Bab 8
Eh liat tuh, kak Farrel dateng bareng kak Retha
Eh, pelipis ka Farrel bedarah!
Idih, udah kak Radit, trs sekarang kak Farrel.
Kapten futsal di embat, kapten basket juga. Padahal cuman ketua PMR, kok bisa ya ngalahin kak Cindy si kapten cheer's?
Eh, isunya kak Retha yang cari perkara sama kak Farrel
Gue kira kak Retha bakalan sama kak Radit. Ternyata
Sampe berantem sama Nadira loh!
Gila banget, kemaren dia dibelain kak Vanesha. Padahal dari sabang sampe merauke juga tau kak Vanesha suka sama kak Farrel
Eh-eh, diem! Orangnya lewat tuh
"Nggak usah bacot." ucap Farrel nyaring saat melewati koridor.
Siapa yang tidak marah? Mood pagi masih bagus, namun sudah di hancurkan oleh gosip-gosip receh.
"Udah, Rel. Biarin aja." nasehat Retha yang nampak santai jadi bahan gosipan pagi.
"Gue gedek tau nggak? Mereka banding-bandingin gue sama Radit. Mereka juga jelek-jelekin lo." ucap Farrel tak terima.
"Biarin aja, namanya juga gosip." acuh Retha.
"Ya terus, kenapa kalo gosip? Karena itu nggak bener, makanya lo diem aja?"
Retha tersenyum, ia masih terus berjalan menuju kelasnya. Tanpa memerdulikan sekelilingnya yang heboh bergosip tentang dirinya. Berbeda dengan Farrel yang berjalan berdampingan dengan Retha, cowok itu gondok setengah mati. Ingin merobek satu-satu mulut mereka yang membicarakannya.
"Farrel, kalo itu nggak bener, buat apa kita harus marah? Marah sama mereka, cuman bikin gosip itu terlihat benar." ujar Retha lembut.
Astaga. Ini Retha pura-pura baik, atau emang bego sih? Di gosipin bukannya marah, malah di senyumin. Batin Farrel.
"Lo pura-pura baik, atau bego?" Farrel menatap Retha intens.
"Gue nggak baik, nggak bego juga. Semuanya ada masanya, sekarang gue lagi pada masa sabar. Bisa aja lima menit lagi gue ngamuk." Ucap Retha di sertai kekehan kecilnya.
"Itu mah lo labil, bodo amat lah." kesal Farrel. Cowok itu langsung meninggalkan Retha.
"Dia PMS, ya?" gumam Retha.
"Setau gue, ngambek itu kerjaan cewek. Bukan cowok, kayak yang dilakuin Farrel sekarang."
Retha terlonjak kaget, mendapati Radit yang berdiri tepat di sampingnya seraya menatap punggung Farrel yang kian menjauh.
Sadar sedang di perhatikan, Radit menelengkan kepalanya menatap Retha. Cowok itu tersenyum, manis sekali. Membuat matanya yang sipit semakin tidak terlihat.
"Morning, Tha." sapa Radit hangat.
Retha mengerjap-ngerjapkan matanya, menyadari tatapan tajam para penggosip tadi.
"Morning, Dit." balas Retha kikuk. "Gue, duluan ya?"
Tanpa menunggu persetujuan Radit, Retha langsung melengos pergi. Menghindari gosip yang sudah ada semakin berkembang. Namun, Radit malah mengejarnya.
"Tha, lo marah ya sama gue?" tanya Radit tidak enak.
Retha mempercepat langkahnya. "Enggak, Dit." jawabnya singkat.
"Kok lo ngejauhin gue, sih?" tanyanya lagi.
"Gue nggak ngejauh, Dit."
Radit memutar bolamatanya malas. "Terus, kenapa kita ngomong dengan posisi kayak gini? Kayak lagi balapan tau nggak."
Retha menghela nafasnya berat. "Gue belum nyelesein PR kimia."
Retha tidak berbohong, ia memang belum menyelesaikan PR kimia-nya. Rencananya pagi ini ia akan menyalin pekerjaan Valerie, tentu saja bukan tanpa alasan.
Kalau saja tadi malam Farrel tidak datang ke rumahnya, tidak memaksanya untuk makan di luar dan pulang larut malam sehingga Retha kelelahan dan lupa mengerjakan PR, pasti sekarang ia sudah bersantai ria.
Dasar, Troublemaker! Batin Retha.
"Tha, please. Jangan kayak gini."
Retha menghentikan langkahnya, membalikan badan dan menatap Radit dengan tatapan yang tidak bisa di artikan.
"Tha, gue sayang sama lo." Ucap Radit seraya memegang pundak Retha.
