Bab 4 . Meninggalkan Rumah Keluarga Lee
Ellena berdiri dan menatap tubuhnya yang basah kuyup karena cipratan air. Sungguh sial! Sial! Gerutunya dalam hati.
Ellena, menatap ke lantai dua Dojo, dirinya tahu Paman Gu tinggal di atas bersama istrinya. Apakah dirinya harus mengetuk pintu dan membangunkan mereka? batinnya penuh pertimbangan.
Ellena, selalu berusaha tidak meminta bantuan orang lain. Namun, uangnya sisa sedikit setelah membayar semua tagihan kuliah.
Ellena, berjalan mondar mandir di depan Dojo, dirinya tidak yakin harus berbuat apa. Apakah lebih baik dirinya kembali ke rumah dan mencari Bibi Mou? Dirinya tidak memiliki ponsel, ya ... itu sangat ironis, bukan? Bahkan sekarang anak SD sudah memiliki ponsel pribadi.
"Ellena!"
Ellena, berbalik dan menatap orang yang memanggilnya. Itu Paman Gu bersama istrinya.
"Ada apa denganmu?" tanya Bibi Gu sambil menghampirinya.
Tangisan Ellena kembali pecah, bertemu Paman dan Bibi Gu membuat dirinya merasa aman.
Bibi Gu memeluk dirinya dan membawanya masuk ke dalam rumah. Mereka naik ke lantai atas, Bibi Gu membiarkannya duduk di kursi meja makan yang kecil.
"Kamu pergilah ke kamar! Biar saya yang mengobrol dengannya!" pinta Bibi Gu kepada suaminya.
Paman Gu mengangguk dan meninggalkan kedua wanita itu.
Bibi Gu meletakkan secangkir teh hangat di hadapannya. Lalu, Bibi Gu masuk ke salah satu kamar dan keluar dengan sebuah handuk putih di tangannya.
Bibi Gu menyampirkan handuk itu di pundaknya, lalu duduk di hadapannya.
"Minumlah!" ujar Bibi Gu.
Ellena, mengangguk dan mengangkat cangkir di hadapannya, lalu meneguk teh hangat itu. Rasa hangat meliputi dirinya, membuat perasaannya lebih tenang.
"Katakan! Terjadi masalah apa?" tanya Bibi Gu dan menatapnya tajam.
"A-aku ..., bisakah aku menginap malam ini?" tanya Ellena tergagap. Dirinya tidak memiliki tempat tujuan.
"Tentu! Namun, sebelum itu katakan apa yang terjadi padamu!" tanya Bibi Gu kembali.
"A-aku pergi dari rumah!" jelasnya sambil menunduk.
Bibi Gu menatapnya dengan iba. Sudah dua tahun, gadis itu membantu di Dojo milik suaminya. Gadis yang rajin dan baik hati, tetapi sangat kasihan.
"Tinggallah! Tinggallah di sini selama yang kamu mau!" Bibi Gu berkata.
"Terima kasih!" ujarnya tulus.
Lalu, Bibi Gu mengantarnya ke salah satu kamar yang ada di rumah mungil ini.
"Ini dulu kamar anak gadisku! Sekarang dirinya sudah menikah dan tinggal di Kota B bersama keluarga suaminya!" ujar Bibi Gu saat membuka salah satu pintu kamar.
Kamar mungil dengan jendela yang besar. Perabotan sederhana bernuansa putih, sangat nyaman.
"Mandi dan tukar pakaianmu!" ujar Bibi Gu sambil membuka lemari pakaian.
"Pakailah pakaian anakku, jika kamu tidak keberatan!"
"Terima kasih, Bi!" ujarnya kembali.
Lalu, Bibi Gu keluar dari kamar dan menutup pintu. Ellena, mengganti pakaiannya dan naik ke atas ranjang. Dirinya tidak ingin memikirkan apa yang baru saja terjadi padanya. Yang pasti, dirinya sudah mengingat wajah pria mesum itu.
Ellena berjanji akan membalas perbuatan pria itu, jika mereka bertemu kembali.
Di sudut lain Kota A.
Marco Kang, menghentikan mobil sport miliknya di depan perkarangan rumah Keluarga Kang. Dirinya tinggal di apartemennya sendiri dan jarang pulang ke rumah besar ini. Hari ini, dirinya kembali karena hendak mencari masalah dengan Sang Ayah.
Marco Kang, membuka pintu rumah dengan kasar dan mengabaikan pelayan yang menyapa dirinya. Dengan langkah lebar berjalan menuju ruang kerja Sang Ayah, berharap Sang Ayah masih berada di ruangan itu.
Klik!
Marco Kang membuka pintu ruang kerja dan berjalan masuk. Tuan Kang menatap kehadiran putra semata wayang miliknya. Putranya memiliki postur tubuh yang sama dengannya. Tinggi 185 cm dengan tubuh proporsional, tetapi wajah putranya persis dengan istrinya. Hal itu yang membuat Tuan Kang, tidak mampu menatap lama wajah putranya itu.
"Ayah!" panggil Marco Kang.
Tuan Kang yang duduk di balik meja kerja yang besar, meletakkan bolpoin yang ada di tangannya. Lalu, melipat kedua tangan di atas meja dan menatap putranya. Tuan Kang yakin, putranya datang untuk mencari masalah.
