Bab 14 . Cinta Bukanlah Syarat Untuk Berciuman
Marco Kang memandang Ellena. Gadis itu masih berdiri diam, mengamatinya. Marco tidak dapat mengetahui apakah Ellena merasa kecewa terhadapnya, ekspresi wajah gadis itu sulit ditebak. Namun, ia berharap Ellena mau mengatakan sesuatu.
"Jadi katakan padaku, Ellena, apakah kamu masih marah padaku?" Marco bertanya.
Ellena mengangkat bahu, tidak peduli.
Sama sekali tidak berlebihan, jika dikatakan Ellena sudah memimpikan momen ini selama bertahun-tahun. Dalam mimpinya, Ellena sepertinya selalu tahu harus mengucapkan apa. Namun, tampaknya dalam dunia nyata, Ellena kurang pandai berbicara dan sekarang dirinya tidak dapat melakukan apa-apa, kecuali menatap pria itu. Kehabisan napas, secara harafiah, batin Ellena, benar-benar kehabisan napas.
Lucu, bagaimana Ellena selama ini, selalu menganggap hal itu hanyalah perumpamaan. Kehabisan napas, ya kehabisan napas.
"Maafkan aku!" ujar Marco kemudian.
Ellena hampir tidak dapat mendengar kata-kata pria itu, di tengah keributan besar dalam benaknya. Seharusnya, ia lari, tetapi tubuhnya membeku. Apakah dirinya ingin disakiti dan dikecewakan sekali lagi oleh pria itu?
Marco menatap Ellena dalam, gadis itu bahkan tidak repot menanggapi permintaan maafnya. Bagaimanapun, Marco Kang sadar perlakuannya kemarin malam sangat tidak sopan.
Ellena berusaha menenangkan dirinya dan berusaha bernapas dengan teratur. Setelah sedikit tenang, Ellena bertanya, "Minta maaf? Minta maaf untuk hal apa?"
"Semuanya, kejadian kemarin malam dan sebelumnya!" jawab Marco Kang.
"Mungkin bagimu tidak penting! Namun, aku hanya ingin memastikan apakah permintaan maaf darimu termasuk ciuman tiga tahun yang lalu?" tanya Ellena datar.
Ellena menggigit bibir dan mengira-ngira apa yang akan dikatakan oleh pria itu.
"Maaf, karena tidak langsung mengenali dirimu kemarin malam dan maaf karena tidak pernah menghubungi dirimu selama ini!" jawab Marco Kang.
Marco Kang mengusik gadis itu. Ia tidak tahu mengapa mendapati hal ini sangat memuaskan. Sudah lama sekali, sejak ia merasa senang mengenai apapun. Marco mencondongkan tubuh ke depan, hanya untuk melihat apakah ia dapat membuat Ellena bergidik.
Wajah Ellena merona.
"Apakah kau tahu apa yang ku perhatikan?" gumam Marco.
Bibir Ellena sedikit terbuka, lalu menggelengkan kepalanya.
"Selama ini, kamu memikirkan dan menunggu diriku!"
Ellena tersentak dan masih dengan wajah merona.
"Sebaiknya aku kembali bekerja!" ujar Ellena terburu-buru.
Marco Kang tidak tahu apa yang dipikirkannya, tetapi keberadaan gadis itu sangat menarik perhatian.
Marco mengulurkan tangan dan memegang lengan Ellena. Gadis itu membeku.
Jari jemari Marco mengencang. Hanya satu sentuhan, cukup untuk menahan Ellena agar tidak pergi. Marco tidak ingin gadis itu meninggalkan dirinya begitu cepat.
"Katakan padaku, Ellena," bisik Marco, menempelkan dua jari di bawah dagu Ellena. "Apakah kamu tidak pernah berciuman dengan pria lain, selain diriku?"
Ellena membeku, dirinya juga sering memikirkan kembali ciuman pertamanya dengan pria yang berdiri di hadapannya. Seharusnya dirinya lari, tetapi tubuhnya membeku dan menginginkan ciuman itu terjadi kembali.
"Kukira benar!" ujar Marco.
Tidak memberikan lebih banyak waktu bagi Ellena untuk memilah pikiran dan perasaannya, Marco sudah menjatuhkan kecupan halus dan menggoda di pipi Ellena, hingga garis rahangnya.
"Menyenangkan sekali," gumam Marco.
Rasanya seperti di surga. Rasanya tidak seperti apa yang selalu dibayangkan oleh Ellena. Ada percepatan di dalam dirinya, ketegangan aneh dan dirinya tidak yakin harus melakukan apa. Jadi, Ellena hanya berdiri tidak bergerak, menerima kecupan-kecupan Marco selagi bibir pria itu bergerak di wajahnya, sepanjang tulang pipi dan kembali ke bibir.
"Buka bibirmu!" perintah Marco, dan Ellena melakukannya. Karena pria itu adalah Marco dan Ellena memang menginginkan hal ini. Bukankah dirinya selalu memimpikannya?
