Bab 9
Farrel mengetuk-ngetukan jarinya ke atas meja. Bingung, gelisah, merana. Itu yang sedang melandanya saat ini.
Tadi, ia mendapatkan kabar bahwa Retha bertengkar dan kena skors. Apa lagi, saat ia mendengar gadis itu terluka. Entah mengapa, sesuatu yang ada di dalam diri Farrel langsung berdenyut, sakit.
Farrel merebahkan tubuhnya di atas kasur king-nya. Berguling ke kanan dan ke kiri, memejamkan dan membuka matanya, berdiri lalu tiduran lagi, Farrel benar-benar gelisah.
Farrel tidak tahu, apa yang membuatnya seperti ini. Setelah mendengar kalau Retha di skors, Farrel langsung membolos.
Ponsel Farrel berdering, menampilkan nama Samudra di sana. Dahi Farrel mengernyit, untuk apa Samudra menelfonnya? Segera Farrel menggeser ikon hijau itu.
"Hallo?" sahut Farrel saat telfon sudah tersambung.
"Telfon balik, pulsa gue abis."
Dan, Samudra memutuskan sepihak telfonnya.
Farrel berdecak kesal. Namun, ia tetap saja mengikuti permintaan Samudra untuk menelfon balik.
Maaf pulsa anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan ini, silahkan isi ulang pulsa anda. Sisa pulsa yang anda miliki senilai, nol rupiah.
Dan, operator mematikan sepihak telfonnya.
Hampir saja Farrel melemparkan ponsel seharga sebuah motor matic itu, kalau tidak mengingat apa yang ada di dalamnya.
"Gue mana pernah isi pulsa!" gerutu Farrel pada dirinya sendiri.
Farrel menghela nafasnya, entah Samudra lupa atau sengaja, untuk apa gunanya aplikasi telfon gratis a.k.a LINE?
Jari Farrel dengan gemulai menari-nari di atas keyboard ponselnya, mencari kontak Samudra dan segera menelfonnya.
"Apaan?" sambar Farrel begitu Samudra menyapanya.
"Elah. Santai, dong." sahut Samudra dari sebrang sana.
"Buruan ngomong, atau gue matiin." ucap Farrel malas.
"Sensi banget lo, kayak cewek lagi PMS." Samudra terkekeh. "Gue mau ngajakin liburan."
Alis Farrel terangkat satu. "Liburan?"
"Yoi. Gue dapet empat tiket liburan di Bali, dua buat gue sama Vale. Sisanya buat lo sama Retha, mau nggak?"
"Kapan?"
"Besok, tiga hari nih." ucap Samudra bersemangat.
"Mendadak banget, gila lo? Gimana cara ajak Retha, coba?"
Di sebrang sana, Samudra terkekeh. "Lo nggak perlu ajak Retha, dia udah setuju. Lagian, dia kan di skors, jadi dia oke-oke aja."
Entah mengapa, Farrel menghela nafasnya lega. "Yaudah, gue ikut."
"Emang lo harus ikut, kalo lo nolak juga bakalan gue seret sampe bandara." Samudra terkekeh. "Besok pagi jam 7, gue ke rumah lo. Kita jemput cewek-cewek."
Farrel mengangguk walaupun Samudra tidak bisa melihatnya. "Oke."
Setelah itu sambungan telfon terputus. Seulas senyum tipis tercetak di bibir Farrel.
*****
Sebuah koper berukuran sedang berwarna hitam milik Farrel sedang ia seret menuju mobil Samudra. Koper itu berisikan pakaian dan perlengkapan yang akan ia gunakan selama di Bali.
Samudra nampak anteng saja di mobilnya, sambil menunggu sepupunya itu memasukan barang-barangnya. Sesekali Samudra menguap, karena bangun ke pagian membuatnya masih mengantuk.
"Minggir," usir Farrel. "Gue nggak mau mati konyol, terus masuk berita foto mobil kita yang ringsek dengan caption 'di duga supir mengantuk'."
Samudra menguap lebar. "Lucu."
"Sana minggir," usir Farrel seraya mendorong-dorong Samudra agar berpindah ke kursi penumpang.
Samudra berdecak kesal. "Hidup lo ribet amat elah, kayak benang kusut."
"Kalo hidup mulus-mulus aja, kapan kita belajar maknanya berjuang?"
Samudra memutar bola matanya malas. "Quotes of the day."
Farrel terkekeh. "Sekarang, ke rumah Retha atau Valerie dulu?"
Samudra menoyor kepala Farrel. "Rumah Valerie di komplek depan, sekilo juga nyampe. Jelas banget, nggak usah pake nanya!" kesal Samudra.
