Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6

Dentuman musik bergenre dj itu menggema ke seluruh ruangan yang hanya di terangi lampu remang-remang ini.

Entah sudah berapa lama Farrel duduk di sudut club. Farrel bersandar pada kursi panjang itu, matanya terpejam dan tangannya sibuk memijit pelipisnya.

"Bro, lo nggak ke sana?" tanya Bimo yang baru saja datang. Tangannya menunjuk ke arah lantai dansa yang sedang dipenuhi orang-orang berjoged ria.

Farrel menggelengkan kepalanya. "Banyak banget ceweknya. Ogah gue di sentuh sama mereka, najis."

Bimo terkekeh. "Gue nggak ngerti sama lo. Hoby lo itu pasti ada sangkut pautnya sama cewek-cewek kayak gitu, tapi lo masih nggak mau bersentuhan sama mereka."

"Hoby gue apaan?"

"Elah, si Parel. Pake acara lupa ingatan. Balapan, main ke club sini. Bukan Hoby tuh?" sungut Bimo.

Farrel menjitak kepala Bimo. "Itu bukan Hoby, tapi kegiatan buat mengisi waktu luang!"

Bimo meringis, mengusap kepalanya yang terasa sakit. "Nyante dong, elah! Itukan defenisi hoby, bego. Susah emang, ngomong sama titisan medusa. Emosi mulu."

"Udah, diem. Pala gue pusing."

Bukan Bimo namanya kalau langsung menurut. Ia menampilkan wajah jahatnya, dan sebuah lampu muncul di atas kepalanya karena ia memiliki ide.

"Lo tau kan, saingan lo si Radit itu?" pancing Bimo. Tepat sasaran karena Farrel langsung membuka matanya.

Farrel menatap Bimo tanpa minat. "Kenapa sama dia?"

"Tadi, adeknya bikin ribut kantin. Retha disiram pake jus jeruk, mantep kan!" seru Bimo.

Farrel menaikkan sebelah alisnya. "Terus?"

Bimo menepuk jidatnya. "Ya Allah. Masa lo nggak konek juga, sih?"

"Nggak jelas lo, tenge." kesal Farrel.

"Lo kan selalu saingan sama Radit, gara-gara kejadian tadi pasti Radit cari cara biar tambah deket sama Retha. Ya, pastinya dengan modus minta maaf."

Bimo melirik Farrel dan setelah ia menghela nafasnya kasar kala melihat raut tidak mengerti dari wajah sahabatnya itu.

"Ntar Retha luluh sama si Radit, bege. Itu berarti lo kalah, kan sekarang status Retha pacar lo. Gimana si?!" maki Bimo. Ia hendak sekali mencakar wajah Farrel yang seperti orang bego itu.

"Lah, bener!" pekik Farrel yang baru saja mendapat pencerahan. Ia terduduk tegak, dan kemudian bersandar lagi. "Terus?"

Astaga, Bimo hendak sekali melempar botol kaca yang sedang ia genggam ke arah Farrel.

"SAMPERIN, BEGO." geram Bimo.

Farrel mengangguk. Kemudian, ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 8 malam. Apakah wajar ia menghampiri gadis itu jam segini?

"Jam segini, emang wajar? Kemaren gue abis kena semprot bokapnya, apalagi sekarang."

"Terus, lo takut?" Bimo tertawa meremehkan. "Lo berani ngadepin dua puluh preman yang bawa senjata tajam sekaligus, tapi lo nggak berani sama bokapnya Retha yang cuman modal mulut?"

"Itu beda ceritanya! Lagian, kata siapa gue takut?" sergah Farrel kesal.

"Yaudah, samperin." tantang Bimo.

*****

Tepat setengah jam kemudian, mobil Farrel tepat terparkir di halaman rumah Retha. Saat Farrel datang, pak Bono--satpam rumah Retha dengan sigap membukakan pagar.

Sekarang, Farrel sedang duduk di dalam mobilnya. Merutuki kebodohannya karena menuruti perkataan Bimo yang sebenarnya hanya jebakan untuknya.

Farrel menggelengkan kepalanya, hendak menetralkan dirinya yang entah mengapa tiba-tiba jadi bodoh seperti ini.

Tangan Farrel terarah hendak memutar kunci mobilnya dan secepatnya tancap gas dari sini. Bisa tengsin Farrel kalau Retha tahu ia disini tanpa alasan.

Tok tok tok

Hampir saja jantung Farrel copot.

Kaget, Farrel menoleh ke samping dan mendapati Retha yang sudah berdiri tepat di samping mobilnya. Mampus, ketahuan. Bilang apa nih?

"Farrel?" panggil Retha dari luar.

Keluar, enggak. Keluar, enggak. Keluar, enggak. Keluar, enggak. Keluar, enggak. Keluar, enggak. Keluar, enggak. Keluar, enggak. Gini aja terus, sampe author nikah sama cameron dallas dan jadi selingkuhan Francischo Lachowski.

Entah ada apa, sekarang badan Farrel terasa meriang. Panas dingin gitu, keringatan pula. Jantungnya juga deg deg an nggak karuan, kayaknya Farrel gugup.

"Farrel!" sentak Retha seraya memukul kaca mobil Farrel.

"Astagfirullah, kaget." Farrel mengusap dadanya yang baru saja seperti di hantam sesuatu.

Daripada Retha makin curiga, lebih baik ia keluar. Batin Farrel.

"Apa?" ketus Farrel. Ia sudah menetralkan wajahnya, merengut seperti biasa. Namun, entah mengapa rasanya pelipis Farrel perih.

Retha tidak menjawab. Gadis itu meneliti Farrel dari ujung kepala sampai ujung kaki, dan matanya berhenti tepat di pelipis Farrel yang terdapat luka robek sekitar 2cm.