Lidah Marco meluncur masuk dan Ellena merasakan dirinya ditarik lebih erat ke dalam pelukan pria itu. Jari jemari Marco terasa menuntut, begitu juga dengan bibir pria itu. Kemudian Ellena mulai menyadari bahwa semua ini salah.
Ini bukan momen yang diimpikannya selama bertahun-tahun. Marco tidak mencintai dirinya, bahkan pria itu memiliki kekasih. Tidak ada kebaikan dalam ciuman ini, hanya hasrat.
"Cium aku!" geram Marco, menekankan bibirnya ke bibir Ellena dengan desakan yang kuat. Ciuman yang kasar dan tidak berperasaan. Untuk pertama kalinya Ellena mulai merasa takut.
"Tidak," Ellena mencoba berbicara, tetapi suaranya seakan hilang di bibir pria itu. Marco memeluknya semakin erat dan tangan hangat pria itu mulai mengelus punggungnya. Ellena tidak mengerti, bagaimana dirinya bisa menginginkan sekaligus tidak menginginkan hal ini. Bagaimana Marco dapat membuatnya tergelitik sekaligus takut, bagaimana dirinya dapat mencintai sekaligus membenci Marco, dengan intensitas yang sama.
"Tidak!" ucap Ellena sekali lagi, mendesakkan kedua tangannya di antara tubuh mereka, telapak tangannya menekan dada Marco.
"Tidak!" ucap Ellena sekali lagi.
Kemudian, Marco melepaskan tubuhnya dan melangkah mundur begitu cepat, tidak terlihat sedikitpun tanda-tanda sisa hasrat.
"Ellena Lee," gumam Marco, hanya saja kata-katanya terdengar diucapkan begitu lambat, "Siapa yang mengira?"
Plak!
Ellena menampar wajah Marco Kang.
Mata Marco Kang menyipit, tetapi tidak mengatakan apapun.
"Mengapa kamu melakukan ini?" tuntut Ellena, suaranya terdengar tenang meskipun tubuhnya gemetar.
"Menciummu?" Marco mengangkat bahu. "Mengapa tidak?"
"Tidak!" bentak Ellena. Dirinya terkejut saat mendengar nada terluka dalam suaranya. Ellena ingin marah, dirinya memang sangat marah dan ingin menyuarakannya, tetapi hal itu akan membuatnya terlihat menyedihkan.
"Mengapa kamu menciumku? Kamu bahkan tidak mencintai diriku."
Tangan Ellena mengepal, kuku-kuku jari menekan telapak tangannya. Gadis bodoh! Bodoh! Mengapa dirinya mengatakan hal itu? batin Ellena.
Marco Kang hanya tersenyum. "Aku lupa, dirimu masih sangat naif! Cinta bukanlah syarat untuk berciuman!"
"Kurasa, kamu bahkan tidak menyukai diriku!" ujar Ellena dingin. Jika dilihat dari wanita yang berada di samping Marco, maka penampilannya kalah jauh dari para model itu.
"Omong kosong! Tentu saja, aku menyukai dirimu." Marco berkedip, seakan berusaha mengingat dengan tepat, seberapa baik dirinya mengenal Ellena. "Yang pasti, aku tidak membenci dirimu!"
"Dirimu banyak berubah," ujar Ellena mengabaikan rayuan pria itu.
"Bagaimana bisa?" Marco menunduk menatap Ellena.
"Dulu kamu senang tertawa dan penuh perhatian!"
"Sekarang?"
"Sekarang dirimu penuh curiga dan kasar!"
Marco memejamkan mata, untuk sesaat Ellena mengira pria itu sakit hati karena perkataannya. Namun, pada akhirnya Marco menatapnya tajam dan salah satu sudut mulutnya naik membentuk senyum mengejek. "Begitulah aku." Marco melipat kedua tangannya di depan dada, lalu bersandar arogan di salah satu sisi dinding ruang ganti.
Ellena menelan ludah, berusaha melawan kekecewaan yang muncul di tenggorokannya. Dirinya tidak lagi mengenal pria yang berdiri di hadapannya. Semua adalah salahnya sendiri, mengapa terlalu berharap terhadap pria itu.
Ellena menghela napas berat dan berjalan melewati Marco Kang. Tidak ada lagi yang perlu dikatakan di antara mereka berdua. Ciuman tadi cukup menjelaskan apa arti dirinya bagi Marco Kang. Benar, dirinya hanyalah selingan tidak penting bagi pria itu. Walaupun terasa sakit, tetapi hal ini membuatnya terbangun dari mimpi panjang penuh pengharapan terhadap pria itu.
Marco Kang yang masih berada di ruang ganti menyentuh bibirnya. Rasa gadis itu sungguh manis dan menggoda, ditambah tidak berpengalaman membuat ciuman tadi melekat di benaknya. Seulas senyum merekah di wajah tampannya, mereka akan segera bertemu kembali, Marco Kang yakin akan hal tersebut.
Sambil bersiul, Marco Kang kembali ke meja tadi dan lanjut makan bersama Paman dan para model itu.