"Ada apa?" tanya Tuan Kang datar.
"Batalkan pernikahan itu!" ujar Marco Kang dengan penuh emosi.
"Tidak! Pernikahan itu tetap akan berlangsung, walau tanpa persetujuan darimu!" jawab Tuan Kang langsung.
BRAKKK!!!
Marco Kang, memukul meja kerja Sang Ayah dengan sangat kuat. Saat ini, dirinya berdiri di hadapan Ayahnya dengan kedua tangan menyangga tubuhnya yang condong ke depan.
"Ibu bahkan belum meninggal genap 1 tahun!" ujar Marco Kang dingin.
"Apakah Ayah tahu, wanita seperti apa yang akan Ayah nikahi?" lanjutnya kembali.
"Sudah kukatakan! Pernikahan ini adalah bisnis! Ayah tidak peduli seperti apa Nyonya Lee itu dan Ayah harap kamu juga sama, tidak terlalu peduli dengan hal tersebut!" ujar Tuan Kang. Pernikahan ini bertujuan untuk memperkuat bisnis mereka dan hanya bersifat sementara.
"Bagaimana Ayah dapat begitu tidak peduli! Wanita itu akan menempati posisi Ibu! Ayah tahu seberapa buruknya wanita itu? Wanita itu gila pria muda. Dia-!" Marco Kang tidak memiliki kesempatan menyelesaikan ucapannya.
"CUKUP!" bentak Tuan Kang.
"Jika kamu sangat ingin mencampuri masalah pernikahan ini, maka pastikan kamu memiliki hak untuk keberatan! Kamu bahkan tidak tahu apa yang sedang dihadapi perusahaan saat ini! Kamu hanya tahu menghabiskan uang dan berfoya-foya!" amuk Tuan Kang.
Marco Kang menatap Sang Ayah dengan penuh kebencian. Dengan suara bergetar, Marco Kang berkata, "Jika aku terlibat di perusahaan, apakah itu artinya Ayah akan mendengar perkataanku?"
"Pasti! Namun, sebelum itu buatlah dirimu bermanfaat!" ujar Tuan Kang sambil berdiri dari duduknya, lalu berjalan keluar meninggalkan putranya itu.
Kedua tangan Marco Kang terkepal kuat di atas meja. Jika itu yang ayah inginkan, maka dirinya akan mengabulkan hal tersebut. Dirinya berjanji akan membuat hidup ibu tirinya, Nyonya Yihua Lee, dalam kesulitan.
Lalu, dirinya pergi meninggalkan rumah besar.
Marco Kang kembali ke apartemen dan membuat rencana untuk masa depannya. Namun, hal itu harus membuatnya meninggalkan Negara ini untuk memperdalam kemampuannya. Sebelum itu, dirinya ingin bertemu dengan gadis yang membantingnya dirinya dan menggetarkan hatinya.
***
Keesokan harinya, Ellena bangun sangat awal. Dirinya tidak ingin merepotkan Paman maupun Bibi Gu. Ellena mandi dan bertukar pakaian, lalu masuk kembali ke kamar untuk merapikan rambutnya.
Ellena menatap pantulan dirinya di cermin meja rias. Wajahnya selalu polos tanpa riasan, karena dirinya tidak mampu membelinya. Beruntung dirinya memiliki kulit wajah yang sehat, jadi tidak perlu banyak perawatan. Mata bulat, hidung cukup mancung dan bibir mungil. Rambutnya sepinggang tanpa poni, berwarna hitam dan sedikit ikal. Dirinya tidak memiliki uang untuk pergi ke salon, jadi biasanya dirinya akan memotong sedikit ujung rambutnya sebulan sekali.
Tubuhnya kurus, karena memang dirinya tidak makan banyak. Ellena menatap ke arah pinggangnya, seketika sentuhan pria mesum kemarin teringat jelas di benaknya.
Ellena menggelengkan kepalanya untuk membuang jauh-jauh ingatan buruk kemarin. Lalu, dirinya keluar dari kamar untuk membantu Bibi Gu.
"Selamat pagi!" sapa Ellena saat melihat Bibi Gu yang sibuk memasak di dapur.
"Selamat pagi! Apakah tidurmu nyenyak? Ah ..., pakaiannya sangat pas di tubuhmu!' ujar Bibi Gu saat melihat dirinya.
Ellena tersenyum, dirinya mengenakan pakaian milik putri Paman dan Bibi Gu. Kemeja hitam lengan pendek, dipadu dengan celana jeans berwarna biru pucat.
"Biarkan aku membantu, Bi!" ujar Ellena, sambil menghampiri Bibi Gu.
Bibi Gu membiarkan dirinya membantu dan itu membuatnya merasa berguna.
"Letakkan piring-piring itu di atas meja! Paman Gu akan segera sarapan!" Bibi Gu memintanya meletakkan piring berisi sarapan sederhana di atas meja makan.
Benar, tidak lama Paman Gu berjalan keluar dari kamar dan mereka sarapan bersama. Setelah itu, Ellena pamit untuk pergi kuliah. Paman Gu menawarkan untuk mengantar dirinya, tetapi dirinya menolak. Ellena sudah terlalu banyak merepotkan Paman dan Bibi Gu.
Ellena menumpang bus umum untuk tiba di kampus. Ini minggu pertama dirinya mulai berkuliah.