"Ikut gue." titah Retha. Tanpa ba bi bu be bo, ia langsung menarik tangan Farrel masuk ke dalam rumahnya.

Retha mendudukan Farrel di sofa ruang tamu, sementara ia pergi mengambil kotak p3k. Farrel yang ditinggal itu bingung harus bagaimana, kenapa ia di ajak ke sini? Dimana ayah Retha? Kemana Retha pergi? Apa yang akan terjadi setelah ini?

Lima menit kemudian, Retha kembali dengan kotak p3k di tangan kiri dan segelas air putih di tangan kanannya. Langsung saja Retha mendudukan dirinya di samping Farrel.

Retha mengambil sebuah kapas, dan menuangkan revanol ke atasnya. Farrel mengamati kegiatan gadis itu baik-baik, menyenangkan. Lebih menyenangkan dari pada menonton pertandingan antara Real Madrid vs Barcelona.

"Ah!" ringis Farrel tepat saat Retha mulai mengobati lukanya.

Farrel menangkap tangan Retha, membuat gadis itu menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya. Farrel memajukan wajahnya, membuat Retha menahan nafasnya untuk sejenak.

"Despacito, girl." ujarnya pelan.

Astaga, berada sedekat ini dengan Farrel. Membuat jantung reta berdegub tidak karuan, darahnya berdesir dari ujung kepala sampai ujung kaki, nafasnya tercekat dan susah untuk terhembus.

Retha mengerjap-ngerjapkan matanya. Membuatnya tersadar dan kembali lagi pada realita.

"Maaf." ucapnya pelan sembari melanjutkan kembali kegiatannya.

"Bokap lo, mana?" tanya Farrel memecah keheningan.

"Dinas, di Jogja." jawab Retha sekenannya.

"Nyokap?" tanya Farrel lagi.

"Di kamar."

"Tidur, ya?"

Retha tersenyum sembari mengangguk. "Iya."

Farrel mangut-mangut saja. Tidak tahu apa lagi yang bisa menjadi topik percakapan mereka, apa harus Farrel bertanya 'Retha, suka makan kecoa nggak?'.

Atau, 'Retha, suka ngupil? Abis ngupil biasanya ngapain?'.

"Lo ngapain di rumah gue malem-malem gini, Rel? Pake jas, abis dari kondangan?"

Tidak perlu Farrel berpikir keras, untung saja Retha membuka percakapan lagi.

"Iya, tadi tetangga gue nikah." jawab Farrel bohong

"Lo abis nikahan apa tawuran sih? Sampe luka sobek gini." Retha menatap Farrel penuh selidik.

"Tadi gue nabrak ranting pohon." lagi-lagi Farrel berbohong. Dalam hatinya ia ingin mengucapkan terima kasih kepada Bimo.

Flashback on

"Eh, Rel. Tunggu!" pekik Bimo. Menghentikan langkah Farrel yang sudah sampai didepan mobilnya.

Tidak di sangka dan tidak di duga, Bimo melemparkan sebuah gelas kaca yang sialnya membuat pelipis Farrel sobek.

"Lo gila?!" Farrel bergerak hendak menonjok wajah Bimo, namun Bimo dengan cepat menangkupkan kedua tangannya.

"Rel, dengerin gue dulu!" pekik Bimo. "Kalo lo ke rumah Retha dengan kondisi kayak gini, gue pastiin deh. Retha yang tadinya bakalan marah-marah, bakalan nggak tega. Sama, bokapnya juga gitu."

"Ya tapi nggak perlu ngelempar gue kayak tadi, bego!" Farrel menoyor keras kepala Bimo. "Syukur lukanya kecil, kalo gue sampe amnesia gimana?!"

"Gue udah itungin kali, Rel! Lo kira gue sembarang lempar?!"

"Bisa aja itungan lo salah, cumi!" geram Farrel.

"Yang penting sekarang itungan gue bener, lo buruan cabut sana. Ide gue pasti berhasil, kalo enggak, besok gue keliling sekolah cuman pake boxer." Bimo mengangkat jari telunjuk dan jari tengahntya ke udara, membentuk huruf 'V'. "Suer!"

Dan, setelah itu, Farrel langsung masuk ke dalam mobilnya. Mengendarai mobil sport itu sampai ke rumah Retha.

Flashback off

"Masa iya kena ranting sampe kayak gini? Ini kaya di lempar pake gelas kaca, lo nggak berantem di pesta pernikahan orang, kan?" Retha menatap Farrel penuh selidik.

"Sok tau banget, lo." Farrel menoyor kepala Retha. "Jangan liatin gue kayak gitu, tar lo naksir."

"Idih! Pede amat." Retha balas menoyor Farrel tepat di luka cowok itu.

"Sakit, Re! Buat apa lo obatin kalo ujung-ujungnya lo sakitin?!" kesalnya.

"Ya Ampun. Baperan amat." Retha terkekeh geli. "Lagian, ya. Gue itu anak PMR, udah lebih dari enam tahun. Gue tau sebab-sebab luka, apa lagi luka kena ranting. Dan, luka lo ini bukan gara-gara ranting. Tapi, gara-gara kaca."

Farrel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sepertinya ia salah orang untuk di bohongi masalah seperti ini. "Iya, dah."

"Lo belum jawab pertanyaan gue."

Alis Farrel terangkat satu, membuatnya meringis karena lukanya berdenyut. "Sakit bener, elah. Pertanyaan yang mana?"

"Lo ngapain ke rumah gue?"

Farrel mengangguk-anggukan kepalanya. "Oh, itu."

"Jawab, Farrel." kesal Retha.

"Gimana, ya." Farrel menatap Retha lekat-lekat. "Gue kangen lo, sih."

Blush!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel