Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3

Retha berdiri tepat di pinggir jalan, di tempat Farrel menyuruh Retha menunggunya. Dari sini, Retha dapat melihat dengan jelas Farrel yang sedang beradu kecepatan dengan lelaki lainnya.

Farrel memacu motornya dua kali lebih cepat dari yang biasanya. Di sana Farrel sedang berpacu dengan kuda besinya, di sini Retha sedang berpacu dengan jantungnya.

Semua pemandangan ini, balapan liar, kumpulan para remaja nakal, gadis gadis malam, tidak pernah Retha saksikan sebelumnya.

Ia lebih memilih berhadapan dengan buku atau bekutat dengan piano kesayangannya, tentunya semua itu lebih berfaedah daripada yang sedang ia lakukan saat ini.

Berdiri di pinggir jalan, sambil memegangi tali sligbagnya penuh cemas menunggu Farrel kembali.

Kesal, sudah pasti. Siapa yang tidak kesal kalau di ajak ke tempat seperti ini? Kalau bukan orang baik-baik mungkin akan biasa-biasa saja, untuk cewek baik-baik seperti Retha ini adalah malapetaka.

"Ini nih, cewek yang di bawa Farrel."

Retha langsung membalikkan tubuhnya ke belakang, menatap dua orang gadis yang tadi terang-terangan membicarakannya. Walaupun tidak melihat, tapi Retha merasakan bahwa mereka juga menunjuk-nunjuk dirinya.

Gadis berambut merah menyala itu menatap Retha dari ujung kepala sampai ujung kaki, setelahnya ia mendesis meremehkan. "Elah, model kayak beginian. Sok-sok polos, ternyata mainnya ke sini juga."

Cewek berambut hijau, teman si rambut merah ikut-ikutan memandangi Retha tidak suka. "Penampilannya sih anak orang kaya, palingan Farrel cuman mau duitnya." ejeknya remeh.

Mau uang? Kenapa Farrel harus mau uang Retha, kalau cowok itu punya hal lebih dari apa yang Retha punya. Sungguh, duo racun di hadapan Retha ini sangat ingin ia jual ke tukang loak.

"Heh, lo bayar Farrel berapa biar dia mau jalan sama lo?" tanya si cewek rambut hijau sarkas.

Retha memutar bola matanya malas, memilih untuk mengacuhkan cabe merah dan cabe hijau itu.

Merasa di abaikan, cabe merah mendekati Retha. Mendorong bahu Retha ke belakang, membuan gadis itu hampir terjengkal. Hampir.

"Apa-apaan nih?" Retha menatap heran kedua makhluk astral di hadapannya.

Cabe merah berdecak. "Eh, lo nggak usah songong. Jangan mentang-mentang lo gandengan Farrel, terus lo belagu!"

"Alah, paling abis ini di tidurin, abis itu di tinggalin." tambah Cabe hijau berapi-api.

Di tidurin, di tinggalin? Kurang ajar. Sepertinya dua makhluk ini menganggap Retha sama seperti mereka, tidak bisa di biarkan.

Enak saja, cewek baik-baik seperti Retha di samakan dengan cewek permen karet seperti mereka. Permen karet, kalau kata pepatah habis manis sepah di buang. Persis dua cabe ini.

"Maaf, tolong tinggalin gue sendiri." ujar Retha masih mencoba baik.

"Maksud lo apaan ngusir-ngusir kita? Lo berani?" tantang cabe merah.

Retha memutar bola matanya malas. "Untuk apa gue takut sama lo bedua, toh sama-sama makan nasi, kan?"

"Wah, ada yang berani nantangin kita nih, Dy." kompor cabe hijau.

"Yang nantangin, siapa? Kalian nanya gue berani atau enggak, gue jawab iya. Dari mana unsur nantanginnya?" tanya Retha kesal. "Makanya, waktu pelajaran bahasa Indonesia jangan bolos. Ginikan jadinya, bobrok."

Tepat sasaran, kalimat terakhir Retha yang tanpa ia sadari meluncur begitu saja dengan mulusnya, sudah membuat percikan api di tumpukan kayu bakar.

Dysta si Cabe merah sepertinya sudah benar-benar tersulut emosi, sedangkan Agyl si cabe hijau tersenyum penuh kemenangan ke arah Retha, seakan mengatakan "mampus lo, banteng ngamuk!"

