Bab 5
Retha menghempaskan tubuhnya ke atas kasur queen-nya. Ia memejamkan mata, hendak masuk ke dalam alam mimpi karena rasa kantuk yang sudah tak dapat ia tampik lagi.
Dengan seragam milik Vanesha yang masih melekat pada tubuhnya, wajah kucel kumal sehabis pulang sekolah, tidak Retha pedulikan.
Tubuh Retha telentang membentuk sebuah bintang, posisi yang sangat nyaman untuk Retha saat ini. Hawa panas yang tadi sempat ia rasakan, kini hilang seiring udara dari air conditioner menerpa tubuhnya.
Sebenta lagi, ia akan memasuki alam mimpinya. Kesadarannya sudah tinggal seperempat, sedikit lagi, mungkin dua detik lagi ia akan benar-benar terlelap.
Namun, dering ponselnya yang menyuarakan musik dari idol kesukaannya Blackpink, kembali membuat matanya segar bugar.
Retha meraba-raba saku seragamnya, mengambil ponsel berukuran lima inci itu dan menggeser tombol hijau di layarnya itu.
Dahi Retha mengernyit saat melihat nama Radit terpampang di layar ponselnya, Retha langsung mengangkat telfon itu.
"Retha, maafin gue." cerocos Radit tepat saat Retha baru ingin membuka mulutnya.
"Maaf buat apa, Dit?" tanya Retha bingung.
Radit menghela nafasnya. "Maafin sikap kurang ajar Nadira, ya? Gue nggak nyangka kalo adek gue bisa se nekat itu." ucap Radit penuh sesal.
Walaupun Radit tidak dapat melihatnya, namun Retha tetap saja mengangguk.
"Nggak papa, Dit. Gue ngerti kenapa dia bisa marah kayak gitu, tapi..." Retha nampak menimbang-nimbang perkataannya.
"Tapi kenapa, Tha?"
"Lupain aja, Dit."
"Gue beneran nggak enak, Tha. Kalo lo mau marah, nggak papa. Gue ngerti, lo emang berhak marah."
"Enggak, Dit. Gue gapapa, udah gue lupain kok." ujar Retha lembut.
"Yaudah, Tha. Sekali lagi gue minta maaf ya, by the way, malem ini lo ada acara?"
"Enggak ada, Dit. Kenapa?"
Di sebrang sana, Radit tersenyum senang.
"Nonton yuk, Tha?"
Baru saja bibir Retha ingin mengucapkan iya, namun ia teringat akan ucapan Nadira tadi.
Murahan.
Kata itu akan semakin terealisasikan kalau Retha menerima ajakan Radit malam ini, dengan berat hati, Retha menolak.
"Maaf, Dit. Gue nggak bisa." tolak Retha yang langsung memutuskan panggilan telfonnya saat itu juga.
Retha kembali memejamkan matanya. "Maafin gue, Dit. Kira harus jaga jarak." gumamnya pelan.
*****
Mobil audi hitam milik Farrel melaju membelah jalanan kota Jakarta malam itu, ia melajukan mobilnya menuju sebuah tempat yang sudah sangat lama tidak ia kunjungi.
Mobil Farrel memasuki sebuah mansion mewah yang bertuliskan 'Wdyatmaja Mansion' itu.
Farrel memarkirkan mobilnya tepat di halaman istana megah itu, dengan setengah hati, Farrel turun dari mobil mewahnya.
Penampilan cowok itu sangat berbeda. Jika biasanya ia memakai jeans dan kaos, sekarang ia menggunakan jas yang begitu elegan.
Membuat penampilannya jauh lebih dewasa, tidak seperti umurnya yang baru menginjak tujuh belas tahun.
Farrel memasuki istana mewah itu, dapat di lihat para maid yang mengenakan seragam hitam putih layaknya tai cicak membungkukkan badan saat Farrel melewati mereka.
Farrel melangkahkan kaki panjangnya, menuju sebuah ruangan yang sudah sangat ia hafal letak dan isinya.
Tanpa ragu, Farrel mendorong pintu besar bercorak eropa berwarna coklat itu. Terlihat lah sebuah ruangan kerja yang di dominasi kaca, dan seseorang yang sedang duduk berpangku tangan tepat beberapa meter di hadapan Farrel.
"Cucuku." panggil pria tua berusia tujuh puluh tiga tahun itu.
Rambutnya yang putih dan kulitnya yang sudah mengkeriput, serta ototnya yang tidak lagi kekar menjadi pertanda kalau ia tidak lagi kuat.
Farrel menampilkan senyum paksanya, menghampiri sosok tua yang selama ini sangat ia sayangi.
"Kakek, kenapa?" tanya Farrel penuh perhatian.
Romi Wdyatmaja, kakek Farrel dari pihak ayahnya. Yang selama ini mengurusnya, namun hanya sampai umur Farrel 10 tahun. Karena, kakeknya itu sudah mulai sakit-sakitan saat itu.
"Biasa, kakek sudah tua. Mungkin sebentar lagi waktunya." ucapnya dengan suara yang sangat sulit ia keluarkan.
"Jangan bicara begitu, Kek." sanggah Farrel.
Kakek tua itu tertawa, membuat matanya yang sipit semakin sipit. Farrel menghela nafasnya lega karena kakeknya tidak dalam keadaran seburuk yang ia kira.
"Farrel, apa kamu tidak mau tinggal di sini lagi?" tanya Romi tua penuh harap.
"Nanti, Kek." jawab Farrel sekenanya.
Kakek Farrel mengangguk paham. "Orang tua mu, sedang dalam perjalanan bisnis di eropa. Mungkin mereka akan kembali enam bulan lagi."
Ga usah balik lagi juga nggak papa, batin Farrel.
"Kamu, masih suka balapan liar mu itu?" tanya Romi dan dibalas anggukan oleh Farrel.
Romi tertawa. "Sudah kakek duga. Tadi, mereka sudah mengantar motor mu yang di sita. Kesayangan mu itu ada di garasi."
Seulas senyum penuh arti tercetak dibibir Farrel. Memang hanya kakek yang mengerti dirinya, apapun yang Farrel lakukan pasti kakek mendukungnya sepenuh hati. Tidak seperti orang tuanya, yang bahkan tidak perduli dengan dirinya.
"Terima kasih, Kek." ungkap Farrel kelewat senang. Ia hendak melenggang pergi dari mansion mewah ini, menuju garasi untuk mengecek kesayangannya.
"Farrel Manggala Wdyatmaja." panggil kakeknya. Membuat Farrel menghentikan langkah panjangnya. "Kakek belum selesai dengan mu, jangan pergi dulu."
Farrel menghela nafasnya, ia membalikkan tubuhnya dan kembali berjalan mendatangi kakeknya.
"Kenapa, Kek?" tanya Farrel sebaik mungkin.
"Kamu ini! Kebiasaan, orang tua belum selesai bicara kamu seenaknya pergi." tegur Romi.
Farrel menundukan kepalanya. "Maaf, Kek."
"Ya, ya." Romi mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian, kakek tua itu menarik laci di meja kerjanya. Ia mengambil sebuah kotak kecil berwarna hitam, dan memberikannya kepada Farrel.
Farrel menerima kotak itu, ia menaikkan sebelah alisnya. "Untuk apa ini, Kek?"
"Kakek dengar kamu punya pacar, hm?" ucap Romi datar.
Pacar? Sejak kapan? Ahh---Retha. Rupanya kakeknya ini masih saja memata-matainya.
"Hubungannya dengan kotak ini, apa?" tanya Farrel bingung.
"Ah, itu cincin turun temurun keluarga kita. Karena kamu satu-satunya cucu kandung yang aku miliki, berarti kekasih mu itu akan menjadi satu-satunya cucu menantuku, kan?" kata Romi menggoda.
"Kakek, Farrel masih SMA. Ini hanya cinta monyet, tidak mungkin Farrel akan menikah dengan dia." Farrel mencoba sesabar mungkin. Ia muak rasanya harus seformal ini, kalau saja ini bukan Kakek yang sangat ia sayangi mana mungkin ia ingin berlama-lama seperti ini.
"Jangan begitu. Dia gadis yang baik, berasal dari keluarga yang baik juga. Dan, dia cucu dari Zafran Berlando Alexis teman bisnis kakek. Bertahanlah dengannya, Kakek menyetujuinya."