Retha mengulum senyumnya. "Gue juga. Tapi, cuman sebatas sahabat."
Radit tertawa getir. "Sahabat? Jadi, selama ini lo cuman anggap gue sahabat?" tanya Radit dan dijawab anggukan oleh Retha.
"Maaf, Dit. Gue duluan." pamit Retha yang langsung pergi, meninggalkan Radit yang masih mematung ditempatnya.
Tangan Radit terkepal, seiring semakin jauhnya Retha sekarang.
"Gue bakalan rebut lo dari Farrel!" gumam Radit.
*****
Retha mempercepat langkahnya. Takut kalau Radit mengikutinya lagi, dan membuat air mata yang sudah lama ia bendung tiba-tiba tumpah.
Kaki jenjang Retha membawanya melangkah menuju toilet, masuk ke dalam bilik paling ujung dan mulai meneteskan air mata.
Sedih. Itu yang Retha rasakan. Bohong sekali kalau Retha hanya menganggap Radit hanya sahabat, dua tahun terjebak dalam friendzone, tidak dapat di pungkiri kalau rasa Radit terbalaskan.
Sayang, Retha tidak mau egois. Dahulu ia menolak berpacaran karena ingin fokus dengan sekolah dan Bundanya, prinsip itu masih bertahan sampai sekarang.
Farrel? Dia bukan pacar Retha. Siapa sih, yang mau di paksa pacaran sama orang yang tidak kita suka. Tapi, tidak dapat di pungkiri kalau cowok itu mulai menyenangkan untuk dijadikan teman.
Terserah Farrel dan orang-orang yang menyebut mereka pasangan kekasih, toh mereka tidak saling cinta.
Retha mengusap air matanya, menyudahi kesedihan yang ia rasakan. Lagipula, dirinya masih SMA masih banyak waktu. Kalau jodoh, pasti bertemu.
Retha membuka pintu biliknya, berjalan menuju wastafel dan mencuci wajahnya.
"Jadi, ini ya orangnya yang berhasil naklukin Kapten basket dan futsal?"
Suara meremehkan itu berasal dari seorang gadis yang kini berdiri tepat di belakang Retha, dengan dua dayang yang selalu mengekorinya.
Itu Cindy.
Retha bergeming, menulikan telinganya dan masih membasuh wajahnya.
"Songong banget, ya." Cindy tertawa.
Retha selesai membasuh wajahnya dan hendak segera pergi. Enggan berurusan dengan Cindy, sudah pasti ujung-ujungnya masuk BK.
Cindy yang merasa di abaikan itu, langsung mengambil tindakan. Ia berdiri tepat di hadapan Retha, dan mendorong bahu gadis itu.
"Gue ngomong sama, lo. Punya telinga nggak?!" gertaknya.
"Gue nggak ada urusan sama lo, minggir." ucap Retha datar.
Cindy terkekeh mendengarkan keberanian Retha, yang tentunya membuatnya makin gondok. Tangan Cindy dengan gesit menjambak rambut panjang Retha.
"Berani banget lo, ya? Belum pernah gue hajar." ucapnya seraya menyeringai.
Retha meringis kesakitan, segeralah ia membalas menjambak rambut Cindy. Bukannya apa-apa, ini sakit sakali, Cindy harus merasakannya.
"Lepasin!" teriak Cindy yang semakin kuat menjambak rambut Retha.
"Enggak! Lo duluan yang mulai!" balas Retha.
Tangan Cindy yang satunya, ia gunakan untuk mencakar wajah Retha. Entah bagian apa, namun Cindy dapat memastikan kalau gadis itu terluka, karena ia baru saja meringis.
Wajah Retha tidak apa-apa, tadi kuku Cindy yang tajam menggores lehernya. Sepertinya berdarah, karena ia merasakan perih.
"Ini ada apa?!" teriak seorang gadis yang baru memasuki toilet.
Mata gadis itu membulat lebar, karena ternyata yang sedang beradu gulat adalah sepupunya.
Vanesha dan Valina berusaha mendekat, namun dua dayang Cindy menghalangi.
"Val, panggil bu Fero!" suruh Vanesha pada Valina.
Valina mengangguk dan segera berlari memanggil guru BP itu. Sedangkan Vanesha, ia melotot tajam pada dua dayang Cindy.
"Minggir, atau gue laporin ke polisi?!" ancam Vanesha yang langsung saja membuat dua dayang itu mundur.
Vanesha maju mendekati Cindy dan Retha yang sama-sama tidak mau melepaskan itu.
Vanesha memukul-mukul tangan Cindy, agar ia mau melepaskan tangannya dari rambut Retha. Namun, itu tidak berhasil.