Benar saja, Dysta memelototi Retha seperti seekor banteng sedang memelotot kain merah yang di kibas-kibaskan oleh sang matador.

"Lo ngomong sekali lagi, gue pastiin lo keluar dari sini tanpa rambut, atau sehelai benang pun di tubuh lo!" ancam Dysta yang sudah kelewat geram.

Retha mengernyitkan dahinya. "Mulut gue, suka-suka gue, dong."

"Lo--"

"jauh-jauh dari cewek gue."

Akhirnya sang pahlawan tiba.

Dysta menolehkan wajahnya, menatap Farrel yang juga sedang menatap mereka dengan tatapan membunuhnya.

"Fa-farel?" ucap Dysta terbata-bata. Sedangkan si cabe hijau aka Agyl, sudah kabur daritadi karena takut di jadikan samsak oleh Farrel.

Farrel menata Dysta tajam, seakan tatapan itu adalah pisau tajam yang bisa membunuhnya kapan saja.

Namun, tatapan itu juga yang membuat tubuhnya mematung. Tidak dapat bergerak, matanya terus saja terfokus pada mata Farrel yang menakutkan.

Mereka saling bertatapan, namun bukan tatapan romantis seperti di film india. Ini lebih seperti Grim Rapper yang sedang menemui arwah yang hilang di drama goblin.

"lo bedua kok tatap-tatapan gitu, sih? Kaya lagi main lomba tahan kedip tau nggak." ucap Retha dengan nada merajuk karena merasa di kacangi.

Habis lah sudah kontes tatap menatap itu.

"Lo diapain sama dia?" tanya Farrel pada Retha. Matanya kembali terarah pada Dysta, namun hanya sekejap.

"Diapain? Lo kira gue se lemah itu, sampe ngadepin dua cewek kaya mereka aja takut?" Retha menautkan alisnya.

"Gue, gue ke sana dulu." ucap Dysta berusaha kabur.

"Tuh kan, dia kabur. Takut kali sama gue." kata Retha tidak perduli.

Farrel membuang wajahnya ke arah lain. Sial sekali, kenapa Retha tidak takut pada dua wanita paling ganas di sini? Farrel sudah memperhatikan mereka daritadi, ia kira saat ia ke sana, Retha akan bersembunyi di balik punggungnya seperti tadi. Namun, ternyata ia salah.

"Gue nggak nyaman di sini, ayo pulang." ajak Retha hendak bejalan ke arah motor Farrel terparkir.

Dengan cepat, Farrel menahan tangan Retha. Membuat gadis itu membalikkan tubuhnya, menatap Farrel bingung dengan alisnya yang terangkat satu.

"Lo pikir lo siapa bisa nyuruh-nyuruh gue?" tanya Farrel sarkas.

Retha menghempaskan cekalan tangan Farrel yang longgar, ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Gue pacar lo. Itu kan yang selalu lo bilang?"

Ah, akhirnya kata-kata itu menjadi boomerang untuk dirinya sendiri.

Farrel diam saja. Tidak menjawab, tidak bersuara, dan juga tidak bergerak. Hanya matanya saja yang mengisyaratkan kalau ia sedang...marah?

Bingung. Retha menjentikkan jempol dan telunjuknnya tepat di depan wajah Farrel.

"Kok bengong? Gue mau pulang, Farrel. Ini udah jam 9 lewat!"

Farrel bergeming. Sampai suara sirine mobil polisi menyadarkannya.

"Farrel! Polisi!" pekik Retha panik. "Gimana kalo kita ketangkep?!"

"Nggak bakal." jawan Farrel datar.

Farrel meraih tangan Retha, menariknya untuk mengikutinya berlari se kencang-kencangnya.

"Farrel, kenapa kita nggak ke motor lo aja?!" tanya Retha di sela-sela larian mereka.

"Nggak bakal sempet, kalo ke sana lagi sama aja masuk ke lubang buaya." jawab Farrel setengah berteriak.

"Tapi, kita mau lari terus sampe kapan?" tanya Retha lagi. Nafasnya sudah mulai tidak teratur, kakinya sudah mulai lelah, Retha tidak lemah, hanya kondisinya saja kurang fit.

