggung, dua insan yang masih duduk termenung, tidak ada obrolan lagi. Berakhir pada ponsel masing-masing. Terkadang, Raya mencuri pandang pada Revan, demikian pula Revan melakukan hal yang sama. Hanya suara kipas angin yang menyala ditengah mereka. Beberapa menit berlalu dengan sangat lambat, hingga gemuruh yang membuat Revan dan Raya spontan saling menatap, lalu pandangan turun kearah perut keduanya. Diam sebentar lalu saling membuang buka, merutuki dirinya sendiri.
“Sial, aku lupa belum menyantap apapun hari ini,” batin Revan.
“Padahal aku sudah makan, kenapa lapar lagi, sih!” batin Raya.
Keduanya masih diam dan Revan melirik kantong plastik yang terbawa dengannya, diambilnya plastik dan diberikan kepada Raya, “Aku hanya bawa ini, makanlah.”
Raya menatap kantong plastik dan beralih ke arah Revan, “Tapi inikan milikmu, kau yang seharusnya makan.”
“Aku membeli lebih.”
“Membeli lebih? Kau mau memberikan pada seseorang?” Revan tidak menjawab, melainkan membuka plastik dan mengeluarkan isinya, satu bungkus makanan dan satu botol minuman diletakkan didepan Raya, dan mengeluarkan sisanya untuk dirinya.
“R—Revan?”
“Makanlah,” ucapnya membuat Raya mau tidak mau menurut.
Dan kembali lagi, suasana sunyi yang menemani, namun kali ini tidak terasa lebih sunyi karena adanya suara kunyahan dari keduanya, dan mereka makan dengan tenang, tidak bicara. Hanya makan menikmati milik masing-masing.
Revan melihat Raya sudah selesai dengan makanannya, maka ia mengambil bungkusan sampah yang langsung ditahan oleh Raya, “Mau ngapain?” Revan tak menjawab, hanya mengarahkan mata dan dagunya kearah sampah makan milik Raya.
“Tidak usah, aku bisa buang sendiri, kemarikan kantong plastiknya,” pinta Raya dan Revan menurut, diambilnya kantong plastik yang sudah berisi sampah makanan miliknya dan diberikan pada Raya. Setelah selesai Revan mengambil kembali dan membuangnya ke tempat sampah yang berada disudut kamar Raya.
“Kau tidak perlu melakukan itu.”
“Ini bukan masalah besar,” jawabnya singkat.
“Revan?” cicit Raya hingga membuat Revan menoleh tanpa ekspresi.
“Aku sudah baik-baik saja sekarang. Kalau kau ada urusan kau boleh pergi. Tapi aku bukannya mau mengusirmu, sungguh. Hanya saja…ini terlalu canggung,” gumam Raya pelan sambil menunduk, tidak menatap Revan.
Revan masih diam, hanya menatap Raya tidak menjawab pertanyaan gadis yang masih menunduk didepannya. Memikirkan apa yang harus dilakukannya sekarang, meninggalkan gadis yang sedang sakit ini sendirian sembari menunggu temannya kembali, atau pergi dan tidak peduli terhadap apapun seperti biasa? Semua itu kini berkecamuk dalam pikirannya, hingga satu pertanyaan yang terlontar begitu saja mengingat apa yang baru saja terjadi satu jam lalu.
“Kau sakit apa?” Raya terkejut dan langsung menoleh kearah Revan, “A—Apa?”
“Kenapa kau bisa pingsan? Apa yang terjadi padamu?” Raya total bungkam, matanya berpendar kearah lain sambil memikirkan jawaban yang masuk akal.
“A—Aku lagi tidak enak badan hari ini. Aku juga tidak masuk kelas hari ini.”
“Sekarang bagaimana keadaanmu?”
“Seharusnya sudah lebih baik, namun sepertinya besok aku akan izin tidak masuk kelas lagi.”
Revan kembali diam, tampak berfikir sesuatu mengenai Raya, namun ia tidak menemukan jawabannya. Maka hanya helaan nafas yang keluar beserta angguka mengerti atas jawaban Raya, “Semoga lekas sembuh.”
Raya menatap Revan bingung, baru saja ia diucapkan ‘semoga lekas sembuh’?
“T—Terima kasih,” jawab Raya dan pintu kamar terbuka menampakkan Putri yang berdiri diambang pintu.
“Hey, bagaimana keadaanmu?” ucapnya santai dan dibalas anggukan oleh Raya memberikan gestur bahwa ia baik-baik saja sekarang.
Pandangan Putri kini beralih pada Revan yang ikut menatapnya, “Terima kasih ya,” ujarnya sambil tersenyum dan Revan balas mengangguk.
Revan lalu beranjak, dan mengambil tasnya, “Kalau begitu aku pamit dulu, kau juga sudah kembali,” Putri mengangguk lalu menyuruh Raya yang mengantarkannya kedepan atau dia.
“Biar aku saja,” ujar Raya cepat lalu ikut bangkit dan segera berjalan keluar dan disusul oleh Revan.
Kini mereka berdua sudah dihalaman depan terhalang oleh pagar pembatas, “Sekali lagi terima kasih Revan,” Revan mengangguk dan berbalik menuju mobilnya, namun beberapa langkah ia berbalik dan menatap Raya.
“Ada yang terting-“
“Aku akan kembali besok,” ujarnya cepat, membuat Raya bahkan belum sempat menjawab namun Revan sudah lebih dulu masuk kedalam mobil miliknya.
“A—Apaan maksudnya?” tanya Raya bingung namun ia tidak bisa menahan rona merah yang mencul mendadak diwajahnya.