Dengan berat hati, Vanesha menarik nafasnya. Mengepalkan tangan, dan langsung melayangkan tinju dahsyatnya pada Cindy.
Tepat setelah itu, Retha dan Cindy sama-sama terdiam. Masih sama-sama menjambak, namun tidak berteriak rusuh seperti tadi.
Retha yang terlebih dulu sadar, segera melepaskan jambakannya. Menyisakan rambut Cindy yang acak-acakan.
Berbeda dengan Cindy, gadis itu masih setia menjambak kuat rambut Retha.
Tepat saat itu, bu Fero--guru BK masuk dengan Valina di sampingnya.
"Kalian semua, ikut saya ke BK!" teriak bu Fero saat melihat Cindy dan Retha yang sama-sama berantakan.
*****
"Dia yang duluan menyerang saya, Bu!" fitnah Cindy.
"Bohong, Bu! Cindy yang duluan dorong dan jambak rambut saya!" sanggah Retha.
"Dia, Bu!" ujar Cindy yang kekeuh tidak mau kalah.
"Sudah, diam!" ucap bu Fero.
"Cindy, saya jelas melihat kamu yang menjambak Retha! Coba lihat, lehernya sampai terluka karena kamu cakar!" tuduh bu Fero pada Cindy.
"Saya membela diri, Bu. Makanya saya cakar!" bela Cindy. "Lagian, tadi saya di tinju sama Vanesha!"
Vanesha yang namanya disebut, santai-santai saja. Yang penting, ia puas karena sudah menghajar Cindy.
"Benar itu, Vanesha?" tanya bu Fero.
Vanesha mengangguk. "Benar, Bu. Saya ingin memisahkan mereka, tapi nggak sengaja nonjok Cindy."
Bu Fero menghela nafasnya. "Vanesha, Aretha dan Cindy. Kami akan menghubungi orang tua kalian." cetus bu Fero final.
Setengah jam kemudian, orang tua Cindy, Vanesha dan Retha pun datang. Ayah Retha dan Ayah Vanesha yang berteman baik itu, acuh saja saat guru BK menyebutkan kesalahan mereka. Berbeda dengan Ayah Cindy yang nampak berapi-api.
"Pak Rey dan pak Rio, Vanesha dan Retha akan kami skors 3hari. Karena, mereka juga salah."
"Pak Willy, Cindy kami skors satu minggu. Karena, menurut saksi Cindy yang memulai pertengkaran."
Bu Fero menaikan kacamatanya, dan menutup buku catatan tentang anak nakal.
"Kok anak saya satu minggu?!" tanya Ayah Cindy tidak terima.
"Anak bapak udah lukain anak saya." sahut Rio. "Sampai lecet begini, anak anda bisa saya tuntut."
"Anak saja juga kena tonjok!" ucap Willy penuh amarah.
"Sudah, Bapak-bapak. Anak-anak sudah kami beri hukuman sesuai kesalahan dan poin-poin yang dilanggar." Bu Fero menengahi perseteruan itu.
"Retha, ayo pulang." ajak Rio dan di sambut anggukan oleh Retha. "Rey, duluan." pamit Rio.
Rey mengangguk dan mengajak Vanesha ikut pulang. Begitu juga dengan Cindy dan Ayahnya.
****
Suasana Retha dan Ayahnya hening, tidak ada yang membuka percakapan semenjak insiden di skorsnya Retha dari sekolah.
"Yah.." panggil Retha.
Rio menoleh sebentar, lalu fokus pada jalanan lagi. "Kenapa, Sayang?"
Mendengar suara lembut Ayahnya, membuat nafas Retha lega. Itu berarti, Ayahnya tidak marah. Atau mungkin, belum.
"Maafin Retha." ucap Retha ragu.
"Nggak usah minta maaf, Ayah tau, anak Ayah pasti nggak salah." Rio tersenyum hangat.
Retha mengangguk. Dalam hatinya, ia sangat bersyukur memiliki Ayah yang sangat pengertian seperti Rio. Rasanya, Rio adalah Ayah terbaik di dunia.
"Makasih, Yah." ucap Retha senang. Kamudian, ia menatap jalanan dan dahinya mengernyit karena ini bukan jalan menuju rumahnya.
"Yah, kita mau ke mana?" tanya Retha bingung.
"Rumah kakek." jawab Rio singkat.
"Kakek? Ngapain? Jangan bilang, Retha mau di ungsiin ke rumah Kakek gara-gara Retha di skors?!" tebak Retha.
Rio terkekeh. "Enggak, lah. Kamu suudzon banget. Kakek mau ketemu kamu."
Alis Retha terangkat satu. "Tumben?"
Rio menghendikan bahunya. "Katanya ada yang mau di omongin sama kamu."