Farrel membalas menoyor kepala Samudra. "Udah tau deket, kenapa tadi lo nggak jemput Valerie dulu baru jemput gue!"
Samudra nyengir kuda. "Gue kelewatan lima meter, yaudah langsung ke rumah lo aja. Males mundur."
Farrel memutar bola matanya malas. Memang dasar Samudra, ada saja alasannya untuk ngeles.
Mereka segera bergegas menjemput Valerie, setelah itu menjemput Retha.
****
Mobil pajero milik Samudra terparkir rapi di halaman rumah Retha. Farrel yang berada di kursi supir, tiba-tiba merasakan keringat dingin. Takut kalau akan di maki oleh Ayah Retha lagi.
Farrel menoleh ke belakang, menatap malas ke arah dua sejoli yang sedang sibuk memperdebatkan akan menginap di hotel mana mereka nanti.
"Woi, lo bedua kira gue supir?" sinis Farrel.
Memang Farrel terlihat seperti supir, karena Valerie dan Samudra duduk di kursi penumpang sedangkan di sampingnya kosong.
"Berisik lo, ah. Sana panggil cewek lo, gue sama Vale masih debatin hotel." Samudra menggerakan tangannya mengibas, membuat gesture mengusir.
"Apa yang di debatin, sih? Kan udah fix kita nginep di hotel keluarga aku!" sela Valerie.
Samudra mengernyitkan dahinya. "Kan di hotel keluarga aku, kok jadi ke hotel keluarga kamu, sih?!"
"Aku maunya di Alexis Hotel!" Cetus Valerie final.
Samudra menggeleng tidak setuju. "Alcander Hotel."
"Alexis!"
"Alcander!"
"Alexis, Ocean."
"Alcander, Valey."
Dan, terus saja mereka berdebat sampai author jadi personil Blackpink.
Farrel berdecak, setelah itu ia beranjak turun dari mobil Samudra dan melangkah menuju pintu rumah Retha yang tertutup rapat.
Farrel berdiam diri di depan pintu coklat itu cukup lama, sampai akhirnya ia bergerak menekan bel yang terletak di samping kiri pintu.
Tidak lama, pintu terdorong ke dalam. Menampilkan sosok pria dewasa yang memarahinya tempo hari. Farrel tersenyum kikuk.
"Nyari Retha, ya?" tanya pria itu. Wajahnya datar, dan terlihat tegas.
Entah mengapa, hal itu membuat Farrel kicep. Padahal, Farrel tidak pernah takut pada siapapun terkecuali kakeknya.
"I-iya, Om." jawab Farrel gugup.
Wajah datar Rio semakin membuat Farrel tidak karuan. Membuatnya ingin lari dan segera masuk ke mobil, tapi tidak. Farrel tidak se banci itu, ia adalah seorang gentleman.
"Masuk." titah Rio datar.
Farrel meneguk salivanya, mengangguk dan segera masuk ke dalam rumah Retha. Duduk manis di sofa, sembari menunggu Retha turun dari kamarnya.
"Farrel." panggil Ayah Retha.
Farrel mendongakan kepalanya. "Ya, Om?"
"Jagain Retha, ya. Dia terkadang suka ceroboh, Om percaya sama kamu." Rio menepuk sekali pundak Farrel dan tersenyum.
Farrel terkesiap. Percaya? Ayah Retha percaya padanya. Ini telinga Farrel tidak salah dengarkan? Kok di percaya seperti ini bikin Farrel senang, ya? Atau jangan-jangan, Farrel sudah mulai--suka dengan Retha?
Hanya dia dan Tuhan yang tahu.
"Iya, Om." balas Farrel yang juga tersenyum.
Rio mengangguk dan meninggalkan Farrel sendiri. Sampai akhirnya Retha datang seraya menyeret kopernya yang lumayan besar, rempong sekali.
"Mau di bantu?" tawar Farrel.
Retha menoleh, dan menatap Farrel seperti terkejut. "Farrel? Sejak kapan sampai?"
Farrel menghendikan bahu. "Sejak negara api menyerang."
Retha tertawa paksa. "Lucu, deh."
"Nggak lucu, nggak usah ketawa." ucap Farrel datar.
Melihat itu, malah membuat Retha terkikik geli. "Yuk." Retha hendak menyeret kopernya, namun di tahan oleh Farrel.
"Gue aja." ucap Farrel yang langsung mengambil alih koper Retha. Sebelah tangannya, ia gunakan untuk meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya. "Yuk."
Retha mengangguk kikuk. Mengikuti Farrel yang menarik tangannya lembut, entah mengapa membuat jantungnya berdegup kencang.