"sebentar lagi sampe, kalo berenti sekarang polisi bakal nangkep kita dengan mudah!"

Retha menurut saja. Ia terus berlari, dengan tangannya yang di genggam erat oleh Farrel. Tanpa henti, sampai sebuah gedung tua yang sangat menyeramkan menjadi tempat mereka bersembunyi.

Farrel menarik Retha untuk masuk ke sana. Di dalam gedung tua itu sangat gelap, bau, dan yang lebih menakutkan adalah kenyataan bahwa di tempat ini banyak binatang kecil-kecil.

Retha benci itu.

"Lo gila, ya?!" pekik Retha kesal.

Farrel langsung menarik Retha, membekap mulut gadis itu, dan sesekali mengintip situasi di luat.

"Jangan teriak!" ucap Farrel setengah berbisik.

Retha tediam, posisi mereka saat ini Retha sedang membelakangi Farrel namun mereka berhimpitan. Farrel menyandarkan dirinya di tembok, dan Retha yang berada tepat di pelukannya.

Tangan kanan Farrel membekap mulut Retha, dan tangan kirinya melingkar di perut gadis itu. Seakan-akan Retha akan kabur kalau tidak di kunci seperti ini.

"Mereka bisa nunggu satu jam di sana." ucap Farrel. Entah memberitahu Retha atau sedang berbicara sendiri.

Tapi tunggu, satu jam? Itu berarti ia akan sampai ke rumah melebihi jam 10? Astaga! Bisa-bisa ia akan langsung di cincang Ayahnya!

Retha memutar otaknya keras. Bagaimana ini? Apa alasan yang tepat untuk keterlambatannya sampai rumah? Sungguh, Retha tidak ingin membohongi pria yang sangat ia sayangi. Namun, ia juga tidak ingin Ayahnya itu marah dan khawatir.

Ini semua gara-gara Farrel!

Retha melepaskan tangan Farrel yang membekap mulutnya dengan kasar. Melepaskan dirinya dari kuncian Farrel yang sedang lengah, lalu menginjak kaki cowok itu sebagai bentuk pelampiasan kesalnya.

Farrel meringis karena kakinya diinjak oleh Retha. Kalau saja di luar sana tidak ada polisi, Farrel akan berteriak dan memaki-maki Retha.

"Lo apa-apaan?!" ungkap Farrel kelewat kesal.

"Ini gara-gara lo!" Retha menunjuk wajah Farrel.

Astaga, gadis itu sedang marah! Ini yang Farrel tunggu sejak tadi! Akhirnya, hiburan yang sudah Farrel tunggu muncul juga. Sekarang, ia harus membuat gadis ini semakin marah agar hiburannya lebih menyenangkan.

"Kenapa gara-gara gue?" tanya Farrel pura-pura bingung.

"kalo aja lo nggak ngajak gue ke sini, kalo aja gue nolak lo, pasti gue nggak bakalan ada di gedung tua yang bau kaya gini!" bentak Retha. Matanya mulai dilapisi kaca bening, yang bersiap tumbah kalau ia berkedip.

"Bukan salah gue. Kenapa lo dengan mudahnya nerima ajakan gue? Bukannya lo selalu nolak?" Farrel tersenyum miring.

"Buat apa gue susah-susah nolak, kalau akhirnya lo pasti maksa gue? Mau gue nolak sekuat apapun, lo pasti bakal ngabaikan gue dan tetep jemput gue, kan?!" kata Retha berapi-api. "seperti kata lo, lo nggak nerima penolakan!"

Farrel tertawa. "Sayang banget. Padahal khusus malam ini, gue terima penolakan."

Retha mengernyitkan alisnya. "Maksud lo?"

"sebenernya kalo tadi lo nolak, gue nggak bakalan maksa. Tapi, ternyata lo nerima ajakan gue dengan senang hati. So, kayaknya ini bukan salah gue." ucapnya penuh kemenangan.

"Farrel!" geram Retha.

Retha hendak memukul Farrel, namun teriakan suara berat seseorang dari luar membuatnya mengurungkan niat untuk menghajar Farrel.

"Kalian yang bersembunyi di dalam, cepat keluar!"

Mampus, tercyduk!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel